Kila berlari tanpa memedulikan apapun. Bahu yang tertabrak, benda yang terjatuh dan menimbulkan kernyitan tak suka di wajah pemiliknya, warga sipil dengan wajah kebingungan yang melihatnya melintasi koridor, semua itu tak penting. Yang utama adalah dapat tiba secepatnya di ruangan AKBP Neco dan menemuinya, meneriakinya kalau perlu.
Kila baru saja tiba di kantor dan sedang akan bersiap menyalakan lilin aromaterapinya ketika Ibad memasuki ruangannya tanpa sopan santun. Baru saja akan menyodorkan protes, Ibad sudah membuatnya shock dengan kabar yang dibawanya. Kabar yang membuat Kila berderap marah ke ruangan atasannya dan bermaksud mendampratnya. Tak peduli bahwa ia hanya bawahan. Begitu sampai di ruangan yang dituju, tanpa mengetuk pintu lagi Kila langsung masuk. AKBP Neco yang melihatnya datang tanpa etika sama sekali tak keberatan, seolah ia memang telah menunggunya. Tidak sempat merasa heran karena AKBP Neco melewatkan sesi ceramah soal kesopanan seperti biasanya jikaSehari sebelumnya…“Lo bener-bener udah gila, Ka.”Kala mendengus bosan. Fatih sudah mengatakan kalimat itu setidaknya sembilan kali sejak satu jam yang lalu, tepatnya sejak Kala memutuskan melakukan hal ini. Setelah agak tidak tega karena dari tadi tidak merespons keluhan Fatih, Kala akhirnya menjawab.“Jadi? Kenapa lo masih di sini kalo gue udah gila?”Fatih kehilangan kata. Sekalinya bereaksi terhadap pernyataannya, Kala malah memberi balasan telak yang tak bisa ditangkis. Sambil memanyunkan bibir yang membuat citra cowok machonya berhamburan, ia memilih diam.Menganggap kecerewetan Fatih sudah bisa dikendalikan, Kala menegakkan diri. Tinggi badan 181 cm membuatnya harus membungkuk di samping badan mobil, meskipun pegal tapi setidaknya bisa membuatnya tidak terlihat oleh buruannya. Sosok yang dimaksud sedang asyik berbincang dengan orang berseragam yang tengah menemaninya, melintasi halaman sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Kota Ryha. Samb
Memasuki kamarnya yang berantakan, Fatih sudah lelah jiwa dan raga sehingga ia hanya melemparkan ransel tanpa peduli di mana akan mendarat lalu menelungkup di kasur yang ditutupi bed cover warna hitam motif tartan putih. Ia tak pernah tahu menguntit orang akan secapek ini, mengikuti manusia itu kemana-mana sambil menyembunyikan diri. Dengan postur tubuh machonya, Fatih tahu diri untuk mengeluarkan upaya lebih agar tak terdeteksi. Ia dan Kala sudah mengawasi aktivitas Profesor Gani sesiangan itu. Sebenarnya ia tidak gentayangan ke banyak lokasi, setelah makan siang dengan AKBP Neco, Profesor Gani kembali ke kampus, menyibukkan diri di ruangannya hingga sore. Usai mendapat kabar soal kelakuan Neta di toilet kampus –Fatih sendiri tidak menyaksikannya karena sibuk berjaga dengan Kala di sekitar ruangan Profesor Gani-, sambil berderap marah Profesor Gani meninggalkan ruangannya menuju mobil dan berkendara menuju rumah. Melihat sendiri Profesor Gani memasuki pintu rumahnya, ia
Belum puas setelah membanting pintu ruangan atasannya, Kila kembali menghajar pintu ruangannya sendiri saat ia memasukinya. Ia sedang merasa sangat kesal, kalau perlu semua pintu di kantor polisi ini akan ia hantam agar rusak. Serusak mental orang yang memimpinnya.Dengan tangan gemetar dibungkus amarah, Kila menyalakan lilin aromaterapinya, berharap wanginya dapat mengusir emosi negatif yang bercokol di tubuhnya. Ia kemudian duduk bersandar di kursinya sambil memejamkan mata, meresapi kedamaian yang ditawarkan benda di mejanya itu.Setelah meraup dan melempar napas panjang beberapa kali, Kila merasa sudah bisa berbicara tanpa teriak lagi. Membuka matanya, ia sadar harus bersikap tenang menghadapi kekacauan yang disebabkan oleh atasannya yang menjijikkan.Pikiran itu nyaris membuat usahanya untuk menenangkan diri sia-sia. Sebelum mulutnya kelepasan melontarkan makian yang mungkin akan membuat Kila kembali ke ruangan atasannya dan melancarkan amukan susulan, Kila bur
Aula Kantor Polisi Ryha dipenuhi orang-orang yang memanggul kamera dan alat perekam. Mereka adalah awak media yang telah diundang Bagian Hubungan Masyarakat untuk meliput pengungkapan kasus pembunuhan di bukit yang dibawakan langsung oleh Kepala Kepolisian Ryha, AKBP Neco.Beberapa reporter nampak duduk bergerombol sambil penuh semangat membicarakan kasus yang bisa dipastikan akan terpampang di halaman pertama koran keesokan harinya sebagai selingan dari pemberitaan panas tentang politik. Lama-lama masyarakat bisa bosan jika setiap hari hanya membaca tentang tokoh politik yang berseteru.“Gue denger-denger sih pelakunya temen baik korban.”Reporter wanita yang menggunakan blazer biru berkicau. Di sampingnya, reporter pria berkaos abu-abu mengiyakan.“Kata polisi kenalan gue, dia ditangkep tengah malam tadi tapi sempet melawan.” Reporter blazer biru kaget sekaligus senang karena hal itu artinya sudut pandang tambahan bagi berita yang sudah separuh tersusun dalam otaknya.“Dia
“Lo diskors? Kok bisa?”Kila hanya mengangkat bahu kemudian menyesap minumannya lagi dengan santai seolah-olah diskors bukan masalah gawat. Kala yang melihat aksi kakaknya justru gemas sendiri, bagaimana mungkin Kila menganggap skors seperti cuti untuk liburan?“Gue marah sama AKBP Neco karena tangkap Fatih dan membuatnya jadi tersangka. Dia marah balik dan serahin kasus ini ke tim lain dan gue diskors satu minggu.” Kala bingung harus bereaksi seperti apa, salut karena kakaknya berani melawan atasan yang lalim atau bodoh karena diskors sebab membela hal yang dianggapnya benar?“Sekarang kita mesti gimana? Kakak justru diskors di saat genting begini.”Tak tega menyaksikan ekspresi adiknya yang merana, Kila tersenyum menenangkan.“Jangan khawatir, kita tetap bisa dapat akses ke kantor polisi kok. Ada Ibad dan Pita yang bisa kita jadikan mata-mata. Sementara itu, kita akan berburu di luar.”Ide untuk menjadikan rekan kerja kakaknya sebagai mata-mat
Insiden di toilet cewek kampus kemarin sepertinya menimbulkan efek yang sama pada setiap orang, baik yang melihat langsung ataupun yang sekadar mendengar gosipnya saja karena begitu turun dari mobil mahalnya, Neta langsung disambut dengan tatapan siapa saja yang kebetulan ada Neta dalam jangkauan pandangnya. Bukan tatapan kagum atau memuja yang kerap diterima Neta sebelum kematian Lavi, bukan pula tatapan prihatin atau iba seperti yang didapat sebelum konflik dengan Ana kemarin, Neta merasa para mahasiswa kompak menghadiahkannya tatapan jijik. Berpura-pura tak peduli, Neta berjalan dengan dagu tertarik ke atas, memberikan tantangan pada siapapun yang berniat mencacinya, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Upaya itu cukup berhasil karena tak ada mahasiswa yang kelihatan berbisik-bisik dengan suara yang sengaja dikeraskan ketika ia lewat, entah kalau di belakangnya. Kelasnya sudah ramai ketika Neta sampai. Begitu tiba di pintu, obrolan yang terdengar mendengung tiba-tiba berhen
Sudah hampir satu jam ia mempertahankan pose duduknya, menopang wajah dengan kedua tangan sambil tepekur menatap layar laptop yang menampilkan halaman Microsoft Word yang kosong. Tiap layar laptopnya menggelap, ia hanya menyentuhkan jarinya dengan malas ke panel sentuh sehingga layar kembali benderang. Dan ia akan memelototinya lagi. Sebuah perbuatan yang menyia-nyiakan daya laptop saja.Suara pintu yang terbanting di belakangnya pun tak membuatnya beranjak, bahkan hanya untuk sekadar menoleh. Ia sudah hafal siapa yang memiliki kebiasaan buruk memperlakukan pintu yang tak bersalah seperti itu, ia juga sudah maklum apa penyebab pintu itu dibuka tanpa sopan santun.“Tita!”Pemilik nama hanya melempar napas bosan mendengar identitasnya diteriakkan secara membahana. Kalau sudah begitu, berikutnya adalah deretan kalimat tidak menyenangkan.“Apa kerjamu seharian ini? Mana artikel tentang konferensi pers di kantor polisi tadi? Media lain sudah gencar menyebarkan berit
Fatih melempar napas pasrah. Ia sekali lagi harus bersemayam di ruang interogasi yang tidak lebih nyaman setelah ia duduk di dalamnya hampir dua minggu yang lalu. Kursi yang ditempati masih tidak membuat orang yang mendudukinya merasa santai, penerangannya juga masih pelit. Fatih bahkan semakin yakin bahwa memang ada makhluk mengerikan yang bersembunyi di tempat yang tak terjilat cahaya di sekelilingnya, siap menyambar apapun yang mengusik mereka. Aura ruangan ini pun tidak berubah, tetap menyesakkan dan membuat ingin cepat minggat saja.Namun, tekanan yang dipancarkan ruangan ini terasa berkali-kali lipat bagi Fatih karena ia berada di situ sebagai tersangka, bukan saksi seperti sebelumnya. Jika ia tidak ingat bagaimana ibunya setengah hidup membelanya sampai nekat menggigit tangan polisi yang akan membawanya, Fatih mungkin akan bertindak beringas, kalau perlu membuat keonaran di kantor polisi yang dipimpin oknum busuk ini.Tapi, air mata dan wajah ibunya dalam kepala membantu F
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal