Sungguh, hanya ada kegundahan yang mengisi hati Davina sejak beberapa hari terakhir. Dan seiring bergulirnya hari, keputusan Davina semakin mantap untuk meninggalkan semuanya di belakang. Meninggalkan kehidupan barunya yang terasa begitu sempurna untuk menjadi nyata.Ternyata memang benar. Tidak ada yang namanya kisah romantis bak drama di dunia nyata. Yang ada hanyalah kisah cinta dan berakhir dengan air mata. Persis seperti yang Davina alami sekarang.Ia menghela nafasnya pelan. Entah sudah berapa puluh kali ia melakukannya dalam satu jam terakhir. Tatapannya kosong ke arah kolam renang sementara kakinya mengayun-ayun di dalam air. Davina melihat ke arah sekitarnya.Ah, sudah hampir satu tahun ia tinggal di rumah ini. Davina yang awalnya datang sebagai pengasuh Clay, siapa yang menyangka pada akhirnya ia malah menjalin hubungan asmara dengan bosnya sendiri. Tapi hidup memang penuh hal yang tidak terduga, bukan?Seperti apa yang terjadi padanya saat ini. Dikhianati oleh pria yang ia
"Karena aku tidak dibutuhkan lagi disini, Mas."Edwin terdiam seketika. Kata-kata Davina cukup membuatnya bungkam dan kaget setengah mati. Pikirannya mulai menerka setiap kemungkinan namun yang seketika terlintas hanya satu.Davina mengetahui apa yang terjadi malam itu.Edwin meraih tangan Davina dan meremasnya lembut."Tapi kenapa? Jangan berkata seperti itu, Sayang. Jangan tinggalkan aku dan Clay, ya?""Sudah ada Mbak Clarissa disini, Mas. Aku yakin dia akan mengurusmu dan Clay dengan baik." Ucap Davina. Bibirnya masih tidak sanggup untuk mengatakan bahwa ia mengetahui apa yang disembunyikan oleh Edwin."Tapi aku bahkan tidak menyukai Clarissa, Sayang."Dan sebuah kalimat itu membuat kesabaran Davina habis seketika. Ia menoleh dan menatap ke arah Edwin dengan nanar."Tapi kenapa kamu bercinta dengannya malam itu?" Ucap Davina tajam.Edwin lagi-lagi bungkam. Kali ini ia bergerak mundur beberapa langkah karena rasa terkejutnya. Benar dugaannya, Davina mengetahui semuanya dan itu yang
Biasanya perjalanan menuju kota kelahirannya akan terasa sangat menyenangkan bagi Davina. Ia akan bertemu ibunya lagi. Sebuah hal yang bagus, bukan?Tapi berbeda kali ini. Setiap kilometer ia meninggalkan Jakarta, hatinya terasa semakin berat. Seolah begitu sulit baginya untuk pergi dari ibukota. Namun Davina tidak akan sanggup untuk bertahan hidup disana. Tinggal bersama kekasih yang ia tahu sudah mencederai cintanya.Mungkin kesalahan Davina adalah memberikan hatinya kepada Edwin. Dan sekarang ialah yang harus menanggung luka itu. Luka karena pengkhianatan yang terasa begitu pahit.Davina menatap ke arah jendela kereta api yang akan membawanya pulang ke Surabaya, kota kelahirannya. Deretan pepohonan berlalu begitu cepat dan tertinggal di belakang. Seolah menggambarkan betapa Davina ingin meninggalkan segala sesuatu yang telah terjadi tetap di masa lalu.Pukul delapan pagi, Davina sampai di rumah ibunya. Sebuah rumah sederhana namun tampak begitu hangat baginya. Ia segera melangkah m
Rumah Edwin menjadi kacau balau semenjak kepulangan Davina. Clarissa bertingkah seolah ia menjadi nyonya di rumah dan mulai mengacaukan banyak hal. Satu persatu masalah mulai terjadi dan itu benar-benar membuat kepala Edwin rasanya ingin pecah.Tiga hari setelah kepulangan Davina, Clay memilih untuk mogok makan. Bocah itu menolak makanan apapun yang dibuatkan untuknya. Ia hanya ingin makan jika disuapi oleh Davina. Tak peduli Mbak Murni atau bahkan Edwin sudah berusaha mati-matian membujuknya dengan segala cara."Clay Sayang, makan dulu ya. Ini Bibi sudah buat sup ayam kesukaan Clay loh!" Bujuk Mbak Murni mencoba meluluhkan hati Clay.Clay menggeleng mantap. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat dan enggan membukanya untuk apapun."Tidak mau, Bi. Aku cuma mau kalau Miss Davina yang membuat dan menyuapinya.""Tapi Miss Davina kan tidak disini, Sayang. Miss Davina sekarang sedang pulang ke rumah ibunya loh." Balas Mbak Murni lagi.Clay menghela nafas kesal. Tangannya bertumpu di meja makan d
"Davina?"Suara perempuan itu jelas bukan Davina. Edwin mengutuk kebodohan dirinya yang begitu merindukan Davina hingga ia lupa gadis itu tidak berada di sisinya. Ia berdecak kesal dan melepaskan tangan yang memeluknya. Tanpa memandang si pemilik tangan, ia mengusir wanita itu pergi."Pergilah, Clarissa. Sebelum aku marah kepadamu.Tapi Clarissa tampaknya tidak peduli. Wanita itu tertawa puas dan duduk di samping Edwin. Di kursi yang biasanya didudukki oleh Davina setiap malam. Edwin melirik Clarissa tajam."Jangan duduk disana." Ancam Edwin.Clarissa mengangkat sebelah alisnya dan pandangannya tampak bertanya-tanya."Kenapa? Karena ini kursi Davina kesayanganmu?" Ejek Clarissa puas.Edwin terdiam. Ia begitu malas menanggapi sindiran dan ejekan Clarissa yang semakin besar kepala. "Astaga, Edwin. Apakah kamu sebegitu rindunya dengan gadis itu sampai mengira aku Davina? Padahal aku hanya memakai parfumnya saja." Ucap Clarissa sembari mencium pergelangan tangannya yang beraroma cokelat
Nada dering itu berbunyi beberapa kali. Tidak ada jawaban. Mbak Murni mencoba sekali lagi dan hasilnya sama. Ia menoleh kepada Edwin sembari menggelengkan kepalanya."Mungkin sudah tidur, Pak."Edwin menghela nafas berat. Tentu saja. Sekarang sudah pukul tiga pagi dan siapa yang masih terjaga jika bukan karena tangisan anaknya? Edwin sendiri bahkan merasa tidak enak karena terus menerus merepotkan Davina untuk urusan Clay. Ia hampir pasrah dengan tangisan Clay yang tak kunjung reda saat ia mendengar sebuah panggilan masuk ke ponsel Mbak Murni.Wanita tua itu langsung meraih ponselnya dan matanya membelalak saat membaca nama Davina di layarnya."Mbak Vina, Pak!" Seru Mbak Murni senang.Edwin pun ikut sumringah mengetahuinya. Mbak Murni segera menjawab telepon itu dan wajah Davina yang masih mengantuk tampak jelas di layar."Ada apa, Bu?" Tanya Davina dengan suara sedikit serak khas bangun tidurnya."Clay menangis terus, Mbak Vina. Dia mencari Mbak Vina dari tadi." Jelas Mbak Murni deng
Hampir dua minggu Davina sudah berada di rumah ibunya. Menenangkan diri awalnya. Tapi lama kelamaan Davina merasa betah disini. Tentu saja karena ia merasa aman berada di dekat ibunya.Dan kesibukan Davina sekarang hanyalah membantu ibunya di toko sembako milik sang Ibu. Ia akan berjaga disana hingga toko tersebut tutup agar ibunya dapat sedikit beristirahat. Membosankan memang. Tapi sepertinya hal seperti inilah yang Davina butuhkan untuk sekarang. Sesuatu yang sedikit monoton agar ia dapat menghabiskan waktunya untuk berpikir dan memutuskan kemana kakinya akan melangkah.Hari ini, toko ibunya sedikit sepi dibandingkan biasanya. Maklum sedang akhir bulan. Banyak orang yang mulai mengerem pengeluarannya hingga menunggu bulan berganti dan gaji diterima. Tatapan Davina terfokus pada layar ponselnya yang menayangkan drama Korea favoritnya. Kebiasaan barunya yaitu menghabiskan waktu dengan menonton sekumpulan pria tampan dan wanita cantik beradu peran. Benar kata orang, saat sedang patah
Untuk pertama kalinya Edwin enggan menghadiri makan malam bersama pengusaha lainnya. Sungguh berat hatinya untuk tampil di depan publik bersama mantan isterinya itu. Karena kabar perceraiannya satu tahun yang lalu merebak begitu cepat bagaikan kebakaran di musim kemarau. Kemunculannya kali ini bersama Clarissa tentu akan membuat gosip baru lainnya.Tapi apa yang bisa dilakukan Edwin? Ia tidak punya pilihan lain selain menggandeng Clarissa ke acara itu. Mobilnya berhenti tidak jauh dari barisan mobil lain yang akan menuju ke hotel tersebut. Edwin menoleh ke arah Clarissa yang tampak begitu senang malam ini."Clarissa, ingat kata-kataku. Jangan berbicara apapun tentang rujuk karena kita tidak akan pernah melakukannya."Clarissa tertawa sembari mencondongkan tubuhnya untuk berbisik kepada Edwin."Baiklah, Sayang. Tidak ada pembicaraan tentang rujuk. Aku mengerti."Edwin berdecak kesal mendengar bagaimana Clarissa memanggilnya."Dan jangan panggil aku Sayang." Ancamnya keras."Baiklah, Ed
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun