Dengan penuh semangat, Clay menggandeng Davina memasukki salah satu mall terbesar di Jakarta. Wajahnya sumringah seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia memilikki guru sehebat Davina. Sementara Davina, tersenyum gemas melihat tingkah yang menggemaskan dari bocah laki-laki itu. Bersama keduanya, Edwin berjalan beriringan. Senyum bahagia tak berhenti terpasang di wajahnya karena ia melihat puteranya yang tampak begitu ceria."Papa, kita akan makan di tempat biasanya kan?" Tanya Clay bersemangat.Edwin mengangguk."Iya, Clay. Kita akan makan cheeseburger kesukaanmu!" Ucap Edwin antusias.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina."Miss! Kita akan makan di tempat kesukaanku! Makanannnya enak sekali! Aku jamin Miss juga pasti suka!" Seru Clay lagi.Davina tertawa. Ia lalu berjongkok agar sejajar dengan Clay. Tangannya mencubit gemas pipi Clay."Benarkah? Clay sekarang sudah seperti orang-orang di televisi loh! Orang-orang yang suka memberitahu makanan enak itu. Clay tahu kan?" Balas D
"Siapa wanita itu? Pacar barumu?" Clarissa menatap Edwin dengan tatapan mengejek. Seolah mantan suaminya itu tidak lebih baik daripada dirinya yang berselingkuh dengan belasan pria."Bukan urusanmu." Jawab Edwin dingin.Clarissa terkekeh."Tentu saja itu urusanku. Karena siapapun yang akan menikah denganmu lagi akan menjadi ibu dari Clay." Balas Clarissa.Edwin mendengus."Sejak kapan kamu peduli dengan anakmu? Bahkan kamu tidak tahu berapa sendok takaran susunya, Clarissa. Jangan berpura-pura menjadi Ibu yang baik sekarang." Ucap Edwin tajam."Entah seburuk apapun kamu mengatakannya, aku tetap Ibu dari Clay, Sayang. Tidak ada yang lebih berhak atas Clay dibandingkan aku." Ujar Clarissa dengan pongah.Edwin menghela nafas. Ia memijat keningnya. Wanita ini benar-benar seperti virus. Barulah ia muncul sejenak, tubuh Edwin langsung terasa tidak enak."Apa yang kamu inginkan?" Ucap Edwin langsung ke intinya.Clarissa tertawa lepas. Tangannya menepuk lengan kekasih mudanya yang kekar."As
Motor Davina memasukki halaman sekolahnya. Seperti biasa, ia harus mengajar lagi hari ini. Dan itu berarti Davina akan bertemu dengan murid-murid menggemaskan kesayangannya lagi.Gadis itu melangkah dengan semangat menuju kantornya. Senyum merekah di bibirnya. Namun barulah Davina menginjakkan kaki di dalam ruangan itu, seluruh guru menatapnya dengan senyuman penuh makna. Senyuman yang menggoda seolah Davina baru saja melakukan sesuatu yang lucu."Kenapa? Kok semuanya senyum-senyum seperti ini?" Tanya Davina sambil tertawa lucu.Maya, salah seorang rekan kerjanya, menghampirinya dengan senyum yang sama menggodanya. Gadis itu mencubit pinggang Davina pelan. Membuat Davina menggeliat geli."Ih, kenapa sih, Maya?" Seru Davina bingung."Kamu sudah punya pacar ya?" Goda Maya dengan mata jahilnya.Davina menatap Maya bingung."Pacar apa? Kamu tahu sendiri kan aku ini single seperti pringle?" Balas Davina heran.Maya tertawa. Tangannya memukul lengan Davina pelan."Halah! Bohong ya! Davina s
Malam itu, Edwin benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Davina. Kejadian yang hanya terjadi beberapa detik namun ia menatap kedua mata lembut itu dengan begitu dalam. Mata yang indah dan cantik, secantik pemiliknya. Dan mata itu memancarkan kehangatan yang sudah lama tidak Edwin temukan dari seorang wanita.Edwin meletakkan tangannya di depan dadanya. Tanpa ia sadari, jantungnya berdebar begitu cepat karena memikirkan Davina. Hal lain yang tidak Edwin sadari adalah, wajahnya menjadi bersemu merah saat ia memikirkan gadis itu beberapa detij yang lalu."Ah, sialan! Ada apa denganku? Sadar, Edwin! Davina itu guru anakmu! Kamu tidak seharusnya berpikiran seperti ini kepadanya!" Umpat Edwin pada dirinya sendiri.Namun Edwin tidak bisa mengendalikan pikiran dan hatinya. Hingga ia terlelap tidur, di kepalanya masih ada Davina yang menari-nari disana. Dan Edwin tidak bisa memungkiri fakta bahwa mungkin ia sudah jatuh cinta pada gadis bernama Davina itu.***Davina barulah hendak masuk ke
Jantung Davina berdebar begitu kencang. Kakinya melangkah cepat menyusuri salah satu mall terbesar di Jakarta. Hari ini semestinya ia akan bertemu dengan pengirim paket misteriusnya. Kalau memang orang itu setuju untuk menemuinya.Davina menekan lift dan masuk. Kotak besi itu segera melesat ke lantai tiga tempat Davina akan bertemu dengan orang tersebut. Davina berjalan dengan cepat sembari pandangannya menyebar ke seluruh penjuru mall. Beberapa menit melangkah, Davina akhirnya menemukan kafe Pulang. Tempat ia akan bertemu dengan si pengirim paket.Namun langkah Davina tiba-tiba terhenti. Ia terperanjat melihat sosok yang ada di tempat itu. Sosok yang tampaknya sedang menunggu seseorang disana. Seorang pria yang Davina tidak pernah menyangka akan ditemuinya disana."Pak Edwin?"Davina mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha memastikan apakah sosok yang dilihatnya benar-benar ayah dari muridnya. Edwin Pramudya. Davina dengan cepat berusaha menepiskan kemungkinan itu."Ah, mungkin
Davina mengamati dengan saksama ekspresi wajah Edwin. Pria itu tampak benar-benar terperanjat. Davina yakin benar bahwa Edwin bukan pelaku di balik semua ini. Namun semuanya jadi semakin membingungkan bagi mereka berdua. Kalau bukan Edwin, lalu siapa yang berani mencatut nama Edwin?Edwin berpikir keras. Kenapa nomor ponselnya bisa ada dalam identitas pengirim paket Davina? Edwin yakin siapapun yang melakukannya pasti berhubungan dekat dengannya dan Davina. Edwin mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Davina dengan serius."Apa saja paket yang kamu terima?" Tanya Edwin penasaran.Davina tampak mengingat-ingat."Awalnya hanya sebatas buket mawar dan cokelat, Pak. Tapi belakangan hadiahnya menjadi semakin mahal. Terakhir saya menerima anting-anting yang sepertinya berharga jutaan rupiah." Jawab Davina.Edwin membelalak. Otaknya seolah menghubungkan setiap potongan-potongan puzzle itu. Mencoba mencari penjelasan yang paling masuk akal terhadap kejadian itu. Dan tiba-tiba ia seolah menem
Edwin melontarkan pertanyaan itu kepada puteranya tanpa ragu. Bocah itu tampak gugup setelah mendengar pertanyaan ayahnya. Rautnya menampakkan dengan jelas bahwa Clay seperti orang yang tertangkap basah. "Jawab, Clay. Apa kamu yang mengirim paket-paket untuk Miss Davina?" Ulang Edwin lagi dengan tegas. Clay mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk dan ia tak berani menatap ayahnya. Tangan mungilnya berpegangan erat pada Davina yang memangkunya. "Kenapa kamu melakukannya?" Tanya Edwin lagi. Clay terdiam. Ia tidak berani menjawab ayahnya. Edwin memang sangat jarang marah kepada puteranya ini namun jika itu terjadi, maka gunung meletus pun akan kalah mengerikan dibandingkan amarahnya. Davina membungkuk dan melihat ke arah Clay. Bocah itu menangis sesenggukan karena takut. Tangannya terkepal di kedua pahanya dan kakinya gemetar. Davina memutar tubuh Clay hingga menghadapnya. Ia lalu tersenyum lembut sembari menyeka air mata Clay dengan ibu jarinya. "Kalau Clay tidak mau jawab pertanyaa
Dilema benar-benar menggulung otak Davina. Ia bingung harus memilih yang mana. Di satu sisi, menjadi guru playgroup benar-benar impiannya sejak kecil. Ia sudah berusaha begitu keras hingga bisa mendapatkan pekerjaan itu. Namun tidak bisa dipungkiri, Davina cukup tergiur dengan tawaran Edwin.Gaji sebesar dua kali lipat, tempat tinggal, dan bahkan makan pun akan ditanggung. Sudah pasti kehidupan Davina akan menjadi lebih terjamin dengan memilih tawaran Edwin. Selain itu, Davina juga bisa selalu dekat dengan Clay. Anak murid kesayangannya.Davina menghempaskan kepalanya ke bantal. Ia memejamkan matanya sembari kepalanya berpikir begitu keras. Setelah berpikir kurang lebih dua jam, akhirnya Davina mantap memilih. Ia segera meraih ponselnya dan menekan nomor Edwin untuk meneleponnya.Beberapa kali nada tunggu berbunyi. Tak lama, terdengar suara berat khas Edwin dari seberang telepon."Selamat malam, Davina." Sapa Edwin sopan."Selamat malam, Pak. Maaf jika mengganggu Bapak malam-malam beg
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun