Sekitar tiga puluh menit, Ema dan Elang menjenguk pak Satria.
Namun, hanya bisa di luar kamar saja, itu pun tanpa kursi. Mereka berempat berdiri, sambil bercerita.
"Dik, besok kita balik lagi aja, ya." Akhirnya Elang berinisiatif untuk mengajak Ema, apalagi tampak oleh Rere dan Dewa bagaimana Elang berulang kali menggerakkan kakinya tak beraturan.
"Iya, Ma. Kasihan Elang, sudah capek berdirinya." Dewa pun ikut sepakat, setengah menggoda Elang.
Semua tersenyum, dan Ema menuruti apa yang Elang mau, mereka berdua pamit dan berjanji akan datang lagi.
Baru saja Elang dan Ema berbelok langkah, pundak Rere di tepuk pelan. Seketika itu juga Rere dan Dewa membalikkan badannya.
"Kalian juga pulang, biar aku yang jaga di sini." Ternyata Mbak Santi, entah sudah berapa lama dia berdiri di belakang Rere dan Dewa.
"Sendirian? Nggak ah, aku di sini juga." tolak Rere pada iparnya.
"Be
Rere membuka matanya dengan malas, entah sudah berapa lama dia tertidur, andaikan goncangan di badannya tidak dia rasakan, mungkin akan lama dirinya terbangun."Re ...."Rere langsung menengok kearah samping kanan, di temukannya wajah Dewa yang sudah segar dengan tersenyum.Rere langsung mengubah pandangannya, ada rasa yang aneh tadi, saat dia dan Dewa saling temu tatap."Kok kamu sudah bangun?" tanya Rere sambil sesekali mengucek matanya dan menutup mulut saat sedang menguap."Sudah dari jam lima, tadi.""Sekarang jam berapa?" tanya Rere lagi."Jam tujuh lewat tiga puluh menit.""Waah, sudah siang, ya?" seru Rere yang kemudian menegakkan badannya dan mengangkat ksdua tangannya ke atas, melakukan peregangan hingga berbunyi."Kok nggak tidur di rumah? Malah balik ke sini." tegur Dewa, dengan tangan kirinya mengusap pelan kepala Rere yang terbungkus hijab."Nggak pa-pa kasihan aja ke kamu, pa
Dengan perlahan Rere menarik pintu hingga terbuka agak lebar, cukup untuk dirinya lewat agar dapat keluar dari ruangan.Di luar, sepi. Tak nampak bayangan mas Rio dan Dewa seperti saat dirinya belum masuk ke dalam ruangan rawat ayah.Rere duduk di salah satu kursi, dengan kaki bersilang. Tangannya kembali merogoh tas dan mengambil benda pipih dari dalamnya.Selama di dalam ruangan tadi, dia sengaja mematikan ponselnya, dengan tujuan agar ayahnya tidak terganggu.Benar saja, begitu data ponselnya dia nyalakan, bunyi notifikasi terdengar bersahutan.Rere masih terkejut melihat aplikasi hijau di ponselnya. Di sana ternyata ada pesan masuk dari mas Rio dan Dewa, yang menjelaskan keberadaan mereka."Dew ...."Rere sedikit tersentak saat mendengar ada suara di dekatnya, wajahnya langsung tengadah."Om Bagas.""Ada apa, Dew? kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu, sehingga tidak menyadari kedatang om." tanya Pak Bagas,
"Menikah!?"Rere langsung tersentak saat mendengar rencana mas Rio dan bunda, yang akan menikahkannya dengan Dewa, minggu ini.Sore itu dia sengaja pulang sebentar untuk mengganti pakaian, dan kembali lagi ke rumah setelahnya. Namun, sesampainya di rumah, ternyata dia sudah ditunggu mas Rio dan bunda di ruang kerja ayah."Re, maksud bunda itu baik, kamu sudah liat sendiri bukan bagaimana kondisi ayah, apakah kamu mau menikah tanpa ada ayah?" kata mas Rio dengan suara tenang, dengan maksud agar adiknya yang mendengar, juga berpikir dengan tenang."Ayah pasti sembuh kok Mas, aku yakin itu," balas Rere dengan semangat menggebu"Aamiin, siapa yang tak ingin ayah sembuh, Re? Kakak sangat menginginkan Ayah sembuh, ini hanya agar kita, terutama kamu, tidak kecewa nantinya jika apa yang kita harapkan tak sesuai dengan kenyataan.""Tapi ....""Apakah kau masih ragu dengan Dewa?""Mas, sebenarnya aku--""Ya sudah
[Hei ...!] Rere tanpa sadar berteriak karena kaget saat mendengar ancaman dari Dewa.Terdengar tawa Dewa di ujung sana. Tampak bahagia sekali sepertinya, karena telah berhasil menggoda Rere.[Tidurlah, nanti malam kita berangkat][Kamu sekarang ada di mana?]Tiiit ...!Seketika itu juga bibir mungil Rere terlihat mengerucut, mendengar bunyi nada putus sambung telpon dari pihak Dewa.Rere meletakkan ponselnya di atas bantal di sebelah bantal yang ia gunakan. Entah berapa lama, akhirnya terdengar juga dengkuran halus dari mulut Rere."Iya ... sebentar," sahut Rere saat mendengar pintunya di ketuk dengan sedikit kasar."Re ... sudah sore, ayo turun!" suruh Bunda dari balik pintu."Yaa, sebentar lagi pasti aku turun."Tak ada jawaban, hanya terdengar suara langkah kaki yang menjauh.Rere mengerakkan tubuhnya, hingga terdengar bunyi gemeretak, kemudian bergegas bangun dari ranjang dan berlalu ke kama
"Ayo Dewa, lekas berangkat. Mama sudah siap." Terdengar suara bu Zeza, bersamaan dengan pintu mobil bagian belakang yang terbuka, dan langsung duduk pas di belakang jok yang di duduki RereRere seketika itu juga langsung mengambil nafas panjang, matanya yang melirik ke arah Dewa yang tampak kesal, dengan kedua alis bergerak naik turun, menggoda."Yang lain sudah naik di mobil yang di belakang. Jadi kita bisa langsung berangkat," jelasnya lagi, karena merasa Dewa masih belum menyalakan mesin mobilnya. Bu"Iya, Ma." Dewa kemudian segera menyalakan, dan melajukan mobil yang ia kendarai dengan sesekali melirik Rere, gemas. Dan tentu saja Rere hanya bisa tersenyum penuh kemenangan."Nih, Dew! Kata bunda, kamu belum makan siang, ya?" Bu Zeza memberikan sebotol susu uht yang selalu bunda simpan di kulkas. Saat ada anak dan cucunya datang."Iya, Ma." Rere menerima uluran botol susu dengan membalikkan badannya sedikit ke belakang. Ke arah Bu Zeza.
"Rere percaya Dewa kok, Ma." desis Rere lirih, dengan pandangan mata menghadap ke arah luar mobil dari jendela yang berada di sisinya. Seperti tak ingin di antara Dewa dan Bu Zeza ada yang mendengarnya.Hingga sampai di tujuan, ketiganya masih terdiam. Keluar dari mobil juga dengan tanpa mengucapkan sepatah kata."Dik!"Suara berat yang sangat di kenal oleh Rere membuatnya berhenti melangkah, dari samping kiri tampak mas Rio sedang berlari kecil mendekat, dengan kedua tangan memegang paper bag yang lumayan besar."Ada apa, Mas?" tanya Rere.Dewa dan Bu Zeza yang juga berhenti melangkah, kini mendekat ke arah Rere."Kamu dan Dewa segera ganti baju. Pakai ini, lekas ya! Dokter hanya mengijinkan dua puluh menit saja." Mas Rio menyuruh adiknya untuk segera melakukan apa yang ia katakan."Ini apa?" tanya Rere yang masih tampak bingung dengan penjelasan yang mas Rio uraikan dengan amat sangat singkat.
Pintu yang berbunyi karena di buka, membuat semua mata langsung tertuju ke arahnya.Rere sontak memberikan Wildan kembali pada mbak Santi, saat melihat pak Kyai yang sudah duduk bersama Dewa, melambaikan tangan ke arahnya."Sini ... duduklah di sini." Pak Kyai menunjuk kursi kosong di sebelah Dewa."Kau doakan dulu istrimu, pegang keningnya dan bacakan doa."Dewa melakukan apa yang di suruh oleh pak Kyai. Dengan tangan menyentuh kening Rere dengan mulut berdoa, yang hanya dapat di dengar jelas oleh Rere dan pak Kyai."Apa kau sudah menyiapkan cincin?" tanya pak Kyai, setelah Dewa menyelesaikan doa, kemudian menurunkan tangan, dan menggantinya dengan ciuman di kening walau sekilas.Bu Zeza dengan langkah cepat, mendekat dan memberikan apa yang tadi pak Kyai minta."Ini, pasangkan pada jari manis istrimu."Dewa kembali menuruti apa yang pak Kyai suruhkan. Memasangkan cincin di jari manis Rere y
Begitu tiba di rumah, Rere segera masuk ke dalam kamar dan langsung menutupnya kembali dengan bantuan kaki, tanpa membalikkan badannya.Jeduug ...!Rere tertegun, langkahnya terhenti saat mendengar bunyi yang lumayan keras di luar pintunya."Sayang, kenapa pintunya di tutup?" Dewa membuka pintu kamar Rere dan ikut masuk ke dalamnya."Kamu ngapain masuk ke kamarku?" tanya Rere dengan dahi mengernyit."Kita baru saja menikah, dan kamu sudah lupa? Itu tidak lucu." Dewa menyentuhkan telunjuknya ke pelipis Rere dan menekannya pelan. Hingga membuat Rere sedikit terhuyung ke belakang.Sedangkan Dewa, tanpa merasa bersalah, melangkah melintasi Rere yang masih kaget, sambil tersenyum."Astaugfirulllah," seru Rere setelah sadar kalau sekarang statusnya sudah berbeda."Itu berarti-" Rere memutus ucapannya sendiri saat melihat Dewa dengan tak tahu malunya membuka kaos yang ia pakai di depan Rere, dan langsung menghempaskan badannya ke atas ranjang
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D