Buaya-buaya putih itu menerjang perahu-perahu yang ditumpangi manusia dari segala sisi. Seberapa keras usaha mereka membunuhi buaya siluman itu dengan pedang dan dayung semuanya sia-sia. Mereka dapat dengan mudah menyelam dan bersembunyi di dalam air.
Dari tengah sungai timbul sebuah pusaran kecil. Buaya-buaya itu berenang menuju pusaran. Di sana mereka berputar dan menyatu dengan pusaran. Buaya putih itu menjadi semakin bening dan melebur menjadi air.
Pusaran semakin banyak dan naik ke permukaan seperti sulur-sulur yang panjang. Dari masing-masing pusaran itu muncul puluhan monster air dengan tubuh manusia tapi wajah, tangan, dan kaki seperti buaya. Rahang dan gigi mereka tajam dengan wajah pucat bak mayat.
“Kapara!” Karuna menggenggam kapak raksasanya.
Dia mulai menebasi monster-monster air itu dengan cepat.
Eknath melihat perahu lain sedang dalam kesulitan. Dia melompat dari satu perahu k
“Kita harus menemukan titik kekuatannya! Jika seperti ini terus tak akan ada gunanya!”“Kau benar!” dukung Karuna.“Aaahhh!” jerit Tuan Muda Jin saat terseret ke dalam air.Karuna bergerak cepat dengan memotong sulur-sulur hitam itu menggunakan kaparanya. Matanya membuka sesaat. Saat kaparanya bersentuhan dengan sulur hitam di dalam air, dia bisa merasakan energi racun karang di dalam sulur itu.“Brengsek! Jadi, dia menggunakan kekuatan sihirku untuk membuat semua ini!”Lilian terbang dan menarik Tuan Muda Jin dari dalam air. Pria itu terengah dengan pakaian basah kuyup. Mulutnya sempat menelan banyak air.Lilian menurunkannya di perahu miliknya. “Kau baik-baik saja, Jin?”Tuan Muda Jin tak bisa berkata-kata. Dia merasa sangat malu pada Lilian.Tiba-tiba, awan gelap datang dan menudungi danau itu. Kabut tebal kembali muncul. Air yang tenang semakin bergejola
Mereka tiba di Gunung Putih yang menjadi permukiman klan kultivasi. Gunung Putih di sini juga merujuk pada batuan kars yang mendominasi pegunungan itu. Punggung gunung di sisi timur terdiri dari hamparan batuan kars. Sisi yang lain sangat subur dengan banyak pepohonan dan tanaman pangan.Klan kultivasi membangun rumah dari bebatuan kars dan hidup bercocok tanam dengan lahan subur di sisi lain gunung. Secara keseluruhan, di sana adalah tempat yang nyaman dan tenang untuk menempa ilmu kanuragan. Di sana ada banyak asrama untuk para siswa dari penjuru negeri yang ingin mempelajari teknik kultivasi.Asrama dan tempat pendidikan itu dikelola oleh keluarga Zang. Lilian menjadi salah satu putri keluarga Zang yang mewarisi kemampuan kultivasi dari ayahnya. Usia gadis itu sudah ratusan tahun. Meski demikian, wajahnya tetap cantik dan kempuannya banyak ditakuti lawan.“Kenapa kamu membawa mereka ke sini? Apa mereka ingin belajar
Karuna dan Eknath dibawa ke aula utama tempat Tuan Zang tinggal dan mengendalikan seluruh kegiatan di perguruannya. Mereka digelandang dan dipaksa berlutut di depan beberapa orang guru. Sudah ada Lilian dan Tuan Zang sendiri di sana.“Kalian akan menghukumku sekarang?” ujar Eknath. “Aku tidak terima!” bantahnya dengan senyum meremehkan.Para siswa yang juga sengaja didatangkan dan dikumpulkan di sana berbisik-bisik. Mereka cukup gelisah saat mendengar ada orang yang melanggar aturan perguruan dan akan dihukum sebagai percontohan.“Kau masih bisa tersenyum pada saat begini?” gumam Karuna.“Meski langit runtuh sekalipun, aku tetap akan tersenyum,” seringai Eknath yang masih terus mempertahankan senyumnya meski dada dipenuhi kekesalan. “Aku tak akan kalah dari mereka!”“Kalian telah melanggar aturan perguruan Zang! Kalian melewati jam malam
Karuna dan Eknath keluar dari kolam dengan tubuh basah kuyup.“Kau mendengarnya, Karuna?”“Ya, aku tidak tuli!”“Suara apa itu?”“Entahlah! Mungkin binatang? Kita, kan, di gunung!” jawab Karuna asal.Lilian sudah berpakaian bahkan pergi lebih dulu sebelum Karuna dan Eknath menyadari suara itu. Dua orang siswa berlari-lari sambil menggendong peralatan kultivasi di dadanya.“Apa yang terjadi?” cegah Lilian saat mereka berpapasan.“Nona, maafkan kami.”“Aku mendengar suara mayat hidup. Ada apa ini?” desak Lilian.Lilian yang hanya mengenakan pakaian tipis selepas mandi, bahkan rambutnya masih basah, dipaksa harus bergerak cepat. “Apa itu suara mayat hidup yang dibawa Paman hari ini? Kupikir dia mengurung para mayat hidup itu di ruang meditasi. Bagaimana mereka bisa kabur?&rd
Karuna membuka mata perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah sebuah lukisan pemandangan pegunungan dan hutam bambu dengan kaligrafi Cina yang tak dia pahami maknanya.“Kau sudah bangun?”“Eknath?” Karuna kebingungan dan masih berbaring di atas tilam. “Apa aku....” Karuna menoleh ke samping dan memperhatikan interior kamar yang ditempatinya. “Hah?” Karuna duduk seketika dan merasakan nyeri di punggung yang diperban.“Jangan bergerak! Kau sudah koma selama tiga hari. Untung aku menemukan tempat ini. Kau pikir cederamu tidak parah, ya? Para mayat hidup itu cakarnya mengandung racun. Bukankah ini lucu? Kau seperti terkena racun milikmu sendiri.”Karuna hanya bisa membuka dan menutup mulutnya kebingungan.“Sudalah! Makan ini.” Eknath meletakkan semangkuk bubur panas di meja.“Terima kasih, Eknath. Oh, ya, bagaimana Lilian? Apa kita ketahuan?”Eknath duduk di sebuah bangku
“Wanita terkutuk! Kau hanya membayar dendam pribadimu!” teriak siswa yang selalu setia menemani Lilian. Dia tahu betul Lilian tak melakukan pelanggaran apa pun.Lilian berdiri tegak. Siswa itu sudah berlari akan menerjang perempuan bergaun ungu, tapi Lilian merentangkan tangan.“Berhenti di sana!”Siswa itu terpaku. Wajah Lilian mengeras. Dia jarang sekali menunjukkan ekspresi wajahnya. Tapi kini, kemarahan sudah sangat memuncak dan tak lagi bisa dia sembunyikan di balik wajah datarnya.Lilian maju selangkah ke depan perempuan bergaun ungu. Dia menarik cepat sebilah pedang dari pinggang salah satu siswanya.“Nona!” sergah yang lain.Salah satu siswa berlutut di belakang Lilian. “Jangan lakukan ini! Jika Tuan Besar Zang tahu, dia akan....”“Diam!” bungkam Lilian. “Jadi, bagaimana kalau Ayah tahu? Bukankah kemarin dia
“Terus serang!” teriak Tuan Muda Wan yang memimpin pasukan ke Gunung Putih. “Kita harus bisa mendapatkan Gunung Putih!”Di sisi lain, Tuan Besar Zang tengah dalam perjalanan kembali ke Gunung Putih bersama sejumlah rekan dan siswa seniornya. Dia duduk di dalam tandu dan memegangi tusuk konde yang akan dia berikan sebagai oleh-oleh untuk Lilian.“Pemimpin klan, tusuk konde ini terlihat indah. Saya yakin Nona Lilian akan menyukainya,” hibur sang rekan.Tuan Besar Zang terlihat puas dan tersenyum lebar dengan pilihannya.Dari luar tandu terdengar seseorang tengah berlari mendekat dan mengetuk pintu tandu dengan tergesa.“Tuan Besar, ada berita buruk!” Seorang pria bercaping yang mengawal perjalanan mereka berujar panik.Tuan Besar Zang menyimpan tusuk konde di dalam pakaiannya. “Berita apa yang kau bawa?”“Burung pembaw
“Klan Zang? Itu, kan, klan kultivasi paling terkenal di wilayah Gunung Putih.”“Dengar-dengar, mereka baru saja dihancurkan oleh klan Wan.”“Lihat itu!” teriak salah satu orang yang ada di pasar. “Nona muda dari keluarga Zang menjadi buronan!”Karuna dan Eknath yang baru saja turun ke kota setelah meninggalkan rumah tua tempat mereka bersembunyi, terkejut saat warga yan berkerumun menyebut Lilian sebagai buronan. Karuna yang mengenakan caping bambu lebar menatap Eknath.“Biar aku yang periksa!” ujar Eknat.Dia berjalan mendekat ke papan tipis tempat kumpulan gambar para bandit ditempelkan sebagai peringatan untuk warga.“Lilian?” kejut Eknath. Dia menatap lekat sejumlah gambar sketsa wajah yang mirip Lilian terpampang jelas di sana.Saat keberadaannya menarik perhatian warga setempat, Eknath segera menundukkan caping bambunya dan mundur menjauhi kerumunan.“Kita pergi!” ajaknya pada Karuna terburu-buru.“Apa benar itu dia?”“Ya!”“Apa yang terjadi?”“Kita tidak tahu pasti. Tapi, para
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany