Adiva mendesah dramatis dan langsung menenggelamkan tubuhnya di atas selimut berbulu berwarna merah muda milik Agatha. Ia membiarkan ponselnya lepas dari genggamannya.Pagi berikutnya, Anne membangunkannya sambil membawa segelas susu.“Kak, ayo bangun!”Adiva membuka matanya perlahan dan melihat wajah Anne tidak jauh dari wajahnya.“Kakak baik-baik aja?” ujar Anne sambil menaruh segelas susu itu di nakas samping tempat tidur Adiva.“Hmm … iya,” balas Adiva dengan suara serak khas bangun tidur.“Semalam Kakak keluar lagi?” tanya Anne sambil mengendus tubuh Adiva seperti anjing pelacak.
Seminggu kemudian, Adiva setiap hari berangkat ke kantor bersama Darren. Di hari pertamanya ia cukup banyak menyelesaikan pekerjaan hingga malam.“Sepertinya Papa melihat semangat yang berbeda dari diri kamu, Tha.”“Sepertinya aku mulai menyukai bisnis ini, Pa.,” jawab Adiva sambil menatap wajah Darren.Selama beberapa waktu tinggal bersama, Akhirnya Adiva dapat merasakan hangatnya kasih sayang Darren meskipun itu ditujukan untuk saudara kembarnya, Agatha.“Papa bangga sama kamu, Tha. Maaf kalau dulu Papa terlalu memaksamu, semua itu Papa lakukan karena hanya ingin yang terbaik untuk kamu,” ucap Darren.“Iya, Pa. Aku ngerti,” balas Adiva.Setelah sampai di kantor, Adiva bergegas memasuki ruangannya. Ia juga langsung memanggil Dion, orang kepercayaan Darren yang selama ini mengatur keuangan perusahaan.“Bukankah saya minta laporan bank … kenapa belum ada di meja saya?” tanya Adiva dengan tegas.“Saya telah mengirimkannya lewat email anda kemarin,” jawab Dion.“Laporan itu sama sekali t
Keesokan harinya, Adiva disambut oleh seorang pria tampan berambut cokelat dengan mengenakan setelan rapi.“Siapa kamu, dan kenapa ada di ruangan saya?” tanya Adiva.“Saya adalah akuntan baru yang anda minta ….”“Siapa yang memintamu?” tanya Adiva lagi sambil menaruh tasnya di atas meja.“Tuan Dion yang meminta saya,” jawab pria itu.“Siapa namamu?” Adiva meneliti penampilan pria itu dari atas sampai bawah, sebenarnya ia cukup curiga karena tiba-tiba Dion memberinya seorang akuntan.“Nama saya Leo,” balas pria itu.“Apakah saya sudah bisa mulai bekerja?” tanya Leo sambil menyibakkan rambutnya ke belakang dan tersenyum nakal ke arah Adiva.Adiva sama sekali tidak menghiraukan sikap Leo dan langsung menyuruhnya pergi untuk mulai memeriksa pembukuan.Tak lama, Alesya masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Adiva.“Ini masih kantor papa. Jadi, tidak alasan untuk masuk ke ruang mana saja yang aku mau,” balas Alesya.Beberapa saat kemudian, Leo kembali masuk sambil membawa sebuah dokume
Selama beberapa bulan belakangan Agatha dan Rafka sudah jarang bertemu sejak masalah mereka terakhir kali. Agatha banyak menghabiskan waktunya untuk mengunjungi klub malam milik Jonathan. Agatha juga menyadari bahwa pengawal-pengawal Rafka masih mengawasinya. Namun, ia sudah tidak peduli dan memutuskan untuk bersenang-senang. Seperti biasanya, Agatha pulang larut malam setelah menghabiskan beberapa gelas wine. Saat perjalanan pulang, Agatha duduk di sebuah bangku taman sambil tertunduk dan matanya terpejam. Rasa pusing menjalari kepalanya saat tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapannya.“Kak Diva?” tanya gadis itu mencoba memastikan wajah Agatha.Agatha mengangkat kepalanya lalu menyipitkan matanya. “Pergi! aku nggak butuh kamu,” ucap Agatha dengan suara yang tidak terlalu jelas.“Astaga! Jadi, ini beneran Kakak.” “Anne?” Pandangan Agatha tidak terlalu jelas karena mabuk. Ia melihat gadis di hadapannya sebagai Anne, adiknya.“Ini aku Bella Kak.”“Kakak kenapa bisa ada disini?” ta
Selama beberapa hari ini, Agatha berada di rumah Riana. Ia mulai merasa nyaman menjalani hari-harinya karena ia dapat merasakan kasih sayang dari sosok ibu yang ia cari selama ini. Meskipun Riana belum mengetahui siapa dirinya, Agatha tidak keberatan. Gadis itu akhirnya mulai mensyukuri perbuatan yang dilakukan Adiva.Agatha mempelajari beberapa hal seperti memasak, membuat kue, dan ikut membersihkan rumah. Seperti yang sedang ia lakukan saat ini bersama dengan Bella di dapur. Mereka tengah membuat kue.“Kakak, itu tepungnya kelebihan!” seru Bella sambil membersihkan kekacauan yang Agatha buat. “Ya, maaf. Aku udah lama nggak buat ini,” jawab Agatha dengan berbohong karena ini adalah kali pertamanya membuat kue.“Kalau gitu Bella aja deh yang lanjutin, Kakak duduk aja di sana.” Bella menunjuk sofa yang ada di ruang TV.“Nggak, aku mau buat ini,” balas Agatha sambil menggelengkan kepalanya.“Kalau kuenya nggak jadi gimana? Sayang tau bahan-bahannya!” seru Bella dengan cemberut.Mendeng
Setelah kegiatan yang mereka lakukan di dapur, Agatha tengah membersihkan tubuhnya sementara Rafka menunggunya di tempat tidur. Tak lama, Agatha keluar hanya dengan menggunakan handuk yang menutupi tubuhnya. Agatha dapat merasakan bahwa Rafka tak henti menatap tubuhnya.“Ngapain sih liatin aku sampai kayak gitu? Udah sana mandi!” seru Agatha sambil melemparkan handuk lainnya ke arah Rafka yang berhasil ditangkap olehnya.“Tadi aku ngajak mandi bareng kamu nggak mau,” balas Rafka sambil menyeringai.“Yang ada nggak akan pernah selesai kalau kita mandi bareng,” sahut Agatha dengan cemberut.“Udah sana mandi! aku mau ganti baju,” lanjut Agatha.“Ganti aja di sini. Lagipula aku udah melihat semuanya,” pungkas Rafka dengan memainkan kedua alisnya.Agatha merasakan wajahnya mulai memerah sementara Rafka terkekeh menatapnya. Pria itu berdiri lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi setelah mengacak puncak kepala Agatha. Saat Rafka sedang mandi, Agatha dengan cepat berganti baju dan menyiap
Malam harinya, Agatha tengah berbaring menghadap ke arah Rafka yang kini memejamkan matanya. Agatha memandang wajah Rafka dengan seksama. Ada perasaan aneh saat melihat wajah Rafka sedekat ini, antara rasa bersalah dan rasa ingin terus bersama dengannya. Selama beberapa bulan ini, Agatha terus memikirkan bagaimana hubungannya dengan Rafka ke depan. Perasaan gadis itu dipenuhi rasa bersalah karena memiliki perasaan dengan suami dari saudara kembarnya. Agatha juga merasa bersalah karena telah berbohong dengan Rafka selama ini. Meskipun Adiva yang menempatkannya dalam situasi ini, ia merasa bersyukur karena akhirnya ia dapat bertemu dengan Riana.Agatha menelusuri wajah pria itu dengan jari-jarinya. Ia terkesiap saat tiba-tiba Rafka membuka matanya perlahan. “Suka liat aku diam-diam?” tanya Rafka sambil menggenggam tangan Agatha.“Kamu belum tidur?” tanya Agatha kemudian. “Mungkin kamu yang bangunin aku,” balas Rafka sambil menyeringai.Agatha menarik tangannya lalu memukul lengan Rafk
Rafka tidur membelakangi Agatha, sepertinya pria itu masih kesal dengan percakapan yang mereka bicarakan. Agatha hanya menghela nafas panjang sambil menatap punggung Rafka dan beri langit-langit kamarnya. Gadis itu berusaha untuk tidur tetapi tidak bisa karena pikirannya terasa sangat penuh. Akhirnya Agatha memutuskan untuk pergi ke kamar Riana. Agatha melangkah masuk lalu menyibak selimut dan langsung masuk ke dalamnya untuk memeluk Riana. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Riana sambil memejamkan matanya perlahan. Berada dipelukan Riana adalah hal ternyaman yang pernah Agatha rasakan. Agatha membuka matanya perlahan saat merasakan jari-jari tangan Riana mengusap punggungnya. “Ada yang bisa Ibu bantu?” tanya Riana dengan lembut.“Ibu bisa baca pikiran aku ya?” tanya Agatha masih dengan posisinya yang memeluk Riana erat. “Ada apa, sayang?” Kini tangan Riana beralih membelai rambut Agatha.“Aku bingung, Bu. Nggak tau harus bagaimana?” “Bingung soal apa?” tanya Riana.Agatha terdiam
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,