Katon menatap perkamen usang yang dipegang oleh Stuart. Di atas perkamen tersebut, tinta kuno pada permukaannya terlihat pudar, tetapi gambar yang terukir jelas terbentuk. Perkamen itu menggambarkan peta makam yang tersembunyi di dalam sebuah piramida yang telah lama terlupakan. Stuart menatap Katon dengan mata berbinar. “Ini adalah kesempatan kita,” bisiknya. “Piramida ini belum pernah dieksplorasi. Kita bisa menjadi orang pertama yang menemukan rahasia di dalamnya.” Katon diam saja, hatinya terbelah. Perkamen itu menjadi kunci menuju petualangan yang tak pernah terpikirkan oleh Katon dan mungkin satu-satunya yang akan ia alami seumur hidup. Mereka berdua tahu bahwa di balik peta ini tersembunyi misteri kuno yang bisa mengubah nasib siapapun yang memasukinya untuk pertama kali. Mereka bisa menorehkan nama dalam sejarah sebagai kelompok pertama yang memasuki makam. Asalkan tidak tergoda menjarah harta di dalam makam. “Apa tujuanmu masuk ke dalam makam ini, Stu?” tanyanya penuh rasa
“Mau atau enggak?!” “Ya maulah! Gila kalo menolak, kita bisa menghemat biaya perjalanan. Eh? Grand-mère Evita yang bayar tagihannya, ‘kan?” tanya Stuart khawatir. Katon tidak menjawab dan sibuk mengetik dalam ponselnya untuk mengirimkan pesan ke Ratih. Empat puluh lima menit kemudian Lorna dan Cia sudah kembali ke ruang kemudi dan lima belas menit berikutnya, ponsel Katon bergetar. “Mister Tenan, ini Ebo El Sharawiy. Kami dengar Anda bersama rombongan berada di Laut Mediterrania?” tanya sebuah suara berat dengan aksen Arab. “Benar Tuan Sharawiy. Saya yakin kami sedang menunggu giliran untuk masuk ke Terusan Suez?” “Saya pikir juga begitu. Satu jam dari sekarang, sebuah kapal tanker dari Eropa akan melewati kapal Anda. Ikutilah. Kapal Anda akan dikenali sebagai penjaga kapal tanker tersebut dan mengiringinya melalui Terusan Suez. Sebentar lagi kolega saya, Akil Ahmose akan mendatangi kapal Anda dan memberikan bendera untuk Anda pasang di atas kapal.” Sesuai dengan waktu yang diba
“Brengsek!” Katon memaki tanpa sadar. “Kucrut! Baron sialan ini menyeret kita ke dalam apa?!” Morgan melotot ke arah Stuart. “Kau, tolol! Temenmu mati kena kutukan perkamen sialan ini? Dan kau sekarang menyeret kami ke dalam pusaran kutukan itu? Kalau sampe Lorna kenapa-kenapa, kukuliti kau hidup-hidup, Stu!” Cia ikutan marah dan ngomel ke arah Stuart. “Beneran dia mati kena kutukan? Waah seru! Ceritain gimana matinya?” tanya Lorna ceria dan penasaran ke arah Stuart. “Mengolok Morgan kebanyakan nonton film, kalian sama saja. Masih percaya dengan kutukan mumi ribuan tahun lalu. Itu tahayul, tolol! Umur aja tua, kelakuan kayak bocah!” omel Stuart dan bersandar santai di sandaran kursinya. “Jadi dia mati kenapa, dong? Terpeleset di kamar mandi, kena stroke dan modar?” tanya Lorna. “Kan sudah aku bilang dibunuh gara-gara peta ini. Tolong, kupingnya dikorek sampe bersih, Nona!” seru Stuart sambil menggoyangkan jari di depan daun telinganya. “Laiya, dibunuh. Sama orang apa sama kutuk
Stuart dan sahabat-sahabatnya, melihat dua piramida kuno yang terbengkalai dan tak terawat di depan mereka. Satu sisi bagian piramida pertama yang bisa mereka lihat, tidaklah sempurna. Di beberapa dindingnya tergerus dan meninggalkan bekas seperti lubang. Sementara sisi yang lain, masih terkubur pasir gurun yang juga menutupi hampir seluruh piramida kedua. Sebuah persegi panjang agak menjorok ke dalam membentuk pintu yang terbenam, terlihat dari luar. Meski tidak jelas, pintu ini terletak di tingkat berapa dari piramida mengingat sebagian besar bangunan terbenam dalam pasir. Mereka berdiri di depan pintu masuk piramida yang tertutup rapat oleh bebatuan kuno yang terasa dingin dan berdebu. Di sekitar mereka, angin gurun Mesir berbisik pelan menyusup melalui celah-celah batu, menciptakan suasana misterius yang menggugah rasa penasaran dan ketegangan di antara para petualang itu. “Kalau di film-film, banyak jebakan ketika kita masuk ke dalam makam yang belum pernah dibuka ini. Kamu ya
Katon kehilangan keseimbangan seiring lantai yang ia injak luruh. Tidak adanya kepastian akan selamat membuatnya berteriak keras melawan rasa ngeri yang mencengkeram perutnya. Ia bersama keempat sahabatnya masuk ke dalam lubang kosong dan menanti saat menghempas sesuatu yang menghancurkan tubuh mereka. Katon mendarat di sesuatu yang kasar, keras tetapi tidak menyakitkan. Reflek ia menangkap sesuatu yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh lebih jauh. Akar tanaman yang sangat besar tetapi kering. Katon keheranan dan dengan cepat melihat ke sekitarnya. Akar-akar kering itu terjalin satu sama lain. Membentuk sebuah jaring raksasa. Tentu saja bentuknya tidak sempurna dengan lubang besar di sana sini akibat ketiadaan jalinan akar di sana. Lantai yang luruh bersama mereka, terus melewati “jaring” akar-akar tersebut. Sementara para manusianya “tersaring” dan sekarang bergelimpangan di atas “jaring” akar-akar dan berpegangan demi keselamatan diri sendiri. “Kampret! Apa ini?” seru Morgan.
Bunyi ledakan dan rekahan berurutan menghasilkan batu-batu ceper bermunculan sepanjang dinding. Antara satu dengan yang lain semakin meninggi dan bam ledakan terakhir mengeluarkan batu terakhir hanya selangkah dari tepian lantai. Sebuah tangga baru muncul sepanjang dinding. Kuat, kokoh, terdiri atas batu ceper berwarna hitam legam. “I know it! Hah!” Stuart mengacungkan tinjunya ke udara dan wajahnya luar biasa bahagia. Lorna dan Cia yang semula panik sekarang melongo sejurus kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Katon dan Morgan yang melongo menatap tangga baru itu. “Sialan!” maki Katon pelan dan mengacungkan tinju ke arah kepala Morgan yang buru-buru menghindar. “Aku mana tahu, woi! Kan kamu sama Stuart yang expert masalah piramida!” kelitnya. “Kalau gak tahu kenapa sok tahu!” Katon memarahinya. “Lah kamu, ngapain percaya?!” ejek Morgan kembali. Dan Katon hanya bisa diam. Morgan benar juga. Tadi dia sedang memikirkan akhir hidupnya dan tidak bisa memikirkan ha
Cia terjatuh dalam tangis yang dalam hingga tidak sanggup berdiri dan merangkak di lantai meratapi kekasihnya. Katon, Stuart dan Morgan termangu menatap ngeri ke sahabat wanita mereka yang menempel di atap dan tertahan tonggak. Tangisan Cia yang meraung-raung tak sanggup menggerakkan mereka. “Tolongin, woi! Malah diem aja! Cia, jangan nangis! Aku masih hidup!” jerit Lorna tetapi teredam atap. Cia tersedak tangis dan berhenti mendadak. Kepalanya mendongak sedangkan tubuhnya masih mode merangkak. Matanya yang merah dan basah menatap ke arah tubuh Lorna yang sekarang bergerak-gerak berusaha membebaskan diri. Cia tergeragap untuk bangun dan ditahan Stuart. “Awas! Hati-hati! Bisa saja muncul tonggak baru!” seru Stuart panik. Tangannya menyambar bahu Cia yang akan melesat lari untuk menolong Lorna. Cia menggeram marah dan menggerakkan bahu sekaligus mendaratkan siku ke ulu hati Stuart. “Ugh!” Stuart melenguh kesakitan dan pegangannya terlepas. Cia melesat tanpa takut mendekati Lorna. “
Ruangan ini berbentuk kotak sempurna, berbeda dengan ruang sebelumnya yang bulat. Ruangan ini juga menampilkan aula persembahan dengan altar granit, dihiasi dengan penggambaran perwakilan dari berbagai provinsi yang membawa persembahan kepada firaun. Stuart terpana menatap salah satu dinding ruangan utama ini. Ada sebuah patung manusia sangat besar. Patung laki-laki yang mengenakan pakaian kebesaran khas Mesir. Kepalanya yang memiliki wajah berwarna hijau, menoleh ke kanan. Kedua tangan patung itu bersilangan di depan dada, masing-masing membawa alat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. “Ruang persembahan Dewa Osiris. Kita ada di jalur yang benar,” bisik Stuart sambil menatap ke patung itu dengan wajah terpesona. “Bagus! Jangan sampai pengorbanan kemejaku sia-sia,” Lorna tiba-tiba sudah ada di sisi Stuart dan ikut berdesis di sebelahnya. Pria Inggris itu seperti ditampar sesuatu dan menoleh ke arah Lorna. “Eh, kampret! Tadi kenapa pake diem pas nancep ke langit-langit?! Teriak
Katon tidak tahu sama sekali jika Rosalind memiliki rumah dan kebun di sini. Para wanita di keluarganya memang menyukai anggrek. Katon tahu itu. Neneknya, mamanya karena terbawa Maya dan Rosalind karena terpengaruh Arini. Lily? Belum memperlihatkan kegilaannya pada anggrek. Tapi tentu saja karena gadis itu masih remaja dan masih mencari jati diri. Tetapi ia tidak tahu jika Rosalind akan menekuni hingga serius seperti sekarang. Dan menyembunyikannya di Yunani? Jauh sekali. “Terima kasih.” Karena Katon masih terpesona menatap adiknya dan Morgan, maka Ratih yang menggantikannya untuk mengucapkan terima kasih pada pelayan yang menjawab pertanyaan Katon. Pelayan itu mengangguk pada Ratih dan Katon lalu meninggalkan mereka. “Mas?” “Waaah ... aku merasa ditelikung,” desis Katon dengan nada tak percaya. “Oleh Rosalind? Dia pasti memiliki alasan tersendiri. Tentu saja,” kata Ratih sambil tersenyum penuh pengertian. “Apa maksudmu dengan tentu saja?” tanya Katon keheranan. “Aku memiliki b
Konitsa, yang terletak di Epirus, Yunani, adalah surga bagi para pecinta alam dan olahraga ekstrem. Sesuai dengan kesukaan Katon, di sini ia akan menemukan pemandangan yang menakjubkan, gunung-gunung megah, hutan lebat, lembah-lembah yang hijau, dan desa-desa yang memesona. Salah satu alasan membawa Ratih. Katon yang tiba lebih dulu sudah menunggu kedatangan Ratih di Ioannina National Airport. Ia sudah menyewa mobil Ferrari 458 Spider warna hitam yang sengaja ia buka bagian atap seluruhnya. Ia sengaja memilih mobil ini agar Ratih dan dirinya bisa menikmati sinar matahari Yunani. Katon bisa mengenali Ratih dari jauh dan segera menghampiri untuk menyambutnya. meminta satu-satunya duffel bag yang dibawa Ratih. “Konitsa? Kirain Mas mau tetap di Athena. Kenapa Konitsa?” tanya Ratih setelah mencium punggung tangan tunangannya yang dibalas dengan perlakuan sama. “Kenapa tidak? Di sini indah,” jawab Katon. Katon membawa Ratih ke Konitsa Mountain Hotel yang terletak di titik tertinggi di
Karena Katon sudah mendapatkan keinginannya untuk mempersunting Ratih, walau pernikahan belum ditetapkan karena menunggu Ratih wisuda. Tetap saja, Katon sudah mendapatkan keinginannya maka Satria akan memberikan tanggung jawab lebih besar untuk bekerja. Jadwal sudah ditetapkan dan Katon harus pergi ke Yunani untuk menemui perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani. Growth Earth Company mempunyai rencana kerjasama dengan Outentic Telecommunication Organization S.A salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani yang bergerak di bidang layanan telepon fixed-line dan mobile, layanan internet broadband, layanan televisi berbayar. Mereka juga berkontribusi pada transformasi digital dengan memungkinkan infrastruktur dan menjadikan Yunani negara yang menarik untuk investasi dan bisnis. “Jam dan tempat pertemuan dengan Michael Tsamas Kaissariani sudah dikirimkan ke emailmu. Demikian juga dengan dokumen-dokumen yang kamu perlukan untuk berkonsiliasi dengannya. Pelajari dulu dokumen
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun Katon. Mereka akan bertolak dari Kairo kembali ke Paris, Perancis terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan Katon, Ratih, Morgan dan Stuart, baru ke Barcelona, Spanyol untuk mengantarkan Lorna dan Cia. Ketika jet pesawat pribadi milik Satria telah dipakai untuk mengantarkan keluarga kembali ke Indonesia, pesawat tersebut mengubah jadwal dan mengurus perijinan terbang ke Kairo untuk menjemput putera sulung Satria dan Arini. Dengan memakai pesawat jet pribadi, pemeriksaan keimigrasian melalui jalur khusus tidak terlalu ketat. Mereka yang telah mensortir harta-harta karun dan menentukan ranking nilainya, lebih leluasa menyembunyikan di berbagai tempat pada bagasi pribadi mereka. Mereka melalui jalur pemeriksaan khusus dan bisa pulang ke Paris dengan mudah. Seperti biasa, ketika tiba di Charles de Gaulle International Airport. Katon mempersilakan Morgan dan Stuart untuk memakai rumah tapak miliknya sementara ia akan mengantar Ratih ke apart
Mereka kembali ke griya tawang yang mereka sewa dengan berjalan kaki. Stuart yang setengah mabuk berjalan sambil merangkul dua wanita. Morgan masih berusaha membebaskan diri dari satu wanita yang bandel menempel padanya. Cia dan Lorna yang saling bergandengan sambil sesekali berdansa di tengah jalan. Dan Katon yang berusaha mempertahankan Ratih di tangannya. Meski Ratih gigih melawan, tetapi Katon memaksa menggenggam tangannya dan menggandeng sepanjang perjalanan kembali. Sesekali ia akan membawa punggung tangan Ratih ke mulutnya dan mengecup ringan untuk meredakan kesal wanita itu. Saat ini mereka berjalan di Midan Tahrir, distrik tengah yang ingin menjadi “Paris di Sungai Nil,” tempat restoran-restoran dan kafe-kafe terkenal berada. Salah satunya yang baru saja mereka tinggalkan. Lampu-lampu jalan menghiasi tepian Sungai Nil, menciptakan jejak cahaya yang membelah gelapnya air. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Menara Kairo dan Benteng Saladin berdiri megah. “Dan pemandangan s
"Halo Gamal,” sapa Lorna ceria. Di sisinya ada Cia yang sibuk memakaikan jas untuk Lorna yang sedikit terbuka malam ini, mendadak sembuh dari demam ketika dikatakan akan diajak clubbing. “Mari, saya antar ke meja Anda.” Gamal meluruskan lengan dan mempersilakan rombongan Stuart. “Tolong kendalikan pesanan alkohol, Gamal. Aku tidak mau ada yang mabuk malam ini,” kata Katon seraya menyelipkan segepok uang ke genggaman tangan Gamal ketika mereka berjalan bersama-sama, seolah bersalaman ringan. “Baik, Tuan Tenan.” Gamal mengangguk khidmat dan dengan luwes memasukkan uang dari genggaman tangannya ke saku celana. Mereka dibawa ke meja di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan kota. Sesuai janji Gamal sebelumnya, dia mengendalikan pemesanan alkohol dan menjaga kesadaran tamu-tamunya. Yang menjadi masalah ketika mereka puas menikmati makan malam, ternyata Stuart meneruskan keinginannya. Yang tidak diduga Katon karena ia dan Morgan sudah menolaknya. Lagipula, ada Lorna dan C
“Crap!” Katon segera sadar sepenuhnya dari kondisi baru bangun tidur dan kelelahan. Ia bangkit dan memilih duduk di tepi tempat tidur, melanjutkan mendial nomor telepon lain. Bukan Ratih, kali ini ia menghubungi Lily. Perbedaan waktu tujuh jam antara Kairo dan Riquewihr membuat Katon merasa bebas saja menghubungi Lily meski sekarang masih pukul dua dini hari di Kairo. Karena di Riquewihr adalah pukul sembilan pagi. Keluarganya pasti sedang menikmati sarapan pagi. “Halo!” Suara Lily ceria. “Lily, Ratih masih di Riquewihr, ‘kan?” tanya Katon panik. “Masih. Kenapa gak telepon Mbak Ratih aja, Mas?” Lily balik bertanya dengan heran. Lily bicara dengan intonasi yang jelas, antara mereka belum mulai sarapan atau sudah selesai. “Mas butuh bantuanmu. Mbakmu ngambek karena Mas gak telepon dua hari ....” “Kapok!” potong Lily. “Lily!” “Iyaaa, Lily dengerin. Lanjut!” “Kamu coba bicara padanya. Mas akan meminta bantuan Maxime untuk mengantar Ratih ke Kairo,” ujar Katon. Maxime adalah salah
“Minggir!” teriak Stuart melepas talinya dan mendorong Cia agar lari mendekati Morgan. Katon melakukan hal yang sama bersama Lorna. Mereka berlima menjauhi sarkofagus yang terjatuh miring. Kelimanya menatap ke arah benda itu. Stuart bahkan berjongkok untuk mengetahui sudut yang menghantam lantai. Tidak ada asap. Tidak ada debu. Semua tampak baik-baik saja. Dan bagian sarkofagus yang menghantam lantai sedikit terbuka. Menumpahkan sekaligus menunjukkan isinya sedikit. Tanpa menunggu sahabat-sahabatnya, Stuart melangkah mendekati sarkofagus dengan berani. Katon hendak melarangnya. Namun, melihat keteguhan dan kerinduan di wajah Stuart, Katon memutuskan untuk melihat saja. “Setidaknyanya pake sarung tangan sama masker gas, kek,” celutuk Lorna. Katon berniat meneriakkan saran Lorna tetapi Stuart telah tiba di sisi sarkofagus dan membuka paksa tutupnya yang sudah rusak. Sesosok jenazah terbungkus kain kusam terjatuh dan kainnya robek menunjukkan isi yang ternyata hanya sisa-sisa residu t
Terdengar suara seperti semprotan saat sarkofagus terangkat. Mirip suara minuman berkarbonasi baru dibuka. Bedanya, yang ini suaranya lebih keras dan sekaligus menyemburkan debu-debu, saking banyaknya sampai mirip asap. Sedetik kemudian terdengar lolong kesakitan dari empat orang yang berada di sekitar sarkofagus. “Sekarang!” teriak Stuart dan Katon melompati peti didepannya lalu melesat untuk menyerang Hachim. Pria tambun itu yang semula terkejut melihat kawan-kawannnya sontak menoleh ke arah Katon dan siap melayangkan rungu. Katon merendah dan meluncur di lantai, menyapu kaki Hachim hingga pria tambun itu terjatuh . Hachim tergagap dan berusaha berdiri ketika Loran datang dan menendang kepalanya. Hachim terbatuk dan berguling. Lorna yang belum puas, mengejar. Ia rebut satu rungu Hachim dan memakai ujung yang bulat untuk menghajar kepala Hachim sampai dia pingsan. Di sekitar sarkofagus, empat orang berkelojotan dan berteriak kesakitan. Jamal dan Malik Albani adalah yang paling pa