Hari bahkan belum menjelang malam, tapi mana Ervin peduli masalah siang, sore, ataupun malam.“Aku belum mandi, Vin,” ucap Arla sambil menepuk pelan dada Ervin.“Aku juga belum, kan kita baru pulang kerja,” Ervin merapikan anak rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Mau mandi dulu? Tapi nanti kamu mesti mandi lagi, jadi ... mendingan nanti aja sekalian mandinya."Setelah ucapan Ervin barusan, Arla jadi benar-benar yakin kalau Ervin ingin 'melakukannya' saat itu juga.Dulu, ia sampai berpikir tidak akan pernah melakukan hubungan intim karena konsep pernikahan tidak pernah ada dalam otaknya.Pun kalau hasratnya sudah terlalu menggebu, mungkin ia akan melakukan one night stand di umurnya yang ketiga puluh, sekadar untuk memuaskan rasa penasarannya. Yang jelas ia akan melakukannya tanpa cinta. Hanya memenuhi kebutuhan biologisnya.Nyatanya, ia kini berhadapan dengan seorang laki-laki yang memiliki hak untuk memintanya melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Dan ya, ia melakukann
“Sayang, mandi ya, abis itu bisa istirahat lagi sebelum makan malam.”Arla tidak menanggapi, malah semakin merapatkan dirinya dengan Ervin.“Mandi sebentar, Nda. Kan baru pulang kerja juga.”“Udah tau baru pulang kerja, malah digarap,” gerutu Arla sebelum bangkit dari kasur dan meninggalkan Ervin yang terkekeh. “Nggak mau kugendong aja ke kamar mandi?”“Nggak! Yang ada kamu mau lagi.”Setelah Arla menghilang di balik pintu kamar mandi, Ervin meraih sepotong kaos dan trunk dari dalam koper. Ia juga belum mandi, tapi aneh rasanya kalau wara-wiri di dalam kamar hotel tanpa berpakaian.Karena tidak tahu mau melakukan apa, dan agar pikirannya tidak melulu kembali ke adegan panasnya beberapa saat lalu, Ervin memilih mencari ponselnya yang tadi ia letakkan sembarangan di ruang tamu.Beberapa pesan chat dari Aris langsung menarik perhatiannya.Aris: Pak, maaf menggangguAris: Saya tahu Pak Ervin melarang saya telepon sejak pulang dari gudang tadi sampai besokAris: Jadi saya sampaikan lewat c
“Ma, Papa chat aku, ngingetin kalo nanti Papa jemput Mama lebih cepet soalnya harus siap-siap ke acara gala dinner.”Karena saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu, maka Arla bisa memanggil atasannya dengan ‘Mama’. Kalau ada pegawai lain, demi menjaga profesionalisme, Arla akan memanggil atasannya itu ‘Bu Rhea’, seperti biasa—seperti saat mereka belum memiliki keterikatan hubungan menantu dan mertua. Padahal Rhea tidak keberatan dipanggil ‘Mama’ meskipun ada pegawainya yang lain.“Loh, kok nggak chat Mama langsung?”“Kata Papa, Mama nggak respon.”Rhea terkekeh geli, dia memang meletakkan ponselnya di dalam laci meja kerja karena tidak ingin terganggu saat sedang serius memelototi angka-angka laporan triwulanan Amigos.“Duh duh duh duh, belum ambil baju lagi,” gerutu Rhea. “Kamu mesti siap juga, La, kalau suatu hari nanti Ervin ngajak-ngajak ke acara perusahaan. Jujur, Mama awalnya juga males, tapi … di acara kayak gitu, rawan muncul orang berniat macem-macem. Ngelihat s
Ervin melirik Arla yang hampir tidak bicara apa pun setelah keluar dari butik milik Anya. “Mau makan siang di mana, Nda?”Arla mengedikkan bahu.“Makan di rumah aja yuk. Sekalian naro bajunya Mama di rumah.”Lokasi butik milik Anya dengan kediaman keluarga Ervin memang tidak terlalu jauh. Karena itu, akan memudahkan mereka kalau mereka memilih makan siang di rumah orang tuanya.“Nggak apa-apa? Atau mau ke tempat lain? Di sekitar sini banyak pilihan makanan kok.”Arla menggeleng. “Di rumah aja. Tapi emangnya Bibi masak buat makan siang kalau semua orang kerja?”“Tetep masak kok. Kan yang kerja di rumah juga perlu makan siang, Nda.”“Oh,” balas Arla singkat.“Ada apa sih? Kamu cemburu sama Anya?”Arla menoleh cepat sampai lehernya terasa sakit. “Aku? Cemburu karena Anya itu salah satu mantan kamu gitu?”“Ya trus kenapa? Sejak keluar dari sana, kamu kelihatan bete banget.”“Masa sih? Nggak ah, justru hari ini aku berhasil bales kelakuannya.”“Kelakuannya?”Arla memejamkan mata, baru inga
“Mom beneran nggak mau ya kalo kita ajak?”“Aku udah nanya ke Mom berkali-kali. Aku juga bilang kalo kita sama sekali nggak keberatan Mom ikut, tapi Mom tetep nggak mau. Katanya, keluarganya sekarang di sini, Mom justru khawatir dia nggak mau balik ke sini kalau ikut kita ke sana.”Ervin mengangguk mengerti. Lagipula orang tua mana yang mau ikut anaknya honeymoon. Mungkin lain kali ia bisa merayu dan mencoba mengajak mertuanya lagi ke tempat yang pasti menyimpan kenangan untuk wanita yang lahir dan besar di sana tersebut.“Jadi, ada acara buat empat puluh hari meninggalnya Pak Bagas nggak di rumah Mom?”“Kata Mom, nyantunin anak yatim aja, sama minta tolong ke pihak panti buat ngadain pengajian. Gimana pun juga keluargaku disembunyiin puluhan tahun, jadi rasanya aneh kalau tiba-tiba gelar acara. Takut istri keduanya Papa meledak-ledak lagi juga kalo tau kita ngadain acara.”Ervin tersenyum mendengar Arla sudah bisa menyebut Bagaskara Prawira dengan panggilan ‘Papa’. Bukan hal yang mud
Dengan refleksnya, Irsyad dan Ervin berdiri untuk menghalangi ketiga orang suruhan Alan. Ervin sampai menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Alan yang tampak berlindung di balik punggung tiga orang kekar itu. Apa menginap di IGD belum cukup untuk Alan? Masih mau mengetes kepalan tinju dan tendangan darinya?“Megang satu sanggup, Vin?” tanya Irsyad yang merasa lebih siap daripada Ervin karena latar belakangnya. “Atau kamu telepon polisi deh selagi aku ngeberesin mereka.”“Kita sama-sama menantu di sini, Mas. Harus balance dong. Mas pegang dua, aku dua. Silakan, Mas Irsyad mau milih yang mana.”Belum ada yang bergerak, baik ketiga orang suruhan Alan, maupun Ervin dan Irsyad. Mereka seperti menunggu siapa yang berani lebih dulu melemparkan bom kepada musuh.“Jangan main-main, Alan! Ada video rekaman waktu kamu tanda tangan surat wasiat itu. Kamu nggak bisa bilang kalau ini surat wasiat palsu. Kamu sebagai salah satu ahli waris papamu udah setuju waktu itu.” Wisnu yang puluhan tahun menga
“Jadi, kamu sekarang pemegang saham terbesar di perusahaan keluarga Prawira? Dan malah kamu nggak punya saham di Candra Group?” tanya Arla sambil mengernyitkan kening setelah mendengar cerita suaminya.Ervin mengangguk, tidak tampak keberatan apalagi terganggu dengan kenyataan itu. Dengan atau tanpa saham di Candra Group, ia tetap anak dari papa mamanya.“Kalo gitu saham yang dikasih buat mahar waktu itu, kamu pegang lagi aja. Masa kamu nggak punya saham di perusahaan keluarga?”“Masa mahar dibalikin ke aku? Itu hak kamu. Nggak usah kamu pikirin. Cuma untuk sementara kok, nanti kalo semua masalah udah beres, sahamku di perusahaan papa kamu, bakal dikonversi lagi sama saham Candra Group. Ini tuh cuma buat nunjukin sedikit power-ku biar dia nggak macem-macem. Udah tau siapa yang dia hadapi aja, kelakuannya masih begitu.” Ervin merentangkan tangannya, sebagai tanda supaya Arla segera ikut berbaring di sampingnya.“Semua baju kamu di lemari sebelah kiri ya,” kata Arla mencairkan obrolan b
“Lupain dulu semua masalah, perjalanan kita bakal panjang.”Keduanya sedang berada di lounge eksekutif, sembari menunggu untuk boarding. Ervin baru saja kembali dengan dua gelas kopi di tangannya saat melihat Arla termenung menatap ke luar jendela.“Kan aku udah nyuruh Devi buat nemenin Mom di rumah sampe ngikut Mom ke mana aja Mom pergi. Aku yakin dia mampu jagain Mom.”Arla mengangguk pasrah sambil mulai menyesap kopi yang baru saja Ervin angsurkan kepadanya.Ia teringat lagi dengan pengawalnya selama di Bandung saat Ervin menyebut nama Devi. Tubuhnya tidak sebesar laki-laki, tapi memang lumayan bongsor untuk ukuran perempuan. Arla tidak tahu beladiri apa saja yang dikuasai Devi hingga Ervin menaruh rasa percaya yang besar pada wanita berusia dua puluhan itu, tapi yang jelas, Arla tahu kalau Devi selalu menyimpan pisau lipat di ikat pinggang bagian belakangnya. Arla tak sengaja melihatnya saat Devi menemaninya ke toilet.“Jadi, tenang aja ya. Mas Irsyad juga udah kukasih akses ke CC
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal