Harum bau rumah sakit bergitu menyengat tercium di hidung mancung Pras. Ia akan menemani Laurent yang akan menjalani pemeriksaan lanjutan.
Istrinya itu belum mau memberi tahu sakitnya. Biarkan dokter yang berbicara. Supaya lebih jelas dan tertata setiap katanya.
Jemari Laurent membelai wajah sisi kanan Pras. Bulu-bulu halus di wajah Pras sudah mulai tumbuh. Laurent betah terus memainkan jemarinya di sana. Ia duduk di sebelah kiri Pras yang tangan kiri Pras tak lepas memeluk bahu Laurent.
"Nyonya Laurent Margaretha!" panggil perawat.
Penerbangan mereka lancar. Apartemen yang ditempati Pras, dijaga oleh anak buah Dastan. Begitu pun lokasi ia dan keluarganya tinggal.The Red Dragontak bisa disepelekan, apalagi Hongkong wilayah mereka.Anak buah Dastan memberi tau Pras kalau tim dari intel kepolisian Hongkong sudah datang. Laurent terus berada di sisi Pras. Saat Pras berbicara dengan bahasa cina pun, ia tak paham. Hanya menatap kagum betapa pintar suaminya itu."Laurent,""Ya Pras," tatapan Laurent menangkap ada yang tak beres. Terlihat dari raut wajah suaminya itu."Sepertinya akan berat. Apa dengan kondisi kamu, bisa bertahan?""Untuk? Ada apa sebenarnya?" Laurent berdebar hebat.Feelingnya buruk. Kali ini bukan karena Laura, tapi kepada dirinya."Pedro. Dia menyebarkan video kalian waktu- bersama kepadaThe Re
Hari itu pun tiba, Pras kini bertemu dengan Pedro yang membawa barang bukti video ia dan Laurent. Dastan ada di samping Pras juga. Tentu. Ia akan pasang badan untuk koleganya itu.Senyum dan aura wajah dingin Pedro seakan puas menatap Pras yang akan hancur. Dipikiran Pedro, Pras akan menyerahkan Laurent. Jelas tidak. Laurent diapartemen bersama Dara. Kondisinya tiba-tiba lemah. Ini bisa juga berhubungan dengan kondisi Laura juga."Mana Laura?" tanya Pras. Kekehan sinis tampak di wajah Pedro."Aku mau pelacurku. Di mana dia. Aku-" tatapan Pedro menusuk ke arah Pras."Rindu ingin menjamah tubuhnya. Merasakan dirinya meliuk di atasku, apa, kau sudah merasakannya?" Pedro sedikit memajukan tubuhnya saat berbicara kepada Pras.Istrinya dibicarakan seperti itu oleh Pedro. Ia marah. Sangat. Ingin rasanya merebut senjata yang ada di pinggang Dastan dan menembakan langsung ke kepala Pedro.
Laura dan Laurent begitu identik. Kemiripan mereka hanya beda di tahi lalat yang terdapat di dagu Laura serta tinggi tubuh Laurent yang lebih dari Laura. Laurent mengeringkan rambut Laura denganhairdryer. Ia sisir hingga rapih. Laura menatap kembarannya dari pantulan di cermin."Terima kasih udah temuin aku, Rent," Laura menggenggam jemari Laurent."Kita kembar. Sejauh apa pun kita pisah, suatu saat akan bertemu. Kondisimu gimana, Ra? Maksud ku- sakit mu." Laurent menatap lekat Laura."Aku tinggal tunggu waktu, Rent," wajah Laura sendu. Laurent memeluk Laura dari belakang."Aku juga sakit, Ra. Kanker rahim, stadium dua." Laura melepaskan rengkuhan tangan Laurent di pundaknya."Ya Tuhan, Rent." Laura beranjak dan memeluk Laurent. Mereka menangis berdua. Tangisan itu pecah."Berobat ya, Ra, ayo kita bareng-bareng berusaha sembuh. Pras mau b
Laura dan Laurent begitu identik. Kemiripan mereka hanya beda di tahi lalat yang terdapat di dagu Laura serta tinggi tubuh Laurent yang lebih dari Laura. Laurent mengeringkan rambut Laura denganhairdryer. Ia sisir hingga rapih. Laura menatap kembarannya dari pantulan di cermin."Terima kasih udah temuin aku, Rent," Laura menggenggam jemari Laurent."Kita kembar. Sejauh apa pun kita pisah, suatu saat akan bertemu. Kondisimu gimana, Ra? Maksud ku- sakit mu." Laurent menatap lekat Laura."Aku tinggal tunggu waktu, Rent," wajah Laura sendu. Laurent memeluk Laura dari belakang."Aku juga sakit, Ra. Kanker rahim, stadium dua." Laura melepaskan rengkuhan tangan Laurent di pundaknya."Ya Tuhan, Rent." Laura beranjak dan memeluk Laurent. Mereka menangis berdua. Tangisan itu pecah."Berobat ya, Ra, ayo kita bareng-bareng berusaha sembuh. Pras mau b
Kesedihan melanda Laurent, tiba di pemakaman itu, ia kembali melihat orang yang dicintainya terkubur bersama peti berwarna putih. Pras mengusap bahu dan punggung istrinya itu supaya tegar dan ikhlas menghadapi semua takdir kehidupan.Kepala Laurent bersandar di dada suaminya itu. Dengan kaca mata hitam yang ia kenakan, mampu menutupi sembabnya kedua mata Laurent. Pras mengecup pelipis istrinya itu. Perlahan, tanah menutup peti itu menjadi gundukan tanah yang rata. Bunga mawat merah dan pink, yang jadi warna kesukaan Laura menutupi rumah terakhir dan abadinya.Laurent duduk di samping nisan bertuliskan nama Laura. Laura Margaretha. Ia memeluk. Mencurahkan semua rasa sayang kepada kembarannya itu. Ia menundukan kepala. Menyatukan dua jemari tangannya seraya berdoa. Diikuti Pras yang setia berada disebelah wanitanya."Ayo sayang, kita harus terbang ke Jakarta lagi," Pras memegang kedua bahu Laurent sambil memb
"Sebanyak itu jingga tak berubah walau suara gemuruh petir perlahan terdengar di langit itu. Mereka tak suka bertengkar, jujur saja. Tapi mereka yang beda tetap mencoba kuat pada sikap masing-masing. Petir tak perduli seberapa lembut jingga mencoba membuatnya pergi, ia ingin merusak cuaca walau sebentar. Petir terbeban jika harus menahan gemuruh tak tercurahkan lewat suaranya. Jingga perlahan pergi, berubah menjadi awan kelabu mendominasi-"Pras diam. Ia seakan tersadar dengan kalimat di buku yang ia bacakan untuk istri cantiknya yang masih tertidur sudah enam hari lamanya. Ia menoleh sejenak. Meraih jemari tangan kiri Laurent sebelum mulai membacakan isi dari buku yang sudah terbuka hingga halanan delapan puluh sembilan.Ia memangku satu kaki dikaki lainnya dengan tangan kiri memegang buku."Petir menyadari sikap Jingga yang mungkin lelah di hantam suara petir yang menggelegar. Kegelapan pun menerpa. Petir merasa puas s
Wajah Pras begitu terkejut saat melihat dokter melalukan tindakan kepada istrinya yang tiba-tiba nafasnya tersengal-sengal. Setelah di periksa, ada cairan menumpuk di paru-parunya. Brankar didorong ke ruangan lain untuk melakukan tindakan mengeluarkan cairan dari dalam paru-parunya.Semua saling berpelukan, mendoakan keselamatan Laurent. Pras pergi ketempat lain. Ia butuh itu. Ia butuh sendiri. Langkah kakinya perlahan memasuki area tersebut. Ia duduk di tiga baris dari depan. Sepi, hanya ada satu orang yang sepertinya tak mau mengganggu Pras yang sedang berdoa.Ya, Pras berada di dalam Gereja yang tak jauh dari rumah sakit tempat istrinya dirawat. Ia menggengam erat kedua jemarinya saling bertautan. Air matanya jatuh begitu deras. Sesak ia rasakan didalam dada. Ia lupa kapan terakhir ia berdoa menghadap Tuhannya. Ia lupa kapan ia meminta akan sesuatu kepada-Nya. Ia lupa. Terlalu terlena dengan semuanya hingga ia lupa ia itu siapa.&n
Operasi Laurent berjalan lancar. Semua keluarga yang ikut menunggu di depan ruang operasi berdoa bersama sesuai keyakinan mereka masing-masing. Kedua orang tua Aira bahkan ikut datang disaat operasi sudah berlangsung selama dua jam.Flash back.Laurent dan Pras berdoa bersama. Saling menggenggam tangan, juga bersama satu pendeta dari gereja yang waktu itu Pras sambangi. Laurent diberkati. Ia merasakan perubahan Pras yang seperti mulai kembali dekat dengan sang pencipta."Terus berdoa ya Pras. Sampai ketemu lagi nanti." Laurent mengecup kening suaminya itu sudah dengan pakaian lengkap untuk menuju ke ruang operasi di lantai tujuh gedung rumah sakit."Iya. Aku tunggu kamu didepan pintu ruang operasi, kok," belaian lembut jemari Pras di wajah Laurent membuatnya tersenyum. Laurent menoleh ke pria tua yang berprofesi sebagai pendeta itu."Terima kasih sudah datang, Pak,"