“Mereka semua sudah tidak penting lagi karena bagiku sekarang, kamulah satu-satunya. Tidak dengar pernyataanku langsung di depan Petrit Krasniqi?” tuntut Katon tidak terima. “Hanya membayangkan Mas sudah sama berapa wanita sebelum denganku. Kata Cia, Mas menikahiku supaya bisa tetap ....” Ratih tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Katon memeluk Ratih lebih erat, berusaha menenangkannya, meski ia tahu sulit untuk keluar dari topik ini tanpa terkena imbas. Senyuman tipis tersungging di wajahnya, meski dalam hatinya ia agak cemas. Wanita yang duduk di pangkuannya ini jelas tak akan menyerah begitu saja. "Ratih...," bisiknya lembut, masih mencoba merayu. "Apa pentingnya masa lalu, Sayang? Kita sudah menikah, dan aku milikmu sepenuhnya sekarang." Ratih memelototinya, menolak luluh. "Tentu saja penting, Mas! Bagaimana kalau aku yang punya banyak mantan? Mas pasti tidak akan tinggal diam, kan?" Katon terkekeh, mencoba mengalihkan ketegangan. "Ah, tapi itu beda. Aku lelaki, dan di masa
Keesokan harinya adalah hari pertemuan dengan Malik Redrad. Sedari pagi, Katon sudah bersiap bersama Sesa dan Giovanni. Ratih menatap tak rela padanya. Rasanya ingin ikut saja. Lebih baik ada bersama Katon apapun yang terjadi ketimbang diam di rumah dan terus-terusan berdebar menanti kabar suaminya. Ia merasa semakin tak rela melepas Katon. "Mas, aku boleh ikut?" Ratih tiba-tiba angkat suara, menguatkan dirinya. Dalam hati, ia sudah tahu apa yang akan suaminya katakan, tetapi rasa khawatir yang menggerogoti tidak bisa ia abaikan. Katon yang sedang menyesap kopinya, berhenti sesaat dengan cangkir yang masih menempel di bibir. Ia menatap tajam ke arah Ratih, lalu perlahan meletakkan cangkirnya ke meja. "Neng..." “Belkacem sudah tidak ada. Krasniqi tidak punya masalah denganmu dan dia tidak terlalu berbahaya. Kenapa aku tidak boleh ikut? Aku muak menunggu sambil terus khawatir, Mas. Aku mau bersamamu saja,” omel Ratih memotong kalimat Katon. Matanya memancarkan tekad yang tak bisa dib
“Senang berjumpa dengan Anda di sini.” Leart masih bicara dengan ramah dan memamerkan senyumnya yang menawan. Ia bersama saudaranya segera duduk mengitari Ratih tanpa menunggu persetujuan wanita itu, meskipun begitu, keduanya menjaga jarak sopan. Hal itu membuat Ratih bisa mengendalikan diri. Matanya melirik ke arah titik di mana Nadia dan Youssef berada. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat mereka. Tetapi Ratih tidak yakin keduanya bisa melihat hingga ke dalam lobi. “Tuan Anindito sedang menemui Malik Redrad, saya duga?” tanya Leart ramah. “Begitu adanya. Boleh saya tahu kenapa Anda di sini, Tuan Leart?” tanya Ratih, menolak menyebut nama keluarga seperti pria itu dan memilih memanggil namanya. “Katakanlah, menunggu antrian? Kami tidak berharap bertemu dengan Anda. Tetapi saya dan saudara saya memang menunggu Tuan Anindito,” jawab Leart ramah. “Untuk pembicaraan bisnis yang tidak berhasil kemarin?” tebak Ratih. “Hari baru, pikiran baru. Mungkin kali ini Tuan Anindito akan setu
Katon langsung menghampiri Ratih lalu meraih pinggangnya saat sang wanita berdiri untuk menyambut. Katon mempertahankan Ratih melekat di sisi tubuh saat matanya menatap tak suka pada dua orang Krasniqi muda. “Kukira etika di belahan Bumi manapun, sama. Jangan mendekati istri orang walau dia sedang sendirian,” kata Katon kepada para Krasniqi dengan suara tidak enak didengar. Hector dan Leart juga sudah berdiri berhadapan dengan Katon. Sedangkan Sesa dan Giovanni menyebar sistematis di belakang para Krasniqi. “Maaf jika perbutaan kami menyinggung, Ton. Tetapi kami menjaga jarak dan bersikap sopan pada Nyonya Anindito,” kata Leart ramah. Ia dan adiknya pun tampak bersiaga dengan keberadaan kawanan Katon yang seperti mengepung. Bola mata Katon bergerak yang hanya terbaca oleh Sesa dan Giovanni sebagai penunjuk arah untuk keluar. “Baiklah kalau begitu. Kukira sudah tidak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Sekarang aku permisi.” Ucapan Katon tidak terdengar memaafkan ataupun berubah
Saat Katon dibawa oleh Leart menuju El Khroub, ia melihat panorama kota yang membuat kota ini terkenal dengan perkembangan modern dan masa lalu yang kental, khas kota-kota di Aljazair. Jalanan yang mengarah ke El Khroub dikelilingi oleh ladang terbuka dan deretan pohon zaitun, yang juga merupakan pemandangan yang khas dari pedesaan Aljazair. Ketika mereka memasuki kota, suasana berubah menjadi lebih hidup dengan deretan toko-toko dan pedagang lokal yang sibuk di sepanjang jalan. Mereka memasuki blok-blok bangunan yang tertata rapi. Dari kejauhan, bayangan Kota Constantine yang terkenal dengan tebing curam dan jembatan kunonya terlihat mengesankan, membuat dataran yang lebih landai di El Khroub terlihat kontras dibandingkan Constantine. Walaupun tidak semegah Konstantin, El Khroub tetap memiliki pemandangan pegunungan yang indah. Katon melihat mobil mulai memasuki halaman sempit Golden Tulip Alexandre. Hector memarkirkan mobil di depan lobi dan Leart yang turun lebih dulu. Katon tak
Katon dan Giovanni dikembalikan ke Hamma Bouziane dengan fasilitas dan supir hotel. Mereka tiba langit sudah gelap. Safe house terlihat baik-baik saja dari luar. Ketika Youssef membukakan pintu rumah, tercium aroma masakan yang samar, menandakan kalau penghuni rumah sudah selesai makan malam. “Di mana istriku?” tanya Katon setengah berbisik. Youssef menutup pintu lalu menoleh ke arah Katon. “Di kamarnya.” Giovanni sudah berjalan mendahului Katon untuk menuju ke kamarnya sendiri saat Youssef bicara seperti itu. Maka ia tidak mendengar kalimat lanjutan pria tersebut. “Kurasa sebaiknya kamu bersiap, Ton. Istrimu marah sekali. Dia tidak bicara apapun, tetapi wajahnya sangat marah,” kata Youssef, menangkap lengan Katon yang akan melangkah meninggalkan ruang tamu. Katon yang tertahan, menoleh ke arah Youssef, “Thanks, Youssef.” Meskipun berterima kasih, katon sepertinya tidak suka ditangkap lengannya seperti itu. “Aku serius. Ratih tidak terlalu mengenal Sesa, bukan? Ia terlihat menah
Ratih masih rebah di atas dada Katon, masih menikmati sisa getar cinta yang dilimpahi suaminya. Telapak tangannya tertata lemas di atas dada kekar sang suami, bersisian dengan pipinya. Ratih menikmati aftersex Katon yang selalu meletakkannya di atas dan memeluknya mesra. “Mas sudah makan malam?” Tiba-tiba saja dia bertanya mesra pada pria yang baru datang sudah diamuknya. Katon tersenyum mendengar pertanyaan istrinya yang diliputi nada bersalah. “Belum. Tapi sudah dihajar istri,” jawab Katon. Ratih terkesiap, ia setengah bangkit dari tengkurapnya, menatap wajah Katon yang disinari bulan dari jendela karena kondisi kamar mereka gelap gulita. “Dua kali lagi dihajarnya. Di kamar dan di atas tempat tidur,” keluh Katon. “Maaass ....” Ratih merajuk manja, kembali memeluk dan rebah di atas dada suaminya lagi. “Bentar, Aku tenangin diri dulu. Habis ini aku bikinkan makan malam ya,” kata Ratih. Katon mendengus. “Aku sudah makan kok, Neng Ayu.” “Mas, ah!” Merasa dipermainkan, Ratih seteng
“Aku butuh waktu untuk mengurus transfer kuliah Ratih ke Columbia and Cornell University. Setelah itu baru aku bisa bekerja dengan tenang di New York,” kata Katon. “Berapa lama?” tanya Satria datar-datar saja. Katon menoleh ke arah sang istri dan memintanya untuk menjawab. “Pengumpulan transkrip, surat rekomendasi bisa membutuhkan satu sampai dua bulan, Papa. Barulah bisa diajukan secara online dan itu hanya utuh waktu beberapa minggu. Tetapi, peninjauan aplikasinya paling cepat masih di kisaran bulan,” jawab Ratih. “Dan kalian belum memulai proses ini?” tanya Satria mulai terdengar tidak suka. “Sudah. Tetap saja masih membutuhkan beberapa bulan,” Katon yang menggantikan Ratih untuk menjawab. Satria mengangguk tanpa melihat ke arah putera sulungnya. Katon menatap wajah keras ayahnya, pria yang berubah sikap padanya selepas masa remaja. Katon mengerti, ayahnya mendidik untuk ini. Kehidupan bisnis mereka yang keras dan penuh tantangan. “Tria, mereka belum sempat berbulan madu, l
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas