Mobil Ervin tiba lebih dulu di kediaman keluarga Lily. Ervin masih bertahan di dalam mobil, menunggu orang tuanya tiba. Sekitar lima menit kemudian, barulah terdengar suara gerung mobil di belakang mobilnya.Bergegas Ervin turun dan menghampiri mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya. Tangan Ervin sudah dipenuhi paper bag dengan berbagai desain dan merk mahal yang menghiasinya. Rhea memanggil security yang menunggu di pos dekat gerbang untuk membantu mereka membawa barang-barang lain yang tentunya tidak sanggup mereka angkat sendiri.“Ini … mau makan malam biasa kan? Bawa apaan lo?” tanya Pras yang sudah berdiri di teras rumahnya. Menyaksikan kerepotan tiga orang tamunya membawa berbagai macam barang, tak urung ia ikut membantu.Naren tak biasa beramah tamah dengan sahabat-sahabatnya, tapi kali ini ia menenggelamkan egonya demi meminta maaf karena bagaimana pun juga kesalahan ada pada anaknya. “Pak, kasih ke Pak Pras,” perintah Naren kepada security yang mengekori mereka sambil memba
“Udah nggak ada yang ketinggalan lagi kan?”Arla menggeleng. Dokter sudah mengizinkannya pulang hari itu.“Kita ke apartemen yang ditempatin Mom sama Alice ya.”“Kalo aku bilang nggak mau, juga bakal tetep dianter ke sana kan?”Ervin tergelak. “Iya, Sayang. Untuk sementara, itu tempat yang paling aman,” jawab Ervin sambil mengusapi puncak kepala Arla, berharap Arla mengerti apa yang dilakukannya demi kebaikan Arla sendiri. “Gitu dong, udah nggak merinding lagi setiap kupanggil Sayang atau Cinta?”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia sendiri sudah tidak peduli dengan apa Ervin memanggilnya. Satu minggu lebih berada di rumah sakit membuatnya mendengar banyak jenis panggilan dari Ervin dan lama-kelamaan ia jadi terbiasa. “Tapi jangan manggil gitu di depan orang-orang.”“Kenapa? Kan kita udah nggak backstreet?”“Tapi hubungan kita kan juga belum jelas!”“Jadi mau diperjelas?” Ervin menunduk, menatap Arla dengan serius.Arla memundurkan punggungnya saat menyadari jarak Ervin te
Arla: ErvinArla: Coklatnya udah abisArla: Belinya di mana sih?Arla: Aku mau beli sendiri aja kalo kamu sibukDi tengah memimpin meeting, sempat-sempatnya Ervin melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Senyumnya merekah saat membaca chat dari Arla. Bukan hanya tersenyum, sesaat kemudian ia terkikik geli.Dan pemandangan itu membuat beberapa pegawai perempuan, mayoritas yang berprofesi sebagai sekretaris direktur dan kepala divisi, menatap Ervin penuh minat sekaligus bingung.Sosok Ervin sudah menghilang selama dua minggu, walaupun pekerjaannya tetap beres, tidak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaan direktur pemasaran yang belakangan ini mendapatkan mandat untuk melaksanakan tugas direktur utama selama posisi itu kosong—kecuali Lily dan Aris tentunya.Senyuman Ervin belum juga pudar meskipun peserta meeting telah kembali fokus pada presentasi yang disampaikan salah satu kepala divisi.Ervin bukannya sengaja tidak menemui Arla, tapi kesibukannya benar-benar menggila setelah ia
Gedung Filateli yang berada di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat—yang saat ini telah dialihfungsikan menjadi ruang kreatif publik menjadi tujuan Ervin.Arla sampai kebingungan ketika Ervin mengajaknya masuk ke gedung peninggalan Belanda yang sampai sekarang masih berdiri dengan megah, namun sudah tampak berbeda dengan adanya keramaian di sana.Seingat Arla, gedung itu sejak dulu sudah ada, tapi biasanya terlihat sepi. Hanya coffee shop di sebelah gedung itu yang selalu ramai pengunjung. Dari luar gedung, Arla bisa melihat dari jendela, meja-meja coffee shop yang tertata aestethic. Di sudut yang lain, ia melihat distro pakaian milik salah satu artis yang sudah cukup terkenal.“Ini Gedung Filateli kan? Kok jadi gini? Lagi ada pameran?” tanya Arla penasaran.“Kalau kata Yara sih, udah alih fungsi jadi proyek cipta ruang, namanya Pos Bloc.” Ervin menunjuk ke dinding yang berada di atas undakan—view yang pertama bisa dilihat ketika masuk ke atrium gedung.Arla mengangguk-angguk. “Beli cokla
"Kamu barusan bilang apa?"Menggunakan tangan kirinya yang baik-baik saja, Arla bertumpu pada punggung kursi, mendekatkan mulutnya ke telinga Ervin. "I love you, Vin. I love you too.” Arla bergegas mundur, ingin lari entah ke mana saja, asal tidak duduk di hadapan Ervin dan mempermalukan diri sendiri karena pasti sekarang wajahnya telah memerah."Mau ke mana?" tanya Ervin saat melihat Arla berdiri."Ke kulkas, ambil air."Ervin menahan tangan kiri Arla, sambil menunjuk dua gelas berisi air putih di atas meja. "Itu air.""Maksudku ... air yang berwarna dan ada rasanya.""Aku nggak punya stok minuman begitu di kulkas. Kalau aku pengen, aku tinggal turun ke minimarket bawah."Arla nyaris kehabisan ide untuk menghindari Ervin.Toilet!Arla baru terpikir untuk kabur ke toilet, saat entah bagaimana caranya Ervin telah mendudukkannya di pangkuan. Catat! Di pangkuan, bukan di sofa."Vin."Kedua tangan Ervin dilingkarkan ke pinggang Arla, sementara netranya intens menatap Arla. "Serius?""Berc
“Udah lama?”“Lumayan, sampe garing,” jawab Adit yang sebenarnya merasa kesal karena ia terpaksa mengikuti kemauan Ervin untuk bertemu di lounge sebuah hotel, padahal ia mengajak Ervin ke club malam agar bisa cuci mata.Ervin hanya tergelak sambil memukul punggung sahabatnya, ungkapan terima kasihnya karena Adit mau menuruti dirinya malam itu. “Lo tau lah, gue nggak suka ke tempat yang terlalu rame, capek pun mau ngobrolnya mesti teriak-teriak.”“Tapi di tempat kayak gitu, pemandangannya mantep, Vin,” ujar Adit sambil mengayunkan kedua tangannya membentuk lekuk tubuh wanita.Ervin menggeleng-gelengkan kepala, mengasihani temannya yang masih terjebak dalam dunia sesat bernama ‘hubungan singkat penuh hasrat tanpa rasa’. “Ck! Ceweknya aja suka pada kayak cacing kepanasan kalo lihat cowok. Masih aja lo ya. Gue nggak butuh pemandangan begitu.” Ia benar-benar tidak butuh pemandangan lekuk tubuh wanita yang diobral, untuk apa? Nyatanya ia cukup puas dengan memandang mata hazel milik kekasihn
“Pagi, Mom.”“Hei, Vin, masuk dulu. Sarapan bareng dulu. Arla terlalu antusias hari pertama masuk kerja setelah tiga minggu off, jadi dari tadi masih … gitu deh.”Ervin tersenyum membayangkan kehebohan yang diciptakan Arla. Mungkin Arla memang kebingungan dalam beberapa hal karena saat ini hanya tinggal di apartemen sementara, tentunya banyak barang-barangnya yang masih berada di apartemen lamanya bersama Risma, dan mungkin sebagian barang itu memang dibutuhkannya untuk bekerja.“Alice udah berangkat ke Bandung, Mom?”“Sudah, tadi pagi-pagi banget. Maaf ya, kamu jadi harus nyuruh orang buat nganter Alice, padahal Alice awalnya mau naik kereta, pasti aman kan.”“It’s ok, Mom. Cuma ke Bandung. Terus nanti baliknya ke sini sama Aeriel dan suaminya?”“Kemungkinan gitu. Life must go on, Vin. Meskipun bahaya ada di mana-mana, kita semua nggak bisa cuma berdiam diri di dalam apartemen.”“Iya, Mom. Mom juga jadi pergi ke toko roti hari ini?”“Jadi. Renovasi udah selesai dari minggu lalu, tapi
"Arla, ke ruangan saya ya."Arla menelan ludahnya dengan susah payah setelah mendengar permintaan dari atasannya melalui sambungan internal. "Baik, Bu."Sahutan dan godaan teman-temannya langsung memenuhi ruangan ketika Arla berdiri dan berjalan menuju ruangan tertutup di seberang mejanya."Duuuh, yang mau ketemu camer.""Dipanggil pas Mas Ervin udah pergi, kira-kira diajak ngomong apa, La?"Dan masih banyak seruan lain yang membuat Arla tersenyum kecut.Arla mengetuk pelan pintu ruangan yang sudah tidak disambanginya selama beberapa minggu, menunggu si empunya ruangan memerintahkan untuk masuk, barulah Arla mendorong pintu berwarna coklat tua di hadapannya itu.Atasannya sedang duduk di sofa saat Arla menyembulkan kepalanya ke sela pintu. Jelas wanita yang melahirkan kekasihnya itu sudah duduk di sofa sejak tadi, kalau melihat cangkir tehnya ada di atas meja depan sofa, bukan di meja kerja."Duduk sini, La." Rhea menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya.Menurut, Arla duduk dengan
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal