Atmosfer ruang interogasi yang tidak pernah terasa menyenangkan semakin menyesakkan usai Sakil bertanya dengan nada meremehkan pada Ibad yang kebingungan harus memberikan jawaban apa agar Sakil tidak punya alasan untuk menjelek-jelekkan timnya, hal yang Ibad tahu pasti selalu ingin dilakukan oleh Sakil tiap kali menjumpai kesempatan. Di hadapan kedua orang itu, Fatih yang terborgol menanti dengan tegang. Sangat menyadari bahwa dua manusia yang sedang berinteraksi itu tidak memiliki hubungan yang bisa dikatakan baik. Fatih menganggap hal itu wajar saja karena siapa juga yang sudi berteman akrab dengan polisi tengik berwajah sadis yang mengenakan jaket bomber yang entah berapa hari belum diganti-ganti itu? Sebab itu, ia diam-diam mendukung agar Ibad juga ikut menginterogasinya. Setidaknya kehadiran Ibad bisa menetralisir aura menyeramkan yang menguar begitu Sakil memulai pertanyaan yang dirancang untuk menyudutkanya itu. Mungkin Ibad juga bisa berperan sebagai pawang yang mampu menge
Begitu mendengar jawaban Kala yang mengejutkan, Kila dan Pita serempak menoleh ke arah Tita yang nyengir. Kila berusaha mengingat-ingat, mungkin wajah Tita terkubur cukup dalam di lokus otaknya sehingga ia tak kunjung ingat dan tidak berniat mencoba lagi. Ia bisa mengandalkan ingatan Kala karena ia tahu adiknya adalah pengingat yang mumpuni. Kalau Kala yang bilang mereka pernah bertemu sebelumnya berarti itu benar-benar terjadi. Pita sendiri menghadiahkan Tita tatapan kagum sekaligus kesal karena Tita tidak pernah menceritakan kejadian itu kepadanya. Atau pernah tapi ia lupa? “Hehehe. Gue nggak nyangka bisa ketemu lo lagi, Ka. Lo emang nggak bisa jauh dari kasus, ya. Kemarin kasus di kampus, sekarang kasus pembunuhan. Nanti kasus apa lagi?” Kala tersenyum kecut saja menerimanya, entah Tita sedang menyindirnya atau justru salut Kala sudah tak tahu. “Wajar aja sih menurut gue kalo Kala sering ketemu kasus, dia kan kuliah di Hukum. Usai kuliah kan pasti berkutat dengan kasus-kasus. A
Jika di pertemuan sebelumnya suasana ruang makan privat itu dibungkus ketegangan, kali ini kondisi hati orang-orang yang tengah menikmati makan malam lezat itu secerah tanaman yang menjaga ruangan dan seriang ikan hias yang mondar-mandir di kolamnya. Meskipun jika diamati lebih saksama, manusia berkulit putih dan berhidung sedikit mancung dengan perut agak buncitnya yang menonjol tidak kelihatan segembira koleganya, pria yang sudah berusia 50-an tahun namun masih nampak gagah itu. Bila Profesor Gani menyantap makan malamnya dengan semangat sambil berkeringat dan mendesis-desis karena sambal pelengkap ayam gorengnya terlalu pedas untuk lidahnya, AKBP Neco justru menatap gelisah rendang yang teronggok di depannya. Ia tidak bisa menikmati makan malamnya selahap Profesor Gani karena sedang sibuk mereka ulang kejadian kemarin dalam kepalanya. Pertama, Kila yang sepertinya tahu tentang pertemuan rahasianya dengan Profesor Gani. Yang kedua dan lebih mengejutkan, kelihatannya Fatih juga ta
Tempat itu senyap. Sangat cocok digunakan sebagai lokasi peristirahatan terakhir. Tak ada suara kendaraan yang kebisingannya mampu membangkitkan jenazah yang terganggu dari tidurnya. Tak ada tangis dan tawa anak-anak yang bisa mengingatkan tubuh yang terbaring pada keluarganya yang sudah ditinggalkan. Juga tak ada celoteh atau bisik-bisik tentang apapun yang mengusik kedamaian mayat yang bersemayam.Yang menemani para mantan manusia dalam kubur mereka masing-masing hanyalah angin yang setia menampar daun-daun pohon kamboja berbunga putih dan merah muda, kaok burung yang kadang-kadang melintas di langit di atas mereka, dan sayup-sayup bunyi air laut yang tak bisa bosan memeluk pantai. Dan khusus pada saat ini, mereka dikawal oleh seorang wanita cantik berambut layer sebahu yang tengah berjongkok di sebuah makam yang baru berumur kurang lebih dua minggu.Neta tak pernah mengira akan secepat ini mengunjungi makam orang yang telah dibunuhnya. Ia selalu berpikir, setelah Lavi berhasil
“Bagaimana keadaanmu di sini, Nak? Kamu baik-baik saja, kan? Nggak ada yang jahat sama kamu, kan?” Fatih ingin sekali menjawab “ada” pada pertanyaan ibunya yang terakhir, tapi ia tidak ingin ibunya bereaksi mengerikan terhadap jawabannya. Fatih tidak bisa terima kalau ibunya akan bertindak lebih beringas, seperti misalnya menggigit, kali ini bukan tangan tapi telinga, AKBP Neco dan Sakil hingga putus sehingga ibunya juga berakhir di penjara jika Fatih terlalu cengeng mengadu pada ibunya tentang perlakuan kedua oknum itu kepadanya. Sebab itu, Fatih hanya bisa tersenyum menenangkan dan menggelengkan kepala untuk membalas ucapan ibunya. Ibu Fatih, emak-emak yang rajin berolahraga dan senantiasa berpenampilan fashionable itu menggenggam tangan anaknya, terenyuh melihat keadaan putranya. Baginya, baju tahanan berwarna coklat muda itu sama sekali tidak cocok dikenakan oleh Fatih. Ruangan besuk dengan beberapa pasang meja dan bangku dengan lampu besar yang bertengger dengan angkuh di lang
Tita memandang berkeliling. Tidak ada yang berubah sejak ia meninggalkan kampus ini dua tahun yang lalu. Kafetaria kampus tempatnya bersemayam sekarang masih tetap menjadi tempat yang paling ramai di seantero Universitas Ryha. Susunan meja dan bangkunya masih begitu-begitu saja karena pihak kafetaria tidak mau atau terlalu malas mendekor ulang. Tidak ada penambahan pedagang yang berjejeran bercokol di salah satu sisi kafetaria. Tita tersenyum sekaligus kasihan melihat Mang Ujang, pedagang yang paling sering Tita beli dagangannya, kewalahan melayani pesanan pembeli yang berebutan bicara di dekatnya.Tidak ingin menambah keributan di sekitar pendengaran Mang Ujang, Tita memutuskan untuk belakangan saja memesan seporsi bakso favoritnya, nanti saja ketika gerombolan yang kelaparan itu menyingkir dan Mang Ujang bisa bernapas dengan lebih lega.Menatap berkeliling lagi, kali ini Tita tidak sedang mengamati kafetaria yang begitu-begitu saja, tapi tengah menjelajahi ruangan deng
“Sakil bertanya apa Fatih pernah diinterogasi sebelumnya oleh Pak Neco?” Ibad mengangguk. Ia baru saja selesai melaporkan pelaksanaan tugas pertama dalam rangka menjadi mata-mata Kila di kepolisian, mulai dari pertanyaan yang diajukan Sakil di runag interogasi, respons Fatih, bagaimana Ibad berlari ke ruang interogasi untuk mencegah Fatih menciptakan masalah, Sakil yang merasa interogasinya diganggu, kemunculan AKBP Neco yang dramatis, provokasinya terhadap Fatih, dan jawaban Fatih yang mencengangkan sampai AKBP Neco tiba-tiba kehilangan kemampuan merangkai kata. Kila memanyun-manyunkan bibirnya, menelaah kisah yang disampaikan Ibad. Perkiraan Ibad bahwa Sakil mempunyai laporan interogasi yang tidak pernah dilakukan alias palsu kemungkinan benar. Untuk membuat Fatih sebagai pelakunya, AKBP Neco mengarang laporan interogasi kemudian diberikan kepada Sakil sebagai pedoman untuk menginterogasi Fatih agar ia mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. “Jadi,
Profesor Gani baru saja memasuki halaman rumahnya, melewati pria tua yang diberinya jabatan sebagai pengurus taman yang membungkuk-bungkukkan badannya di samping pagar dan memarkirkan mobil dengan wajah sumringah. Ia telah melewati satu lagi hari yang menyenangkan, damai tanpa gangguan yang diciptakan oleh anak yang sudah beberapa hari tak dilihatnya, baik di kampus ataupun di rumah.Tapi Profesor Gani sama sekali tak mengkhawatirkan hal itu. Tak terlihatnya Neta di manapun hanya berarti satu hal: Neta sedang menghindarinya. Dan orang yang tidak ingin melihat apalagi berbicara kepadanya bukan masalah bagi Profesor Gani. Sepanjang Neta tidak memproduksi masalah yang bisa merongrong reputasinya, Profesor Gani tak akan peduli keberadaannya.Ia kemudian memasuki pintu utama rumahnya, melewati ruang tamu yang tampak mewah dengan sofa hitam putih seharga belasan juta, melewati ruang keluarga tempat istrinya, wanita memukau itu, sedang asyik membaca majalah ditemani oleh televi
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal