Seminggu kemudian setelah acara pembukaan cabang perusahaan Rajendra Group di Jakarta selesai Agatha menghampiri Adiva di kantornya. Di sana ia juga menemukan Rafka dan Jonathan tengah berdiri berhadapan.“Selamat atas pembukaan cabang ini,” ujar Agatha sambil bertepuk tangan dan berjalan melewati semua orang yang ada di sana.“Aku pikir kamu akan muncul sebagai Agatha Rajendra,” lanjut Agatha sambil melirik ke arah Adiva sekilas sementara gadis itu hanya terdiam di tempatnya.Selama beberapa saat suasana menjadi hening sampai tiba-tiba saja seorang pria paruh baya memasuki ruangan kantor dengan setelan jas berwarna hitam. Pria itu berjalan dengan aura dinginnya.“Papa!” seru Adiva dan Agatha secara bersamaan dengan mata melebar.Agatha menatap Darren sambil tersenyum lalu berlari ke arah pria itu dan langsung memeluknya.“Agatha kangen banget sama Papa,” ucap Agatha.“Papa bangga sekali dengan apa yang sudah kamu lakukan,” ujar Darren membuat Agatha tersenyum dan semakin erat memeluk
Setelah semua orang pergi Rafka menarik tangan Agatha dan menyudutkannya hingga badan gadis itu menabrak tembok di belakangnya. Rafka mengurung Agatha dengan tangannya sementara matanya menatap tajam ke arah gadis itu. Agatha hanya terdiam di tempatnya tanpa berani menatap pria di hadapannya. Agatha dapat menyadari raut kemarahan di wajah Rafka. Gadis itu memejamkan matanya ketika wajah Rafka mendekat ke arahnya. “Apa ini masih terasa sakit?” Agatha membuka matanya ketika merasakan tangan Rafka tengah membelai wajahnya. Agatha meremas ujung bajunya saat merasakan jantungnya yang berdetak lebih kencang, ia juga mulai merasakan pipinya memerah.“Wajah kamu semakin merah sekarang,” bisik Rafka tepat di telinga Agatha membuat tubuh gadis itu berdesir.“Kamu ngapain sih?” Agatha mendorong tubuh Rafka menjauh. “Aku sudah membuat keputusan,” ucap Rafka membuat Agatha mengernyitkan dahinya dan menatapnya seolah menunggu jawaban selanjutnya.“Kamu akan tetap di sini … di samping aku,” sam
Rafka dan Darren masih duduk saling berhadapan dengan mata saling memandang wajah satu sama lainnya. “Apa kamu yakin dengan apa yang kamu bicarakan?” tanya Darren.“Apa kamu pernah berpikir bagaimana mungkin perasaan yang selama ini kamu miliki bisa berubah seketika. Mungkin saja saat ini kamu masih ragu karena kemiripan wajah mereka,” lanjut Darren “Untuk sesaat saya merasa bingung dan saya pun bertanya-tanya tentang perasaan saya … tapi kali ini saya lebih memilih untuk mencintai orang yang juga mencintai saya,” balas Rafka membuat Darren mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap wajah menantunya itu.Setelah pembicaraan mereka selesai Rafka pamit pergi dan tak lama Agatha menemui Darren di ruangan itu.“Apa kamu merasa senang mendengarnya?” tanya Darren saat melihat Agatha berdiri di hadapannya.Agatha hanya terdiam di tempatnya sebelum Darren kembali melanjutkan ucapannya.“Mungkin kalian berdua merasa saling mencintai … tapi ini bukan saat yang tepat untuk kalian bisa bersam
Rafka menyodorkan amplop coklat kepada Adiva sementara gadis itu menatapnya dengan kening berkerut. Setelah membuka amplop itu Adiva menyadari akan maksud Rafka datang menemuinya.“Aku akan mengabulkan keinginan kamu selama ini,” ujar Rafka sambil menatap wajah Adiva dengan tulus.Adiva masih terdiam sambil menatap surat di tangannya. Ia merasakan sedikit terkejut ketika menyadari bahwa laki-laki yang selalu menunjukkan rasanya cintanya ini akhirnya memilih untuk menceraikannya. “Oke kalau gitu nanti akan aku kabarin lagi setelah aku isi semuanya,” ujar Adiva dengan tersenyum.“Seharusnya kamu bisa telepon aku dan nggak perlu repot-repot datang ke sini,” sambung Adiva.“Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Jadi, aku pikir nggak ada salahnya untuk datang ke sini,” balas Rafka lalu tak lama ponselnya berdering dan beberapa saat kemudian ponsel Adiva juga berdering.“Sorry, Div. Sepertinya aku harus pergi karena masih ada urusan yang harus aku selesaikan,” pamit Rafka lalu bangk
Agatha berjalan cepat menuju kamar mandi dan langsung memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset. Setelah itu ia menyegarkan wajahnya dan mengusap mulutnya dengan tangan. Agatha menepuk-nepuk pipinya beberapa kali kemudian menatap wajahnya yang cukup pucat di cermin.Agatha berdiam diri cukup lama memandangi wajahnya lalu tak lama ia memutuskan untuk kembali. Baru saja keluar ia dikejutkan oleh Rafka yang tiba-tiba muncul dan memegang tangannya.“Kamu baik-baik aja?” tanya Rafka dengan wajah cemas.“Kondisi aku nggak pernah lebih baik dari hari ini,” balas Agatha sambil memutar pandangannya.“Aku serius, Agatha! seru Rafka lalu memeriksa kening Agatha dengan menempelkan punggung tangannya yang langsung ditepis oleh Agatha.“Aku nggak apa-apa, cuma kebanyakan makan aja,” sahut Agatha.“Maaf kalau situasinya membuat kamu nggak nyaman. Aku nggak tahu kalau Papa juga mengundang kamu dan Adiva,” pungkas Rafka dengan menatap mata Agatha sementara gadis itu hanya terdiam.“Kalau kamu nggak nya
Di dalam kamar Rafka memilih untuk menonton TV sementara Adiva memilih untuk membaca buku Rafka yang berjajar rapi di atas rak lemari. Adiva mengambil salah satu buku lalu membawanya menuju ke sofa. Mereka berdua memilih mengisi keheningan dengan kegiatannya masing-masing meskipun saat ini pikiran Rafka dipenuhi dengan Agatha. Dalam hati dan pikirannya ia sangat ingin menemui gadis itu.Rafka melirik sekilas ke arah Adiva dan melihat gadis itu sudah tampak mengantuk sambil memegang buku di tangannya.Rafka berjalan mendekat ke arah Adiva dan bersiap untuk memindahkan tubuh gadis itu.“Kakak mau ngapain?” tanya Adiva.“Aku lihat kamu ngantuk jadi aku mau pindahin kamu ke sana. Aku rasa mereka akan buka pintu itu nanti.” Rafka menunjuk tempat tidur miliknya.“Aku di sini aja Kak. Lebih baik Kakak yang istirahat di tempat tidur,” sahut Adiva.“Mana mungkin aku membiarkan kamu tidur di sofa,” ujar Rafka.“Aku nggak apa-apa tidur di sofa. Lagipula ini kan kamar Kakak,” balas Adiva.“Poko
Agatha pergi dari rumah Ravindra setelah meninggalkan pesan kepada Darren bahwa ia memutuskan untuk kembali ke Amerika, tetapi sebelum itu Agatha ingin pergi menemui Riana. Agatha mengamati dari dalam mobil yang ia parkir di seberang jalan dekat toko kue milik Riana. Ia berusaha mengumpulkan keberanian sebelum bertemu dengan Ibu kandungnya itu. Pikirannya sibuk menebak-nebak bagaimana reaksi Riana ketika bertemu dengannya. “Ibu pasti sudah tahu apa yang terjadi kan?” tanya Agatha pada dirinya sambil menatap ke arah Riana yang tengah bersiap membuka tokonya.“Tapi gimana kalau ibu belum tahu? Apa aku harus bicara yang sebenarnya?” batin Agatha.Agatha keluar dari mobil dan menutup pintunya. “Kita nggak akan tahu sebelum mencoba,” gumam gadis itu lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan kemudian berjalan menuju toko yang ada di depannya.“Ibu ….” Riana menghentikan kegiatannya dan menoleh menghadap gadis yang berdiri di hadapannya. Mata Riana melebar sementara tangan
Agatha membuka matanya perlahan, aroma obat-obatan menyeruak ke indra penciumannya. Ia meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang terasa pusing. Agatha mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang didominasi oleh warna putih. Tak lama, seorang perempuan muda dengan atasan dan bawahan berwarna putih masuk ke dalam ruangan lalu berjalan menghampirinya.“Rupanya anda sudah sadar,” gumam perawat tersebut sambil memeriksa cairan infus yang terlihat sudah berkurang.“Bagaimana saya bisa ada di sini?” tanya Agatha.“Tadi dokter Ivan yang membawa anda ke sini,” jawab perawat tersebut lalu tak lama seorang dokter pria tampan memasuki ruangan tersebut.“Bagaimana anda menemukan saya?” tanya Agatha.“Saya tidak tahu apa yang terjadi denganmu … ketika saya melewati jalan saya menemukan mobilmu sudah menabrak pembatas jalan. “Di mana perempuan itu?” tanya Agatha. “Saya tidak menemukan siapa pun di lokasi kejadian,”balas dokter Ivan dengan singkat.“Apa anda sudah menghubungi keluarga