Beranda / Romansa / PLAYER / 172 Wasiat

Share

172 Wasiat

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 09:20:46

“Mom beneran nggak mau ya kalo kita ajak?”

“Aku udah nanya ke Mom berkali-kali. Aku juga bilang kalo kita sama sekali nggak keberatan Mom ikut, tapi Mom tetep nggak mau. Katanya, keluarganya sekarang di sini, Mom justru khawatir dia nggak mau balik ke sini kalau ikut kita ke sana.”

Ervin mengangguk mengerti. Lagipula orang tua mana yang mau ikut anaknya honeymoon. Mungkin lain kali ia bisa merayu dan mencoba mengajak mertuanya lagi ke tempat yang pasti menyimpan kenangan untuk wanita yang lahir dan besar di sana tersebut.

“Jadi, ada acara buat empat puluh hari meninggalnya Pak Bagas nggak di rumah Mom?”

“Kata Mom, nyantunin anak yatim aja, sama minta tolong ke pihak panti buat ngadain pengajian. Gimana pun juga keluargaku disembunyiin puluhan tahun, jadi rasanya aneh kalau tiba-tiba gelar acara. Takut istri keduanya Papa meledak-ledak lagi juga kalo tau kita ngadain acara.”

Ervin tersenyum mendengar Arla sudah bisa menyebut Bagaskara Prawira dengan panggilan ‘Papa’. Bukan hal yang mud
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
MAIMAI
pantes arla dan alice yg di celaika alan, ternyata yg mendapatkan warisan jaringan hotel ya mereka berdua. alan ingin menguasai saham hotel sendirian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PLAYER   173 Yang Namanya Tanggung Jawab Itu, Tidak Mengharapkan Balasan

    Dengan refleksnya, Irsyad dan Ervin berdiri untuk menghalangi ketiga orang suruhan Alan. Ervin sampai menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Alan yang tampak berlindung di balik punggung tiga orang kekar itu. Apa menginap di IGD belum cukup untuk Alan? Masih mau mengetes kepalan tinju dan tendangan darinya?“Megang satu sanggup, Vin?” tanya Irsyad yang merasa lebih siap daripada Ervin karena latar belakangnya. “Atau kamu telepon polisi deh selagi aku ngeberesin mereka.”“Kita sama-sama menantu di sini, Mas. Harus balance dong. Mas pegang dua, aku dua. Silakan, Mas Irsyad mau milih yang mana.”Belum ada yang bergerak, baik ketiga orang suruhan Alan, maupun Ervin dan Irsyad. Mereka seperti menunggu siapa yang berani lebih dulu melemparkan bom kepada musuh.“Jangan main-main, Alan! Ada video rekaman waktu kamu tanda tangan surat wasiat itu. Kamu nggak bisa bilang kalau ini surat wasiat palsu. Kamu sebagai salah satu ahli waris papamu udah setuju waktu itu.” Wisnu yang puluhan tahun menga

  • PLAYER   174 Stop Sniffing My Neck!

    “Jadi, kamu sekarang pemegang saham terbesar di perusahaan keluarga Prawira? Dan malah kamu nggak punya saham di Candra Group?” tanya Arla sambil mengernyitkan kening setelah mendengar cerita suaminya.Ervin mengangguk, tidak tampak keberatan apalagi terganggu dengan kenyataan itu. Dengan atau tanpa saham di Candra Group, ia tetap anak dari papa mamanya.“Kalo gitu saham yang dikasih buat mahar waktu itu, kamu pegang lagi aja. Masa kamu nggak punya saham di perusahaan keluarga?”“Masa mahar dibalikin ke aku? Itu hak kamu. Nggak usah kamu pikirin. Cuma untuk sementara kok, nanti kalo semua masalah udah beres, sahamku di perusahaan papa kamu, bakal dikonversi lagi sama saham Candra Group. Ini tuh cuma buat nunjukin sedikit power-ku biar dia nggak macem-macem. Udah tau siapa yang dia hadapi aja, kelakuannya masih begitu.” Ervin merentangkan tangannya, sebagai tanda supaya Arla segera ikut berbaring di sampingnya.“Semua baju kamu di lemari sebelah kiri ya,” kata Arla mencairkan obrolan b

  • PLAYER   175 Aku Padamu

    “Lupain dulu semua masalah, perjalanan kita bakal panjang.”Keduanya sedang berada di lounge eksekutif, sembari menunggu untuk boarding. Ervin baru saja kembali dengan dua gelas kopi di tangannya saat melihat Arla termenung menatap ke luar jendela.“Kan aku udah nyuruh Devi buat nemenin Mom di rumah sampe ngikut Mom ke mana aja Mom pergi. Aku yakin dia mampu jagain Mom.”Arla mengangguk pasrah sambil mulai menyesap kopi yang baru saja Ervin angsurkan kepadanya.Ia teringat lagi dengan pengawalnya selama di Bandung saat Ervin menyebut nama Devi. Tubuhnya tidak sebesar laki-laki, tapi memang lumayan bongsor untuk ukuran perempuan. Arla tidak tahu beladiri apa saja yang dikuasai Devi hingga Ervin menaruh rasa percaya yang besar pada wanita berusia dua puluhan itu, tapi yang jelas, Arla tahu kalau Devi selalu menyimpan pisau lipat di ikat pinggang bagian belakangnya. Arla tak sengaja melihatnya saat Devi menemaninya ke toilet.“Jadi, tenang aja ya. Mas Irsyad juga udah kukasih akses ke CC

  • PLAYER   176 Berandai-andai

    “Udah bangun?” Ervin sengaja tidak membangunkan Arla meskipun ia sendiri sudah bangun sejak tadi dan menikmati waktunya untuk memandangi sang istri yang tadi masih tertidur lelap.Arla mengerjap pelan dan mendapati sang suami yang menatapnya. “Kenapa?” Gosh, pasti penampilannya mengerikan karena tertidur lelap cukup lama. Tapi toh tidak ada wanita yang berpenampilan paripurna saat bangun tidur kecuali lakon di sinetron yang menampilkan adegan bangun tidur, tetapi alis rapi, bulu mata kece badai, bibir lembab berwarna pink, dan complexion wajah sempurna dengan pipi merona merah. Sungguh penipuan sempurna.“Nope. Cantik.”Nah, ini, jenis gombalan sempurna berikutnya. Arla memilih menyerukkan wajahnya di dada bidang sang suami daripada mendapati tatapan intens itu.“Makan malam dulu, Nda, udah malem ternyata. Kita kelamaan tidur.”“Dua menit lagi ya.”Ervin mengangguk, membalas pelukan Arla dengan lebih erat lagi. “Perlu hubungi Ed buat nganter?”“Hmm … kalo ada yang deket sini, jalan aj

  • PLAYER   177 City Walk, the First Stop

    “Hari ini kamu pengennya ke mana, Nda?”“City walk aja.”“Udah nggak capek emangnya?”Arla menggeleng. “Udah penasaran banget soalnya. Semalam kan nggak kelihatan. Tapi kalo ternyata nanti capek, ya udah, kayak rencana kita aja. Cari café, nongkrong di sana.”Arla lantas mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. “Hmm … sebenernya aku mau ke tempat ini.”Ervin mengambil kertas yang sedang dipegang Arla. Tentu saja ia tidak tahu maksud yang tertulis di kertas itu, karena menggunakan bahasa Prancis.“Mom nyimpen alamat ini, tapi aku nggak tau ini alamat siapa. Aku cuma pengen lihat ke sana aja.”“Ok, kita ke sana.”“Tapi udah puluhan tahun, Mas.”“Yaa nggak apa-apa. Rumah yang sekarang ditempatin keluargaku juga udah puluhan tahun, udah dari jaman kakekku, tapi sekarang masih ada kan. Kalau nggak nemuin sesuatu yang berkaitan sama Mom juga nggak apa-apa. Namanya juga nyoba.”“Ya udah, ayo berangkat. Sekalian sarapan di luar kan, Mas?” Sungguh, membayangkan menikmati croissant dan kopi hangat

  • PLAYER   178 Mom, Aku Bertemu Seseorang

    “Excuse me. Pardon—” Ervin yang pertama kali sadar dan segera memanggil dengan bahasa yang ia bisa agar wanita itu berhenti melangkah.Wanita itu benar-benar berhenti, kemudian menoleh ke arah Ervin. “Yes? Can I help you?”“Nda,” tegur Ervin saat melihat istrinya masih terdiam. “Tanya sesuatu.”“Hah? Tanya apa?”“Apa aja.”“Excuse moi. Êtes-vous occupé en ce moment? Pouvons-nous parler un moment?” (Excuse me. Are you busy right now? Can we talk for a moment?)“Bien sur.” (Sure) Wanita itu mendekat dan menempati salah satu kursi kosong di antara mereka berdua. “Êtes-vous en lune de miel?” (Apa kalian sedang honeymoon?)Arla mengangguk sambil tersenyum malu. Memilih to the point karena Arla tahu sebentar lagi mungkin café akan semakin penuh pengunjung, Arla langsung menyampaikan pertanyaannya. “Je … je veux juste te dire que j'ai eu cette adresse dans le journal de ma mère. Je ne savais pas exactement ce que ma mère avait à faire avec cette adresse.” (Saya … saya cuma mau bilang kalau s

  • PLAYER   179 Je Veux Coucher Avec Toi

    Arla menoleh, menatap suaminya dengan heran. Tangannya begitu saja terangkat untuk mencubit lengan Ervin. "Dari sekian banyak kata dan kalimat dasar yang bisa kamu pelajari, kenapa itu sih Mas yang malah dihapalin?"Ervin tersenyum geli, sambil tangannya menahan tangan Arla yang mulai semakin sadis mencubitnya. "Kenapa emangnya? Di semua film, setiap ada orang mau ke Prancis, kalimat itu yang dihapal setelah bonjour, mercy, pardon. Lagian kan aku ngucapinnya ke istri sendiri, bukan ke cewek asal yang kutemuin di pinggir jalan.”"Ya iya, tapi kan—" Arla terpaksa menelan kelanjutan ucapannya karena bibir Ervin lebih dulu menyerangnya."Romantis ternyata ya, ngajakin istri make love pake kalimat tadi." Ervin mengusap pelan bibir istrinya yang tampak basah karena ulahnya."Hah? Romantis dari mana?"Ervin mengedikkan bahu. "Suka aja pokoknya. Kalo di Indonesia, aku ngucap gitu kan nggak bakal ada yang ngerti. Itu sekarang jadi kode kita ya."Arla menghela napas dalam, "Nggak cuma keluargak

  • PLAYER   180 Ring

    “Hari ini kita ke … runtuhan kastil … itu kan?”“Hm,” jawab Arla singkat karena masih kesal Ervin menyembunyikan cincin pernikahan mereka. Untuk apa coba? Menarik perhatian perempuan Prancis?Ervin hanya terkekeh geli sambil sesekali mengusap puncak kepala istrinya setiap kali ia melewati Arla yang sedang bersiap.“Sama Ed kan? Aku bilang ke dia dulu.”“Hm.”Ervin menggeleng pelan lantas keluar dari kamar dan menemui Ed yang menginap di kamar bawah.Arla mendengkus kesal, meraih ponselnya dan memeriksa pesan singkat dari Mom.Mom: Hari ini pengacara papamu mulai proses transfer aset yang disebutkan di surat wasiatYah, mau bagaimana lagi. Surat wasiat itu sah di mata hukum, apalagi dengan adanya tanda tangan Alan sebagai ahli waris Bagaskara Prawira—yang artinya ia menyetujui pemberian wasiat itu. Video rekaman juga jelas-jelas menunjukkan kalau Alan dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan ketika menandatanganinya.Nanti Arla berencana menyerahkan sahamnya untuk Alice agar posisi Alice

Bab terbaru

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

  • PLAYER   194 The True Face of Pramono

    “Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela

  • PLAYER   193 Satu Aja Nggak Abis-Abis

    "Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa

  • PLAYER   192 Kamu yang Menang

    “Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal

DMCA.com Protection Status