"Rumah ibu memang nggak ada kamar khusus, tapi rumah kalian di Jakarta. Mana kami tahu."Sebuah pernyataan yang membuatku menoleh seketika. Mbak Sinta. Ternyata dia justru masih menaruh curiga pada adik dan iparnya sendiri. Astaghfirullah."Mbak Sinta masih nggak percaya juga? Siapa lagi yang nggak percaya coba saya pengin lihat. Tunjuk tangan aja deh," ucap Mas Huda sudah mulai memanas. Dia yang tadi cukup santai, mulai keluar keringat dingin. Aku memberinya tissu untuk mengelapnya."Cuma sembilan orang? Bukannya yang kehilangan uang ada 20 orang? Yang 11 orang sudah percaya penjelasan saya tadi atau masih ragu?" tanya Mas Huda lagi. Dia menatap satu persatu sembilan orang yang berjejer di belakang Mbak Sinta."Saya percaya, Mas. Saya yang harusnya minta maaf sudah ikut melapor segala. Gara-gara di sini ramai, suami saya jadi ngaku kalau uang yang saya simpan di bawah bantal dia yang ambil. Bukan tuyul," ucap seorang ibu dengan wajah memerah karena malu. Dia pun kembali minta maaf la
"Rum ... antar ini ke rumah kakakmu. Kalau tanya dari siapa. Bilang aja dari ibu karena dapat rezeki lebih, jadi masak banyak sekalian buat dibagi-bagi ke tetangga. Jangan bilang dari kamu, nanti dia nggak mau terima," perintah ibu dengan rantang susun tiganya. Rantang jadul bermotif bunga yang paling ibu suka. Termasuk rantang favoritnya. "Baik, Bu. Ngomong-ngomong isinya apa aja sih, Bu? Berat banget kayanya ini," tanyaku kemudian. Ibu pun tersenyum tipis lalu menepuk lenganku pelan saat aku menerima rantang itu darinya."Kesukaan kakakmu. Rendang jengkol paling bawah, atasnya opor ayam buat anak-anaknya sama tempe tahu bacem yang paling atas," jawab ibu dengan senyum tulusnya.Begitulah seorang ibu. Sebanyak apapun kesalahan anak-anaknya, selalu berusaha melupakan dan menaafkan. Tetap mencurahkan kasih sayang seperti biasanya, meski dalam hati masih ada luka. Pantas jika ada pepatah kasih sayang ibu sepanjang jalan dan sepanjang masa. Ibu memanglah orang pertama dan satu-satunya
Dadaku bergemuruh kesal, sedih dan bingung. Antara percaya dan tak percaya. Aku benar-benar tak menyangka jika dia sebegitu tega padaku. Padahal selama ini aku sudah banyak berkorban dan mengalah, tapi tetap saja selalu salah di matanya."Apalagi bulan ini suamiku udah nggak kerja, Mir. Dia kena PHK massal, bangkrut kali itu pabrik tempatnya kerja. Makin pusinglah aku. Sekarang aku coba cari pekerjaan lain, kerja di laundry-an gitu. Sehari cuma lima puluh ribu. Masih mendinglah bisa buat bayar bank keliling tiap kamis sama sabtu. Kalau misal Ningrum sekeluarga balik ke Jakarta kan lumayan, dapet transferan tiap bulan. Nggak mungkin ibu ikut ke sana soalnya. Nggak akan mau," ucap Mbak Sinta panjang lebar.Ya Allah Mbak Sinta. Kenapa dia bisa begitu membenciku? Bahkan sampai tega memfitnahku begitu. Astaghfirullah. Ada lagi ujian hidup yang harus kujalani. Dibenci keluarga sendiri, meski kini kutahu jika mereka bukanlah keluarga kandungku, tapi bagiku hanya mereka keluargaku. Sejak aku
"Kenapa, Rum? Kamu mencurigai Pak Hasan?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan tajam.Aku diam saja tak menjawab pertanyaannya. Dia masih saja menatapku sinis seolah aku ini pesakitan yang wajib dibenci dan dibully. Memandangku remeh dan sadis."Iya, dia memang kubayar untuk memfitnahmu. Dia dan tujuh warga lainnya. Bukankah kamu sudah mendengar semua obrolanku dengan Mira? Jadi, sekalian kubeberkan di sini biar kamu tahu dan tak selalu merecoki hidupku," ucapnya lagi. Kalimat cukup aneh yang seharusnya justru kuucapkan padanya. "Terbalik. Justru kamu yang merecoki hidupku, Mbak," balasku tak mau kalah. "Kalau kamu nggak mau direcoki, silakan angkat kaki dari kampung ini. Lagipula kamu sudah tahu kalau kamu hanyalah anak angkat ibu, kan? Kamu nggak ada kewajiban untuk merawatnya! Belum puas dengan semua itu? Mau beralasan apalagi?" Kalimat yang diucapkannya kini semakin menghujam dada. Terlalu menyakitkan. Air mataku kembali luruh ke pipi. Tak perlu lagi berdebat dengannya. Percuma. Dia
Dua hari berada di klinik, aku diperbolehkan pulang. Memar masih cukup ketara di sana-sini. Tak apalah, yang penting aku sudah pulang. Aku cukup rindu dengan kamar sederhana ini.Kamar dengan dinding kayu mahoni dan dan lantai semen tanpa keramik. Rumah masa kecilku yang sarat kenangan ini tak mungkin bisa kulupakan.Aku hidup di sini hampir seperlima abad lamanya. Tak mungkin begitu mudah kulupakan meski sudah memiliki rumah yang mungkin jauh lebih nyaman.Mas Huda memapahku dari halaman menuju kamar, lalu merebahkannya di ranjang. Aroma ruangan ini masih sama. Jendela terbuka lebar, pohon mangga dengan buah yang hampir masak pun terlihat dari atas ranjang."Mas belum paham maksud ucapanmu kemarin loh, Sayang.""Soal apa, Mas?""Soal ucapanmu itu, yang bilang bukan terlahir dari rahim yang sama. Maksudnya apa? Kamu kan nggak jadi melanjutkan ceritanya gara-gara kemarin tiba-tiba Mila dan Andy datang. Sekarang Mas mau dengar, apa yang sebenarnya terjadi. Walau bagaimanapun Mas harus t
Semua heboh karena ibu kembali pingsan. Seperti biasa saat ada percekcokan, sakit ibu pasti kambuh lagi. "Kalau ibu sakit lagi, semua gara-gara kamu, Rum!" bentak Mbak Sinta dengan ketusnya. Dia berusaha merebut ibu dari pundakku. Minta tolong pada Mas Rudy dan Mas Angga agar membopong ibu ke kamar.Kini, hanya tersisa aku dan Mas Huda di sini. Sementara ketiga saudaraku yang lain sibuk mengerubuti ibu di kamar. Ada yang mengipasi, memijit, membawakan air putih dan ada pula yang hanya menangis saja. Siapa lagi yang nangis terus kalau bukan Mila.Dia menatapku dari sudut ranjang ibu. Aku yang kini hanya bisa tertunduk lesu. Tak bisa berpikir jernih untuk melerai masalah ini. Aku sendiri bingung, kenapa Mbak Sinta bisa sebenci itu padaku.Padahal jelas, selama ini aku cukup tahu diri. Tak ingin merepotkan siapa pun sejak dulu, berharap disayangi dan diperlakukan sama dengan yang lainnya.Namun ternyata usaha dan pengorbanan yang selama ini kulakukan hanya sia-sia belaka. Kebencian itu
Sepuluh hari ibu dalam keadaan tak baik-baik saja. Sejak divonis hipertensi ibu memang selalu minum obat. Takut jika tiba-tiba kambuh seperti waktu itu, terpleset saja membuatnya lumpuh sebagian.Hari ini kulihat ibu sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Kubiarkan ibu menyapu halaman, sekalian olah raga supaya tak suntuk karena akhir-akhir ini hanya berdiam diri di kamar.Aku nggak mau ibu kenapa-kenapa, karena itulah tak aku izinkan ke sana-sini sendirian kecuali ada aku di rumah atau pakai kursi roda. Hanya saja sepertinya ibu malas pakai kursi itu, dia bilang masih bisa banyak gerak jadi nggak perlu kursi itu. Aku pun mengiyakan saja. "Mas, kita ajak jalan-jalan ibu yuk, biar nggak suntuk.""Kemana? Nanti ibu kecapekan. Takut tensi ibu naik lagi, Sayang.""Makan aja, Mas. Yang suasana ndeso gitu biasanya yang disukai ibu. Pecel ayam atau lele goreng gitu aja," balasku lagi.Kebetulan mobil box putih itu sudah ditukar dengan si putih alphird yang cantik kemarin. Bukan karena m
Kisah Mas Rudy, kututup rapat. Aku dan Mas Huda tak ingin ikut campur, karena memang bukan ranah kami. Biarlah itu menjadi urusan Mbak Sinta dan suaminya sendiri.Tak ingin ibu melihat kejadian itu, aku dan Mas Huda mengajak ibu dan anak-anak makan di tempat lain. Sebuah restoran sederhana yang tak jauh dari Anggrek Mall."Kenapa nggak jadi makan di sana, Da?" tanya ibu tiba-tiba saat menyelesaikan makannya. Ibu hanya minta ayam goreng dan pecel saja dengan air mineral. Sementara yang lain ayam bakar dan aneka sambal."Penuh, Bu. Mungkin karena restoran baru dan ada spot foto yang cantik jadi laris. Biasalah anak muda 'kan demen foto-foto begitu," jawab Mas Huda dengan santainya. Dia melirikku sekilas lalu mengajak pulang. Mas Huda beranjak ke kasir, sedangkan aku dan yang lain langsung menuju mobil.Hampir jam lima sore kami sampai di rumah. Beberapa tetangga sudah nongkrong di rumah Budhe Narni. Seperti biasa, saling bisik dan lirik."Budhe Wahyuni habis jalan-jalan darimana nih?" t
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa