Setelah pulang dari rumah sakit hari itu Agatha merasakan dan menyadari perubahan sikap Rafka padanya. Ia berpikir Rafka marah kepadanya karena persoalan di rumah Ravindra. Setiap hari Agatha menelponnya tetapi tidak pernah ada jawaban, beberapa kali dia datang ke kantor dan tidak menemukan Rafka di sana.Agatha merasa tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan memutuskan untuk menghubungi Adisti yang kini berada di kamarnya. “Aku hamil dan aku sama sekali nggak tahu apa yang harus aku lakukan,” pungkas Agatha dengan tatapan kosong dan matanya yang terlihat sembab karena menangis.“Apa Rafka tahu soal ini?” tanya Adisti yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Agatha.“Aku rasa Rafka sudah mengetahui semuanya termasuk siapa aku,” ujar Agatha.“Aku nggak tahu apa yang pernah terjadi. Aku rasa dia menghindar setelah dia tahu kalau aku hamil,” lanjut Agatha dengan terisak sementara Adisti mengusap punggungnya dengan lembut berusaha menenangkan.“Tenang, Tha. Setahuku Kak Rafka adalah o
Beberapa jam sebelum Agatha pergi menemui Rafka di kantornya ia mendapat panggilan telepon dari Ravindra yang memintanya untuk bertemu dan mengobrol bersama. Agatha pun menyetujuinya kemudian seorang supir datang untuk menjemputnya.Agatha mulai melangkah masuk ke dalam rumah yang ia datangi beberapa hari lalu. Agatha merasa sedikit cemas karena kesan pertamanya pada rumah itu tidak terlalu baik.Seorang pelayan datang untuk mengantarnya menuju ruang kerja Ravindra. “Silahkan, Nyonya. Tuan besar sudah menunggu di dalam,” ucap pelayan tersebut sebelum meninggalkannyaAgatha mengetuk pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu. Di dalam ia langsung menemukan Ravindra yang sudah menunggunya sedang duduk di sofa. “Silahkan duduk!” Ravindra mempersilahkan Agatha sambil tersenyum dengan hangat.“I-iya Om … maksudnya Papa,” balas Agatha dengan tersenyum canggung lalu duduk di hadapan Ravindra. Ia menjadi gugup karena tidak menyangka Ravindra akan menyambutnya dengan hangat seperti ini.“Panggil
Agatha pergi setelah menemui Rafka, tanpa ia sadari air mata sudah membasahi pipinya. Agatha segera mengusapnya dengan kasar lalu menghubungi Ravindra. “Saya memutuskan untuk pergi,” ujar Agatha sambil berusaha menahan suara tangisnya.“Apa kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Ravindra memastikan.“Saya yakin, saya hanya ingin menjauh dan tidak ingin bertemu dia lagi,” ucap Agatha lalu menutup mulutnya.“Kamu pikir bisa pergi begitu saja?” Agatha merasa terkejut saat tiba-tiba Rafka merampas ponselnya dan melemparnya begitu saja lalu mencengkram tangannya.“Jangan pikir kamu bisa menjauh dari aku,” bisik Rafka lalu menarik tubuh Agatha mendekat ke arahnya.“Lepas! aku mohon!” pinta Agatha dengan terisak.“Jangan menangis, rasanya aku adalah pria paling jahat karena membiarkan istri aku menangis,” ujar rafka lalu mencium pipi Agatha sementara gadis itu terpaku di tempatnya ketika mendengar Rafka mengucapkan kata istri.“Maaf atas ucapan aku tadi, maaf juga karena aku terlalu sibuk b
Adiva melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerja Rafka sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Adiva berdiri tepat di depan meja kerja Rafka membuat pria itu menghentikan kegiatannya lalu menatap Adiva yang berada di hadapannya. Setelah pembicaraannya dengan Agatha kemarin Adiva berencana untuk mengakhiri hubungan rumah tangganya dengan Rafka.“Aku pikir kita akan bertemu dua puluh menit lagi,” ujar Rafka sambil melihat jam di tangannya sementara Adiva masih terdiam di tempatnya dan menatap Rafka cukup lama.“Apa ada sesuatu di muka aku?” tanya Rafka membuyarkan lamunan Adiva.“Aku mau kita bercerai, Kak. Tolong tanda tangani surat-surat ini!”seru Adiva sambil menaruh dokumen yang dibawanya ke hadapan Rafka.Rafka menatap dokumen itu dengan menyipitkan matanya. Dia langsung menyadari bahwa perempuan di depannya bukan Agatha melainkan Adiva.“Akhirnya aku bisa melihat kamu lagi setelah pesta pertunangan itu,” ucap Rafka sambil tersenyum.“Apa ini yang langsung kamu berikan
Agatha keluar dengan langkah gontai sambil terus berusaha menahan air matanya yang hampir tak terbendung, ia merasa kekuatan lututnya melemah dan hampir jatuh saat sebuah tangan melingkar di pinggangnya.“Kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah melakukan semuanya?” bisik Rafka tepat di telinga Agatha membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena jarak di antara mereka yang terlalu dekat hingga Agatha dapat merasakan hembusan napas Rafka di bagian belakang lehernya.“Apa yang kamu mau?” tanya Agatha dengan berusaha mengumpulkan kekuatannya dan menyingkirkan tangan Rafka tetapi cengkraman tangannya semakin kuat.“Aku mau kamu mempertanggungjawabkan apa yang sudah kamu lakukan,” balas Rafka lalu menarik tangan Agatha dan membawanya menuju kamar mandi.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Agatha saat Rafka mengangkat tubuh Agatha ke atas wastafel sementara kedua tangan Rafka berada di samping paha Agatha.“Aku rasa kita perlu tempat untuk bicara,” balas Rafka sambil menyeringai dan memainka
Seminggu kemudian setelah acara pembukaan cabang perusahaan Rajendra Group di Jakarta selesai Agatha menghampiri Adiva di kantornya. Di sana ia juga menemukan Rafka dan Jonathan tengah berdiri berhadapan.“Selamat atas pembukaan cabang ini,” ujar Agatha sambil bertepuk tangan dan berjalan melewati semua orang yang ada di sana.“Aku pikir kamu akan muncul sebagai Agatha Rajendra,” lanjut Agatha sambil melirik ke arah Adiva sekilas sementara gadis itu hanya terdiam di tempatnya.Selama beberapa saat suasana menjadi hening sampai tiba-tiba saja seorang pria paruh baya memasuki ruangan kantor dengan setelan jas berwarna hitam. Pria itu berjalan dengan aura dinginnya.“Papa!” seru Adiva dan Agatha secara bersamaan dengan mata melebar.Agatha menatap Darren sambil tersenyum lalu berlari ke arah pria itu dan langsung memeluknya.“Agatha kangen banget sama Papa,” ucap Agatha.“Papa bangga sekali dengan apa yang sudah kamu lakukan,” ujar Darren membuat Agatha tersenyum dan semakin erat memeluk
Setelah semua orang pergi Rafka menarik tangan Agatha dan menyudutkannya hingga badan gadis itu menabrak tembok di belakangnya. Rafka mengurung Agatha dengan tangannya sementara matanya menatap tajam ke arah gadis itu. Agatha hanya terdiam di tempatnya tanpa berani menatap pria di hadapannya. Agatha dapat menyadari raut kemarahan di wajah Rafka. Gadis itu memejamkan matanya ketika wajah Rafka mendekat ke arahnya. “Apa ini masih terasa sakit?” Agatha membuka matanya ketika merasakan tangan Rafka tengah membelai wajahnya. Agatha meremas ujung bajunya saat merasakan jantungnya yang berdetak lebih kencang, ia juga mulai merasakan pipinya memerah.“Wajah kamu semakin merah sekarang,” bisik Rafka tepat di telinga Agatha membuat tubuh gadis itu berdesir.“Kamu ngapain sih?” Agatha mendorong tubuh Rafka menjauh. “Aku sudah membuat keputusan,” ucap Rafka membuat Agatha mengernyitkan dahinya dan menatapnya seolah menunggu jawaban selanjutnya.“Kamu akan tetap di sini … di samping aku,” sam
Rafka dan Darren masih duduk saling berhadapan dengan mata saling memandang wajah satu sama lainnya. “Apa kamu yakin dengan apa yang kamu bicarakan?” tanya Darren.“Apa kamu pernah berpikir bagaimana mungkin perasaan yang selama ini kamu miliki bisa berubah seketika. Mungkin saja saat ini kamu masih ragu karena kemiripan wajah mereka,” lanjut Darren “Untuk sesaat saya merasa bingung dan saya pun bertanya-tanya tentang perasaan saya … tapi kali ini saya lebih memilih untuk mencintai orang yang juga mencintai saya,” balas Rafka membuat Darren mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap wajah menantunya itu.Setelah pembicaraan mereka selesai Rafka pamit pergi dan tak lama Agatha menemui Darren di ruangan itu.“Apa kamu merasa senang mendengarnya?” tanya Darren saat melihat Agatha berdiri di hadapannya.Agatha hanya terdiam di tempatnya sebelum Darren kembali melanjutkan ucapannya.“Mungkin kalian berdua merasa saling mencintai … tapi ini bukan saat yang tepat untuk kalian bisa bersam
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,