Dering alarm berbunyi. Pukul lima pagi. Aku sengaja membunyikan alarm tiga kali. Jam empat, setengah lima dan jam lima.Kebetulan hari ini aku sedang berhalangan, jadi tak ada kewajiban untuk menunaikan salat subuh. Alarm terakhirlah yang kupakai sebagai alarm bangun tidur.Tak peduli Mas Huda sudah menghilang sedari tadi. Badanku rasanya tak karuan. Perjalanan dan liburan yang harusnya menyenangkan justru membuatku pusing dan melelahkan."Rum, Angga kemana?" tanya ibu tiba-tiba. Aku yang baru keluar kamar pun agak kaget mendengar pertanyaan ibu soal Mas Angga."Ningrum kurang tahu soalnya baru bangun, Bu," ucapku sembari meringis kecil."Oh iya. Anak gadis bangunnya kesiangan," sindir ibu sambil tertawa kecil membuatku garuk-garuk kepala yang tak gatal."Semalam Mas Angga bilang mau hadiri sidang perdananya dengan Mbak Agnes, Bu," ucapku lagi saat ibu sibuk dengan persiapan sarapan. Sepertinya menu pagi ini adalah opor ayam dan tahu tempe. "Kenapa nggak bilang ibu? Harusnya ibu ikut
"Kenapa saya harus tanda tangan, Mas?" tanyaku cukup kaget."Pak Huda yang minta, Bu. Kata beliau sertifikat toko atas nama ibu, buat kado anniversary ibu dan bapak yang kebetulan jatuh pada hari ini. Pak Huda tahu ibu pasti lupa makanya dikasih kejutan spesial," balas pemuda berkaos hitam itu kemudian.Hadiah anniversary? Ya Allah iya. Hari ini ulang tahun pernikahanku dengan Mas Huda yang ke dua belas. Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Huda memberikan kado sebuah toko atau butik di samping Apotek Husada, tak terlalu jauh dari sini.Air mata bahagia menitik seketika. Mas Hamzah, dia notaris yang dipercaya Mas Huda untuk mengurus sertifikat toko ini. Sedangkan di sebelahnya ada Mas Fauzan yang membantu Mas Hamzah mengurus ini dan itu.Tak lama kemudian, Mas Angga dan Mas Huda datang. Mereka ngobrol sebentar di halaman lalu melangkah beriringan menuju rumah."Mas, makasih banyak loh ini. Kamu mah suka bikin deg-deg an. Kupikir suruh tanda tangan apa," ucapku dengan suara serak saa
"Mas, sepertinya Mayang ngikuti kita sampai sini," ucapku saat Mas Huda mendekati ranjang dan rebahan di sebelahku. Dia menoleh, menatapku lekat seolah ingin mendengar kembali kalimat yang baru saja terucap dari bibirku."Iya, Mas. Aku lihat Mayang tadi siang. Dia pakai mobil merah dan berhenti di depan rumah Mbak Sri. Kulihat dia dari rumah Budhe Narni. Meski matanya tertutup kaca mata hitam dan pakai masker segala, tapi aku yakin sekali kalau itu Mayang. Secinta itukah dia sama kamu sampai mencari tempat tinggal kita di sini?"Mas Huda menggeleng pelan. Dia masih tak percaya jika itu memang Mayang. Bodohnya aku tak memotret dia saat membuka jendela mobilnya tadi. Jadi, aku nggak bisa ngasih bukti apa-apa ke Mas Huda kalau yang kulihat itu memang Mayang."Dia kembali sering menghubungi Mas itu baru tiga bulan terakhir, Sayang. Itu pun karena Mas kirim pesan dia duluan dari medsosnya. Minta nomor rekening Om Burhan, karena memang baru tahu kalau Om Burhan masih butuh banyak biaya untu
Pesan dari Mayang benar-benar membuatku tak bisa fokus mengerjakan sesuatu. Padahal hari ini, waktunya aku membantu Mas Huda dan dua karyawanku-- Mbak Nisa dan Mbak Arum untuk menata barang-barang ke toko."Mbak, sepertinya Mbak Ningrum nggak enak badan ya? Dari tadi aku lihat lemes begitu. Mungkin lebih baik Mbak istirahat saja. Soal barang-barang biar aku sama Mbak Arum yang bereskan," ucap Mbak Nisa tiba-tiba saat aku duduk di lantai samping etalase begitu saja tanpa alas."Iya, Mbak. Sepertinya masuk angin atau nggak tahu ini kok kurang fokus. Pusing juga. Badan di sini, tapi pikiran berasa entah dimana," balasku kemudian.Kupijit kening perlahan. Mungkin Mbak Nisa memang benar. Aku kelelahan dan butuh istirahat. Setidaknya agar pikiran sedikit lebih tenang. "Kuantar pulang ya, Mbak? Mungkin kalau istirahat di rumah Mbak lebih tenang. Kalau di sini sedikit terganggu lalu lalang kendaraan apalagi kalau toko ramai." Mbak Nisa kembali menawarkan. Tanpa banyak pertimbangan, aku pun m
Minggu. Aku dan Mas Huda memilih hari ini untuk pergi ke rumah Pak Prabowo anaknya Mbah Juminten. Dengan harapan bertemu dengan mereka. Seandainya Pak Prabowo pekerja, kemungkinan hari ini dia libur.Setelah pamit pada Gala dan Gina yang masih asyik nonton kartun di tivi, aku dan Mas Huda pun pamit ke ibu. Senyum tipis terlukis di kedua sudut bibirnya saat mengantarku sampai teras.Kampung Tegal Sari tak terlalu jauh dari sini. Mungkin setengah jam juga sampai. Mas Huda ingin memakai vespa, tapi kularang. Kuminta dia memakai motor gedheku saja. DTanpa membantah, Mas Huda pun menuruti kemauan istrinya meski kutahu dia kurang suka pakai motor itu dan lebih menyukai vespa tuanya. Aku sendiri tak tahu mengapa Mas Huda terlalu sayang dengan vespa itu. Padahal duduk pun rasanya tak nyaman karena sempit apalagi kalau badannya agak lebar seperti badanku.Sepanjang jalan, aku hanya diam. Pun Mas Huda. Tak ada percakapan seperti biasanya. Entah apa yang dipikirkan Mas Huda saat ini, tapi aku
"Kenapa saya dibuang, Mbah?" Aku masih mampu bertanya meski teramat serak dan sesak."Alasan pastinya Mbah nggak tahu, Ndok. Mbah hanya menerima perintah dari bibimu Minah untuk meletakkan kamu di rumah itu."Deg. Minah? Bi Minah? Aku dan Mas Arka saling pandang. Teringat kembali pesan dari Mayang tentang Bi Minah. Berarti Mayang memang benar soal ini. Kunci masa laluku yang utama ada pada Bi Minah."Minah bilang, kamu terlalu berbahaya jika dirawat oleh ibumu atau bibimu sendiri. Makanya dia cari orang yang tepat dan sabar untuk merawatmu. Dia temukan ibu angkatmu sebagai tempat yang diyakini bisa tulus mencintaimu, Ndok." Mbah Minten menghentikan ceritanya sembari menyeka kedua sudut matanya yang mengeriput."Ibu angkatmu saat itu memang sudah punya dua orang anak, laki dan perempuan. Hidup sederhana dengan suami seorang tukang becak dan buruh tani, kadang juga kerja serabutan lainnya. Namun bibimu bilang, meski mereka hidup sederhana atau mungkin di bawah kata cukup, tapi mereka se
Seorang laki-laki, kutaksir usianya diatas 50 tahun. Kulitnya agak hitam, mungkin karena kesehariannya berada di sawah dan berteman dengan terik matahari hingga membuatnya seeksotis ini."Pagi, Mas, Mbak. Saya Santoso. Tadi Mas Bowo sudah menjelaskan sedikit tentang keperluan Mbak dan Mas ke sini. Misal ada yang bisa saya bantu, Insyaallah saya ikut membantu," ucap Pak Santoso begitu ramah.Dia menyalami Mas Huda lalu aku dan dia pun saling menganggukkan kepala, sebagai tanda perkenalan dan saling menghormati satu sama lain. "Iya, Pak. Perkenalkan saya Huda dan ini istri saya Ningrum. Kami sudah tanya banyak hal sama Mbah Minten soal masa lalu istri saya yang kebetulan adalah keponakan Bi Minah. Mbah Minten bilang kalau bapak berteman dengan Pak Herman-- anaknya Bi Minah. Benarkah begitu?" Mas Huda kembali mengulang penjelasan Mbah Minten tadi. Pak Santoso manggut-manggut. Beliau tak mengelak."Herman memang teman sekolah saya, Mas. Dua tahun lalu saya bertemu dengan dia saat masih
"Gina, awaaassssss!" teriakan Gala membuatku menoleh seketika. Aku yang masih sibuk membeli oleh-oleh khas Semarang untuk dibawa ke Jakarta mendadak shock.Gina dan Gala yang dari tadi ikut memilih-milih camilan di sampingku, entah mengapa sudah menjauh. Gala masih berdiri di sebelahku, sementara Gina sudah ada di seberang dan kini terjatuh di jalanan beraspal. Sebuah mobil sudah menabraknya begitu saja.Badanku lemas seketika saat beberapa orang mengerumuni Gina. Ya Allah aku sudah teledor karena tak memperhatikannya sedari tadi. Gadis kecil berusia hampir 10 tahun itu meringis kesakitan memanggilku. "Ma, Gina. Dia sudah di tepi, tapi mobil itu tetap menabrak Gina," isak Gala yang usianya hanya beda 1,5 tahun dengan adiknya itu.Buru-buru kugandeng Gala untuk menyebrang. Gina menangis kesakitan melihat darah dan luka di kaki dan lengannya. Untung kepalanya tak terbentur aspal, karena lengan kirinya untuk menopang kepala.Mas Huda dan Mas Angga yang baru keluar dari mini market pun b
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa