Laura dan Laurent begitu identik. Kemiripan mereka hanya beda di tahi lalat yang terdapat di dagu Laura serta tinggi tubuh Laurent yang lebih dari Laura. Laurent mengeringkan rambut Laura dengan hairdryer. Ia sisir hingga rapih. Laura menatap kembarannya dari pantulan di cermin.
"Terima kasih udah temuin aku, Rent," Laura menggenggam jemari Laurent.
"Kita kembar. Sejauh apa pun kita pisah, suatu saat akan bertemu. Kondisimu gimana, Ra? Maksud ku- sakit mu." Laurent menatap lekat Laura.
"Aku tinggal tunggu waktu, Rent," wajah Laura sendu. Laurent memeluk Laura dari belakang.
"Aku juga sakit, Ra. Kanker rahim, stadium dua." Laura melepaskan rengkuhan tangan Laurent di pundaknya.
"Ya Tuhan, Rent." Laura beranjak dan memeluk Laurent. Mereka menangis berdua. Tangisan itu pecah.
"Berobat ya, Ra, ayo kita bareng-bareng berusaha sembuh. Pras mau b
Kesedihan melanda Laurent, tiba di pemakaman itu, ia kembali melihat orang yang dicintainya terkubur bersama peti berwarna putih. Pras mengusap bahu dan punggung istrinya itu supaya tegar dan ikhlas menghadapi semua takdir kehidupan.Kepala Laurent bersandar di dada suaminya itu. Dengan kaca mata hitam yang ia kenakan, mampu menutupi sembabnya kedua mata Laurent. Pras mengecup pelipis istrinya itu. Perlahan, tanah menutup peti itu menjadi gundukan tanah yang rata. Bunga mawat merah dan pink, yang jadi warna kesukaan Laura menutupi rumah terakhir dan abadinya.Laurent duduk di samping nisan bertuliskan nama Laura. Laura Margaretha. Ia memeluk. Mencurahkan semua rasa sayang kepada kembarannya itu. Ia menundukan kepala. Menyatukan dua jemari tangannya seraya berdoa. Diikuti Pras yang setia berada disebelah wanitanya."Ayo sayang, kita harus terbang ke Jakarta lagi," Pras memegang kedua bahu Laurent sambil memb
"Sebanyak itu jingga tak berubah walau suara gemuruh petir perlahan terdengar di langit itu. Mereka tak suka bertengkar, jujur saja. Tapi mereka yang beda tetap mencoba kuat pada sikap masing-masing. Petir tak perduli seberapa lembut jingga mencoba membuatnya pergi, ia ingin merusak cuaca walau sebentar. Petir terbeban jika harus menahan gemuruh tak tercurahkan lewat suaranya. Jingga perlahan pergi, berubah menjadi awan kelabu mendominasi-"Pras diam. Ia seakan tersadar dengan kalimat di buku yang ia bacakan untuk istri cantiknya yang masih tertidur sudah enam hari lamanya. Ia menoleh sejenak. Meraih jemari tangan kiri Laurent sebelum mulai membacakan isi dari buku yang sudah terbuka hingga halanan delapan puluh sembilan.Ia memangku satu kaki dikaki lainnya dengan tangan kiri memegang buku."Petir menyadari sikap Jingga yang mungkin lelah di hantam suara petir yang menggelegar. Kegelapan pun menerpa. Petir merasa puas s
Wajah Pras begitu terkejut saat melihat dokter melalukan tindakan kepada istrinya yang tiba-tiba nafasnya tersengal-sengal. Setelah di periksa, ada cairan menumpuk di paru-parunya. Brankar didorong ke ruangan lain untuk melakukan tindakan mengeluarkan cairan dari dalam paru-parunya.Semua saling berpelukan, mendoakan keselamatan Laurent. Pras pergi ketempat lain. Ia butuh itu. Ia butuh sendiri. Langkah kakinya perlahan memasuki area tersebut. Ia duduk di tiga baris dari depan. Sepi, hanya ada satu orang yang sepertinya tak mau mengganggu Pras yang sedang berdoa.Ya, Pras berada di dalam Gereja yang tak jauh dari rumah sakit tempat istrinya dirawat. Ia menggengam erat kedua jemarinya saling bertautan. Air matanya jatuh begitu deras. Sesak ia rasakan didalam dada. Ia lupa kapan terakhir ia berdoa menghadap Tuhannya. Ia lupa kapan ia meminta akan sesuatu kepada-Nya. Ia lupa. Terlalu terlena dengan semuanya hingga ia lupa ia itu siapa.&n
Operasi Laurent berjalan lancar. Semua keluarga yang ikut menunggu di depan ruang operasi berdoa bersama sesuai keyakinan mereka masing-masing. Kedua orang tua Aira bahkan ikut datang disaat operasi sudah berlangsung selama dua jam.Flash back.Laurent dan Pras berdoa bersama. Saling menggenggam tangan, juga bersama satu pendeta dari gereja yang waktu itu Pras sambangi. Laurent diberkati. Ia merasakan perubahan Pras yang seperti mulai kembali dekat dengan sang pencipta."Terus berdoa ya Pras. Sampai ketemu lagi nanti." Laurent mengecup kening suaminya itu sudah dengan pakaian lengkap untuk menuju ke ruang operasi di lantai tujuh gedung rumah sakit."Iya. Aku tunggu kamu didepan pintu ruang operasi, kok," belaian lembut jemari Pras di wajah Laurent membuatnya tersenyum. Laurent menoleh ke pria tua yang berprofesi sebagai pendeta itu."Terima kasih sudah datang, Pak,"
Keajaiban itu bisa saja terjadi kepada siapa saja asal kita mau percaya dan berharap akan hal itu. Pasangan suami istri itu merasakannya sendiri. Kondisi Laurent berangsur pulih. Walau masih perlu bantuan Pras jika berjalan. Ia tak mau terus duduk di kursi roda. Pras mempekerjakan asisten rumah tangga yang datang hanya dari pagi hingga sore hari. Kegiatan suami istri itupun hanya sering diapartemen."Tuan, Nyonya, saya sudah selesai, saya permisi pulang," ucap wanita empat puluhan itu."Iya, Bi. Bibi, bawa buah-buahan di kulkas ya, kebanyakan, takut malah nggak dimakan saya," ucap Laurent seraya beranjak pelan. Bibi menghampiri Laurent dan menuntunnya."Iya nyonya. Nyonya besok saya bawain jamu ya, nanti minumnya di kasih jarak beberapa jam setelah obat." Laurent mengangguk. Bibi lalu memasukan buah-buahan sesuai perintah Laurent kedalam tas kain. Bibi yang bekerja memiliki dua anak remaja. Suaminya bekerja sebagai petug
"Udah masuk semua belum tas kalian!!" teriak Galang kepala semua pasukannya yang sudah berbaris rapih di samping bis burung biru yang disewa olehnya untuk misi keluarga hari itu. Liburan keluarga. Semua ikut tanpa pengecualian. Pilihan nya pun ke pantai. Ia juga memesan villa yang langsung terhubung keprivate beachresort tersebut."ABSEN!" teriak Andro. Kakak tertua Aira. Ia memanggil satu persatu anggota keluarganya. Tidak ada yang tidak tersenyum dan semangat. Semuanya tampak bahagia. Tiga hari dua malam dirasa cukup untuk menghabiskan waktu bersama sebelum Pras dan Laurent akan meninggalkan tanah air minggu depannya.Total semua warga yang ikut dua puluh orang termasuk asisten rumah tangga. Satu persatu masuk kedalam bis tersebut. Laurent perlahan naik dan duduk di tempat yang sudah disettinguntuknya. Bis khusus untuk pariwisata dengan kursi nyaman pun menjadi pilihan Galang. Papi dan mami Aira ju
Laurent terus menangis dipelukan Pras. Bahkan setelah pesawat yang mereka tumpangi sudah terbang begitu tinggi diatas langit. Ia begitu sedih meninggalkan orang-orang yang begitu menyayanginya dan ia sayangi di bandara beberapa jam lalu."Ssshhh.. udah," Pras mengusap punggung Laurent yang masih bergetar pelan. Kedua tangannya memeluk erat leher kokoh suaminya itu.Skip. Ini penjelasan singkat posisi mereka.Naik pesawat kelas bisnis, paham kan kursi penumpangnya gede bisa jadi buat rebahan. Nah, Laurent duduk dipangkuan Pras dengan posisi semi tiduran. Paham sampe sini, yuk lanjut. Helaian rambut panjang Laurent di sibak ke belakang telinga istrinya itu. Pelukan Pras semakin erat. Membuat Laurent terkejut karena jari jemari nakal Pras malah kemana-mana."PRAS ih!" Omel Laurent. Ia duduk tegap. Tapi ternyata salah lagi kan. Di tatapnya lekat k
"ALEXANDERRRR!" pekik suara Laurent terdengar menggelegar di dalam rumah besar itu. Sudah sepuluh menit ia mondar mandir keliling mencari keberadaan putra itu. Seperti kehilangan jejaknya saja, Laurent bahkan menelfon suaminya, namun tak ia dapati juga keberadaan pria tua itu."Kalian benar, tidak ada yang melihat dua laki-laki itu?" Laurent menatap sendu. Semua menggeleng."Bantu saya cari mereka, dimana si," tak lama, kedua telinga Laurent mendengar suara tawa yang ia hafal. Ia menunduk dan tersenyum. Langkah kaki nya menaiki anak tangga berlapis karpet itu berlahan, tak mau membuat suara. Ia sampai didepan pintu berwarna coklat yang tersambung dari dalam kamarnya. Ruangan Wadrobe milik Pras dan Laurent. Ia lalu berjongkok dan menggeser pintu lemari yang kemarin baru ia kosongkan karena akan dia gunakan untuk menaruh koleksi sepatu Alex. Dua wajah laki-laki itu menatap wanita cantik yang berjongkok di depan lemari dengan tatapan menahan ke
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.