Sindiran dalam kata-kata Sandy begitu kuat sehingga bahkan orang-orang yang berdiri di luar pintu pun nggak tahan mendengarnya."Tuan Muda Jefri memperlakukan setiap pacarnya dengan tulus, dia nggak pernah membohongi atau mengkhianati mereka."Artha berjalan masuk dengan kepala tegak dan dada terangkat.Sandy menoleh ke belakang, lalu memalingkan pandangan, menatap Jefri dengan jijik."Bukankah menjijikkan punya banyak pacar?"Ketika Jefri mendengar ini, dia merasa tidak nyaman dan ingin bangun, tapi Artha menahannya."Tuan Muda Jefri hanya bersenang-senang untuk menghabiskan waktu, bukan untuk meniduri mereka."Setelah Artha menjelaskan, dia menghampiri Sandy."Dalam hal ini, Tuan Muda Jefri memang nggak bisa dibandingkan dengan Dokter Sandy ...."Wajah Sandy terlihat kesal."Apa maksudmu?"Artha pun tersenyum kecil."Dokter Sandy, setelah kamu lulus SMA, kamu ada di luar negeri. Pergaulan di sana cukup bebas, orang-orangnya juga cenderung sedikit. Pasti nggak akan sulit mencari tahu
Begitu Sara memasuki pintu, dia melihat Sandy sedikit gugup dan berdiri, seolah-olah dia sudah melakukan kesalahan besar dan terlihat sangat bingung."Sara, apa Dokter Lilia sudah memberitahumu semua yang terjadi hari ini?"Sara berpikir Sandy akan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tapi tanpa diduga dia mengambil inisiatif untuk berbicara."Ya."Dia mengangguk dan berjalan menghampiri Sandy."Kenapa kamu menungguku di sini? Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?"Sara ingin mendengar penjelasan Sandy?Sandy pun langsung menjelaskan, "Apa yang dikatakan Lilia benar. Aku memang menggunakan nama Ivan untuk memprovokasi Jihan."Melihatnya seperti ini, Sara terdiam lama sebelum berkata, "Jihan datang padamu bukan untuk ikut campur dalam urusan kita, tapi dia marah karena adiknya terluka sampai harus masuk rumah sakit. Dia ke sini untuk meminta penjelasan. Dia sudah bilang kamu harus bertanggung jawab, dia memintamu menyelesaikan masalah ini sendiri. Dia hanya ingin kamu meminta
Sorot tatapan Sara yang penuh dengan emosi rumit berangsur-angsur terlihat kecewa, "Semenjak kita pacaran, dia hanya dua kali melakukannya. Sekali waktu di Kota Ostia dan sekali sekarang. Selebihnya, Jefri menepati janjinya dan selalu memutar arah setiap kali melihatku. Dia tak pernah mengusikku, tapi kamu bisa-bisanya punya spekulasi dia selalu melakukannya? Bukankah itu berarti kamu sendiri menganggapku sebagai wanita genit? Ya 'kan, Kak Sandy?"Sandy tersentak mendengar Sara memanggilnya, membuatnya langsung merasa bersalah. "Bukan begitu. Aku percaya padamu kok, aku juga tahu kamu sudah menolak Jefri. Jefri-lah yang terus menemuimu di saat kamu sudah punya pacar. Maaf, aku sudah salah. Aku nggak seharusnya berspekulasi padamu seperti ini. Maaf aku sudah mengecewakanmu."Sara menatap Sandy dengan tenang selama beberapa saat, lalu berujar dengan tenang, "Kak Sandy, aku sadar ... kalau kita ternyata nggak terlalu cocok, jadi ayo putus."Sandy langsung berujar dengan gelisah, "Jangan b
Sandy tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam, mengira Sara putus dengannya karena campur tangan Lilia, jadi dia menyalahkan Lilia atas semua yang terjadiKeesokan harinya, Sandy pergi ke rumah sakit dengan lesu. Begitu dia duduk di ruangannya, Reo bergegas menemuinya dengan gembira sambil membawa setumpuk informasi."Dokter Sandy, obat yang aku kembangkan berhasil!"Kesedihan Sandy mendadak lenyap. Dia segera mengulurkan tangan untuk mengambil dokumen yang diserahkan oleh Reo."Ini adalah pujian tinggi yang diberikan oleh para ahli internasiona!""Tentu saja, rumah sakit juga pasti akan mendapatkan pujian."Sandy sangat bersemangat sehingga tangannya yang memegang dokumen itu gemetar."Bukankah ini berarti kamu bisa memenangkan hadiah nobel kedokteran?"Reo mengangguk dan melambaikan tangannya."Itu sih nggak penting. Yang penting obat-obatan ini bisa membantu pasien menghilangkan rasa sakit dan menyembuhkan mereka."Reo merasa bahwa misi penting seorang dokter adalah mengobati penya
Sekelompok dokter dan perawat berjalan menuju wastafel di koridor, lalu melepas sarung tangan dan mencuci tangan masing-masing dengan sabun sambil mengobrol."Dokter Reo benar-benar sial. Dia membantu Dokter Sandy melakukan operasi, tapi malah terjadi kecelakaan seperti ini. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab?""Siapa lagi? Pasti Dokter Reo! 'Kan bukan Dokter Sandy yang melakukan operasinya ....""Ya sih, tapi Dokter Sandy juga pasti disuruh tanggung jawab."Salah satu kepala perawat pun melirik si dokter yang bicara. "Nggak masalah siapa yang bertanggung jawab sekarang. Yang penting, pihak keluarga almarhum percaya bahwa Dokter Reo melakukannya dengan sengaja."Si dokter pun berhenti mencuci tangannya, lalu mengangkat kepalanya dan bertanya kepada si kepala perawat, "Kenapa begitu?"Setelah melihat sekeliling, si kepala perawat pun mendekatkan kepalanya kepada si dokter dan berbisik, "Bukankah pasien yang meninggal itu ahli medis yang terkenal secara internasional?
Di ruang rapat rumah sakit, Lilia menginterogasi semua orang yang terlibat dalam operasi tersebut. Semua orang pun sepakat bahwa kesalahan dokterlah yang menyebabkan kematian tersebut.Lilia curiga Sandy sengaja menyembunyikan kondisi pasien. Lilia sudah membaca sendiri laporan pemeriksaan almarhum dan tidak ada masalah apa-apa di sana. Setelah itu, Lilia menonton rekaman operasi di mana Sandy menghentikan Reo menyentuh pembuluh darah besar si pasien. Lilia juga membaca hasil otopsi yang mengatakan bahwa pasien meninggal akibat kesalahan dalam perbaikan pembuluh darah besar.Walaupun curiga, Lilia juga tidak bisa langsung menyalahkan Sandy tanpa bukti. Dia hanya bisa menyelesaikan masalah ini dengan memberi kompensasi besar kepada anggota keluarga pasien dan juga berjanji kepada mereka untuk memecat Reo selaku dokter bedah utama.Murid-murid almarhum sebenarnya adalah orang-orang paling berbakat di bidang medis internasional. Mereka semua meminta pihak rumah sakit untuk memastikan Reo
Lama sekali mereka berdua hanya saling berpandangan, lalu Reo berujar."Aku tahu kamu ingin aku menerima penghargaan tersebut, mengira bahwa kehormatan ini adalah milikku, tapi kenyataannya aku nggak terlalu peduli soal itu. Selama pasien menggunakan obat yang aku kembangkan, itu sudah cukup buatku.""Tapi ...."Lilia ingin mengatakan sesuatu, tapi Reo menyelanya sambil tersenyum, "Apa kamu percaya? Aku memiliki bakat hebat dalam mengembangkan obat-obatan. Bahkan kalaupun aku nggak memenangkan penghargaan kali ini, aku pasti akan mendapatkannya lain kali. Yang penting aku nggak menyerah belajar tentang kedokteran ...."Sinar matahari sore pun menembus masuk ke ruang konferensi melalui jendela kaca, menyebabkan tubuh Reo seolah bersinar menyilaukan.Lilia balas mengangguk dengan bangga, "Aku yakin kamu memang bisa, tapi reputasimu ...."Reo menyadari sorot tatapan Lilia yang menyesal. "Yang penting kamu percaya padaku. Reputasi itu cuma apa kata orang, sama sekali nggak penting buatku."
Setelah menangani masalah tersebut, Jihan pun ditelepon ke rumah sakit oleh orang tua Jefri.Orang tua Jefri sudah berusaha untuk mendamaikan masalah Jefri yang menabrak Jodie sampai tulang Jodie patah.Namun, Jodie benar-benar keras kepala. Tidak peduli negosiasi seperti apa yang ditawarkan, Jodie bersikeras mengatakan bahwa pokoknya Jefri harus dipenjara.Ketika Jihan dan yang lainnya bergegas ke kamar rawat Jodie, pria itu sedang duduk bersila di atas ranjang rumah sakit sambil bermain kartu dengan Zeno, Cessa dan Jordan...Begitu melihat Jihan, Zeno pun bangkit berdiri dan menyapa pria itu dengan hormat. Jodie bersandar di ranjang rumah sakit sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi."Zeno, apa hari ini angin barat laut bertiup? Coba lihat atasanmu yang tampak memesona itu ...."Zeno mengabaikan sindiran Jodie, dia berpura-pura cuek dan menggaruk bagian belakang kepalanya."Oh, ya? Kok aku nggak ngerasa? Coba buka jendela dulu ...."Zeno pun hendak melakukannya, tapi Jodie memelotot
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je