Ucapan Rere sontak membuat Ina terdiam, tangan yang awalnya hendak membuka pintu mobil, berhenti bergerak. Mungkin dia sedang bertanya tanya didalam hati, bagaimana Rere bisa tahu dengan rumor yang terjadi selama ini di kantor.
Tiba tiba terdengar suara Ina terisak. Membuat Rere terenyuh, tangannya terulur menepuk bahu Ina berulang kali, untuk sekedar bersimpati.
"Sabar ya, Ina. Kenapa kamu kok sedih, harusnya kamu tunjukkan pada yang ngomongin di belakang sana, kalau kamu tidak seperti yang mereka katakan." Rere menguatkan hati Ina.
Omongan tentang Ina yang anak orang miskin, namun berhasil langsung berkarir menjadi sekretaris, ternyata membuat iri beberapa karyawan.
Rere sempat mendengar omongan itu, tadi pagi, ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor.
Pedas sekali mulut orang iri, semua di bahas termasuk dengan busana usang yang di pakai Ina, yang notaben
"Ada apa, Dyah?" tanya Rere yang baru saja sampai, melewati ruangan Dewa dan melihat sekretaris Dewa sedang berdiri dengan raut wajah cemas. Seperti ada yang sedang di tunggunya.Dyah mendekat dengan langkah cepat, namun begitu sampai di samping Rere yang masih berdiri di depan mejanya, Dyah hanya bisa meremas kedua tangannya sendiri. Matanya menatap Rere dengan pandangan yang berbeda."Ada apa? Langsung ngomong aja, jangan bikin aku ikutan panik dong, Dyah." seru Rere yang tak sabar dengan sikap Dyah yang masih takut takut kepadanya."Anu, Bu ... pak Dewa." Dengan sedikit tergagap Dyah menjawab."Ada apa dengan, Dewa?"Dyah lebih mendekat pada Rere dan dengan suara pelan membisiki. Sesuatu di telinga Rere.Sontak bibir Rere hanya bisa membentuk huruf 'o' kecil dengan sesekali menganggukkan kepala."Gimana, Bu?" Tanya Dyah lagi dengan mata mulai berkaca kaca. Dengan kedua tangan yang bertaut dan bergerak tak beraturan."Ten
"Nikah! Itu yang harus kamu lakukan. Kalau tidak sanggup, jauhi saja. Jangan memberikan seseorang harapan palsu, itu menyakitkan." Jawab Rere yang memasukkan sesendok nasi dan lauknya ke dalam mulut Alman.Tak ada kotak nasi yang tersisa lagi, karena Rere hanya memesan tiga bungkus saja tadi. Untuk dirinya sendiri dan kedua sekretarisnya."Tapi ...." Alman hendak menyanggah ucapan Rere, namun terhenti karena melihat perempuan di depannya sudah melotot, saat melihat mulutnya masih penuh, membuatnya hanya tersenyum sambil mengunyah makanan."Kamu tahu nggak, Man? Betapa indahnya saat nanti kita pacaran setelah menikah, semua yang awalnya dosa, akan berubah menjadi pahala dan rejeki." ujar Rere sambil memandang lekat pria pemilik mata yang sangat ia sukai."Mana aku tahu, kamu juga jangan sok tahu, deh!" Sungut Alman, yang kembali membuka mulutnya ke arah Rere."Aku tahu, Man. Banyak ustad
"Pak ...!" Dyah mencoba menahan langkah kaki Alman yang langsung menuju pintu masuk ruangan Dewa."Dewa, ada, kan?" Tanya Alman yang membalikkan badannya ke arah Dyah yang sudah berdiri di belakangnya."Ada, Tapi--"Terlambat tangan Alman sudah membuka pintu yang tak dikunci itu, dan langsung masuk ke dalam, hingga membuat Dewa yang kebetulan duduk di belakang mejanya dengan mata terpejam sontak kaget."Apakah kau keberatan, jika aku memaksa masuk?" tanya Alman saat dia sudah berdiri tepat di depan Dewa hanya terhalang sebuah meja.Dewa yang sebelumnya hanya memandang Alman, kemudian beralih pada Dyah yang ada di belakang punggung tamunya itu."Maaf ...." Ucap Dyah saat dewa menganggukkan kepala ke arahnya. Ia langsung keluar dari ruangan dengan menutup pintu."Bagaimana bisa datang tanpa memberitahu lebih dahulu?""Terpaksa kula
Alman menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat di Kemang pinggir jalan persis. Hingga memudahkan baginya untuk memarkir mobil.Tempat tongkrongan makan anak muda dengan nama "Jambo Kupi" menjadi pilihan Alman untuk menghabiskan waktu bertiga bersama sahabatnya.Tempat ini memliki banyak ruangan outdoor, dan sepertinya bebas merokok.Sesuai dengan namanya yakni Jambo, yang berarti saung dalam bahasa Aceh, bangunan tempatnya pun berbentuk saung dari bambu.Rere yang sedang malas berdebat, membiarkan Dewa memilih saung mana yang ia sukai, dan dirinya hanya mengikuti langkah Dewa dari belakang. Meninggalkan Alman yang masih memesan makanan untuk mereka bertiga.Tepat dengan apa yang Rere pikirkan, Dewa langsung duduk di saung paling belakang dari pintu masuk. Rere memilih duduk di depan kursi dewa, mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang berad di tengah kumpulan kursi.Dewa melipat kemejanya di bagian lengan, hingga yang a
"Huk, huk!"Dewa langsung terbatuk, saat mendengar apa yang ditanyakan Alman. Tangan kanannya bergerak menutupi mulut."Ada yang salah dari pertanyaanku ya, Dew?" Ujar Alman yang mengalihkan pandangannya pada Rere yang masih asyik menikmati makannya, sembari melihat Dewa yang terbatuk-batuk."Kok nanya aku? Nanya ke orangnya langsung, biar jawabannya pasti." jawab Rere yang sepertinya tak perduli dengan apa yang Dewa alami."Ya ... elaaah, sensitif banget kamu, Dew? Cuma nanya gituan juga."Rere tak menjawab apa yang dikatakan Alman dia sibuk mengunyah kembali makanan di dalam mulutnya, namun kedua alisnya naik turun bersamaan sebagai isyarat kepada Alman."Kamu kenapa sih, Wa? Ditanya soal nikah aja sampai kesedak." Mengikuti apa yang di katakan Rere tadi, Alman bertanya langsung pada Dewa. Walau sebenarnya dia tahu penyebabnya."Nggak pa-pa sih, cuman nggak nyangka aja kalau kamu bakalan nanya masalah gituan." Dewa kembali ke m
Ada yang berbeda pagi ini di perusahaan, saat Rere menginjakkan kakinya keluar dari lift dan melangkah hendak menuju ke ruangannya.Semuanya tampak sibuk, keluar masuk, menyiapkan satu ruangan besar yang letaknya berada di samping kanan ruangan Dewa, yang katanya nanti akan dijadikan tempat pertemuan para petinggi dan pemilik saham perusahaan.Rere memilih tidak masuk ke dalam ruangannya, ia sengaja meletakkan tas yang di pundak ke atas meja milik Ina dan hanya berdiri saja di samping kursi yang diduduki oleh sekretarisnya."Kamu tadi lihat Dewa nggak, Na?""Sepertinya sudah ada di bawah, Bu. Menyambut para tamu yang akan datang, mungkin." jawab Ina yang sengaja berhenti mengetik di laptopnya hanya untuk menjawab pertanyaan dari bossnya.Tiba tiba saja mata Rere menyipit, saat pintu lift terbuka dan keluarlah, pak Bagas, Dewa dan dua orang lelaki yang keluar bersama.
"Kenapa ...?"Belum sempat Rere menjawab pertanyaan ayahnya.Dewa tiba tiba berdiri dan bergegas menuju ke luar ruangan, membuat semua mata tertuju ke arahnya."Karena aku dan Dewa mempunyai tambatan hati yang lain, Ayah.""Maksudmu, Dewa pacaran dengan orang lain, begitu? Tidak! Itu tidak mungkin Dew!" Pak Bagas yang ternyata menyimak perbincangan antara Rere dan ayahnya, ikut angkat bicara, senyumnya mengisyaratkan kalau apa yang tadi ia dengar dari Rere itu hanya kabar palsu."Kalau kau merasa keberatan, bawa calonmu hari ini juga ke rumah Om Bagas, Dewa pun harus melakukan hal yang sama, barulah pertunangan kalian akan kami pertimbangkan, bagaimana?" tantang pak Satria yang sedang menatap tajam mata putrinya.Revia langsung memalingkan mukanya dari tatapan pak Satria. Ini waktunya dia harus berkompromi dengan Dewa, karena hanya dia yang mempunyai pacar se
Terdengar pak Satria sedang menarik nafas panjang dan dalam. Membuat Rere jadi salah tingkah, karena merasa telah mengecewakan ayahnya."Kita bicarakan ini nanti, saat kita sudah berkumpul di rumah Om Bagasmu."Rere mengangguk saat mendengar keputusan yang ayahnya tadi katakan. Jujur ini adalah kali pertamanya menolak keinginan sang ayah, sebelumnya dia selalu menuruti apa yang orang tuanya inginkan.Selama perjalanan, tak ada lagi pembicaraan mengenai perjodohan, pak Satria yang paham kalau suasana hati putrinya sedang tidak enak, menggoda dengan ujaran- ujaran lucu hingga membuat Rere menyerah, dan akhirnya melupakan sejenak tentang masalahnya tadi.Mobil berhenti di sebuah rumah yang tak asing bagi Rere, sebuah rumah yang dulu kerap ia datangi bersama Alman saat awal masuk kerja.Beriringan, pak Satria dan Rere masuk ke dalam rumah yang tampaknya sengaja tak menutup pintu.
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D