Usai perbuatannya memborbardir dan membumihanguskan markas RSF Paramiliter, Katon tidak bisa lagi tinggal di Kota Aksum, Tigray sebagai relawan. Ia akan segera dikirim pulang kembali ke New York. Katon akan dipulangkan bersama dengan Aymo di hari yang sama, tiga hari usai pengeboman di Darfur Barat. Jeda waktu selama itu dirasa perlu untuk mengawasi pergerakan lawan, apakah mereka mengenali serangan tersebut berasal dari Aksum atau tidak. Katon baru rela meninggalkan Aksum ketika RSF Paramiliter kelimpungan karena kehilangan markas mereka beserta isinya dan sebagian besar petingginya. Namun, tidak bisa mengidentifikasi pelaku. Setelah memastikan RSF Paramiliter tidak akan balas menyerang ke Aksum, barulah Katon mau pulang ke New York. “Aku akan selalu menunggumu bergabung kembali dengan kami, Ton,” kata Rémy seraya menyalami Katon sebelum pria itu masuk ke gate keberangkatan. “Ingat, kami masih punya ratusan tempat untuk kau jelajahi, Ton.” Edo di belakang Rémy bicara. Kedua tanga
Katon terbangun karena sorot sinar matahari menimpa wajahnya. Ia mengerutkan mata dan seketika mendengus tidak suka karena pening menghajar kepalanya. Katon berusaha bangun tetapi badannya tertahan. Ia kembali membuka mata dengan bingung. Di dadanya menggeletak sebuah lengan. Mata Katon menyusuri ujung lengan itu dan menemukan jari-jari lentik dengan cat kuku warna pink pucat yang indah di sana. Oke, itu bukan tangannya. Katon mengalihkan pandangan ke arah sebaliknya dan menemukan wajah jelita yang sedang tidur di bantal sebelah bantalnya. Rambut wanita itu berwarna mocca menjadi kontras karena bantal Katon berwarna putih. Katon memijit pelipisnya dan berusaha sekuat tenaga menarik ingatannya yang kabur karena alkohol. Wanita mana dan siapa yang ia bawa pulang. “Fafafe ...,” desahnya seketika mengingat nama itu. “Hm ....” Fafafe balas mendesah dan menarik tangannya yang memeluk dada Katon tadi. Wanita itu berbalik, selimutnya melorot hingga ke perbatasan pinggang bawah dan memp
Pria itu meluruk dengan marah, umpatan kasar keluar dari mulutnya dan tangannya yang menghunus pisau, ia tusukkan ke arah Katon. Pria Indonesia ini sudah siap dengan kuda-kudanya. Maka ia menarik mundur satu kaki dan pisau swiss menusuk udara. Katon melihat kesempatan menghajar balik ketika kepala lelaki penyerang itu dekat dengannya. Ia meluruskan siku kanan ke depan dan menghajar samping telinga pria penyerangnya menggunakan Shuto Uke. Pria itu langsung sempoyongan ketika titik keseimbangannya terhajar. Katon merasakan serangan di belakangnya. Maka Katon melancarkan Ushiro Geri. Menendang ke belakang dan menggunakan tumitnya untuk menghajar dagu musuh kedua. Pria ini tidak menunggu lawannya ambruk tetapi langsung maju menambahkan Mawashi Geri yang melibatkan tendangan memutar punggung kaki. Tubuh si petinju yang ditendang dua kali langsung terbanting keras ke tanah dan tidak bangun lagi. Katon berderap maju menendang pisau swiss dari pria pertama yang masih sempoyongan lalu ia
Jarak dari Riquewihr ke Paris sejauh 528km. Ada beberapa transportasi yang bisa digunakan Katon. Dari semua itu, ia memilih untuk menggunakan motor sport model lama milik Manu yang masih terpelihara dengan baik. Motor BMW R71 warna hitam keluaran tahun 1938. Motor ini punya suspensi belakang yang lebih kokoh sehingga nyaman untuk perjalanan jauh. Selain itu, kuda besi ini juga dipakai untuk kendaraan militer pada masanya. Jadi jangan ditanya kekuatan motor ini. Katon memilih berkendara dari Riquewihr ke Troyes, melewati Foret d'Orient dan danau-danaunya yang indah. Jalan ini memakan waktu sekitar 5 jam. Katon memilih menghabiskan malam di Troyes dan mejelajahi bangunan bersejarah dan museumnya. Setelah melewatkan semalam di sana, ia kembali berkendara dari Troyes ke Paris, dan memakan waktu sekitar 2 jam. Karena berangkat cukup pagi, Katon memilih untuk sarapan terlebih dahulu sebelum mendatangi universitas tempat Ratih menimba ilmu. Paris 1 Panthéon-Sorbonne University adalah sal
Sejenak Katon melongo melihat pemandangan di depannya, lalu tersenyum pada takdir. Yes! Ia mengikuti langkah pelan Aaliyah dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Terasa lebih tulus. Bukan senyum pura-pura seperti yang ia sajikan pada Aaliyah. “Hai, maaf. Menunggu lama?” tanya Aaliyah pada kedua temannya dalam Bahasa Perancis. Ratih dan kawannya yang sedang bercakap sambil melihat ke arah lain sontak menoleh sambil tertawa mendengar suara Aaliyah. Senyum Ratih perlahan memudar ketika melihat Katon datang bersama Aaliyah, sedangkan Katon tetap menunjukkan senyum manisnya. Ia tambahkan sedikit gestur kepala yang sedikit ia miringkan seolah berkata, “Hello again! Takdir yang bicara agar kita bertemu kembali.” “Oh, maaf. Aku mengajak Katon untuk bergabung dengan kita. Enggak masalah, ‘kan?” Aaliyah yang melihat perubahan wajah Ratih segera berkata demikian. “Oh, enggak apa. Masih banyak tempat, kok.” Yang menjawab justru gadis yang satu lagi. Membuat Ratih yang terlambat membuka
Cukup lama Katon mengobrol bersama dengan Aaliyah dan Zoya. Karena Ratih lebih memilih menjadi pendengar saja. Dari Aaliyah, Katon mengetahui kalau Ratih bersahabat dengan Aaliyah karena satu tingkat. Mereka sama-sama lolos sebagai mahasiswa luar negeri dan menjadi bagian dari organisasi mahasiswa asing di kampus. Sedangkan Zoya adalah kakak sepupu jauh Ratih yang sedang berlibur di Paris, karena sebenarnya dia sedang menempuh S2 di Aussie. Sampai dengan makanan mereka tandas, dua gadis selain Ratih nampaknya menikmati perbincangan dengan Katon. Mereka sangat menyukai cerita Katon tentang pengalamannya berkeliling dari satu negara ke negara lain. Beberapa ada yang pernah dikunjungi oleh Zoya maupun Aaliyah, jadi mereka bisa saling bertukar pengalaman ketika berada di sana. “Aku tidak ada acara lain hari ini. Bagaimana dengan kalian?” tanya Katon santai. Ia bahkan menyandarkan punggungnya ke belakang. Zoya dan Aaliyah saling pandang. Ratih membuang muka. “Kuliah awak hari ini ia sel
Dari Paris, Katon harus bertolak kembali ke Riquewihr untuk mengembalikan motor kesayangan Emmanuel Deisle. Rencananya mendekati Ratih untuk beberapa hari di kota paling romantis di dunia batal, karena Satria sudah tiba di Zurich dan sedang menuju ke Basel. Arini mendesak Katon untuk segera bergabung dengan papanya. “Grand-mère yang bilang sama Mama kalau Katon di sini?” tanya Katon saat akan meninggalkan Riquewihr dengan diantar oleh Leandre—salah satu bodyguard The Deisle. Evita cemberut, seputar bibirnya makin bertambah kerut karena ia melakukan itu. “Tentu tidak! Setiap anak Satria tertanam chip di dalam tubuhnya dan membuat papamu bisa mengetahui keberadaan melalui akses internet,” jawab Evita. Katon menarik napas. “Evita Navarra Deisle!” geramnya menanggapi candaan sang nenek. Evita tertawa bersama Manu. “Lihat anak ini, sudah berani menggeram padaku,” kata Evita ke arah Manu dengan wajah geli. Manu menjawab Evita dengan serangkaian kalimat dalam Bahasa Perancis yang Katon
Katon berdiri gagah di samping Satria yang tak kalah tegap. Pria itu mengulas senyum termanis di wajahnya. Melawan wajah Ratih yang mendadak masam. Bahkan dari kejauhan, Katon bisa melihat pundak gadis itu naik mengiringi lirikan sebal. Pertanda kalau gadis itu menarik napas berat. ‘Kau suka takdir, Nona? Lihat bagaimana takdir sekali lagi menemukan kita,’ pikir Katon geli. Teguh Putra dan Ratih yang berjalan sedikit di belakangnya, semakin dekat. Atas nama kesopanan, Satria maju selangkah untuk menyambut Teguh Putra, “Pak Teguh,” sapanya sambil menjabat erat tangan pria yang lebih tua darinya. “Pak Satria.” Teguh Putra membalas sapaan Satria dengan ramah lalu melepas jabat tangannya untuk meraih tangan Katon. “Katon, apa kabar? Senang melihatmu malam ini,” ujarnya ramah. Katon tersenyum penuh kemenangan ketika melirik wajah Ratih di belakang Teguh Putra yang tidak bisa menutupi keterkejutannya mendengar lelaki yang bersamanya mengenali Katon dengan baik. “Perkenalkan, ini putri b
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas