Stuart dan sahabat-sahabatnya, melihat dua piramida kuno yang terbengkalai dan tak terawat di depan mereka. Satu sisi bagian piramida pertama yang bisa mereka lihat, tidaklah sempurna. Di beberapa dindingnya tergerus dan meninggalkan bekas seperti lubang. Sementara sisi yang lain, masih terkubur pasir gurun yang juga menutupi hampir seluruh piramida kedua. Sebuah persegi panjang agak menjorok ke dalam membentuk pintu yang terbenam, terlihat dari luar. Meski tidak jelas, pintu ini terletak di tingkat berapa dari piramida mengingat sebagian besar bangunan terbenam dalam pasir. Mereka berdiri di depan pintu masuk piramida yang tertutup rapat oleh bebatuan kuno yang terasa dingin dan berdebu. Di sekitar mereka, angin gurun Mesir berbisik pelan menyusup melalui celah-celah batu, menciptakan suasana misterius yang menggugah rasa penasaran dan ketegangan di antara para petualang itu. “Kalau di film-film, banyak jebakan ketika kita masuk ke dalam makam yang belum pernah dibuka ini. Kamu ya
Katon kehilangan keseimbangan seiring lantai yang ia injak luruh. Tidak adanya kepastian akan selamat membuatnya berteriak keras melawan rasa ngeri yang mencengkeram perutnya. Ia bersama keempat sahabatnya masuk ke dalam lubang kosong dan menanti saat menghempas sesuatu yang menghancurkan tubuh mereka. Katon mendarat di sesuatu yang kasar, keras tetapi tidak menyakitkan. Reflek ia menangkap sesuatu yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh lebih jauh. Akar tanaman yang sangat besar tetapi kering. Katon keheranan dan dengan cepat melihat ke sekitarnya. Akar-akar kering itu terjalin satu sama lain. Membentuk sebuah jaring raksasa. Tentu saja bentuknya tidak sempurna dengan lubang besar di sana sini akibat ketiadaan jalinan akar di sana. Lantai yang luruh bersama mereka, terus melewati “jaring” akar-akar tersebut. Sementara para manusianya “tersaring” dan sekarang bergelimpangan di atas “jaring” akar-akar dan berpegangan demi keselamatan diri sendiri. “Kampret! Apa ini?” seru Morgan.
Bunyi ledakan dan rekahan berurutan menghasilkan batu-batu ceper bermunculan sepanjang dinding. Antara satu dengan yang lain semakin meninggi dan bam ledakan terakhir mengeluarkan batu terakhir hanya selangkah dari tepian lantai. Sebuah tangga baru muncul sepanjang dinding. Kuat, kokoh, terdiri atas batu ceper berwarna hitam legam. “I know it! Hah!” Stuart mengacungkan tinjunya ke udara dan wajahnya luar biasa bahagia. Lorna dan Cia yang semula panik sekarang melongo sejurus kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Katon dan Morgan yang melongo menatap tangga baru itu. “Sialan!” maki Katon pelan dan mengacungkan tinju ke arah kepala Morgan yang buru-buru menghindar. “Aku mana tahu, woi! Kan kamu sama Stuart yang expert masalah piramida!” kelitnya. “Kalau gak tahu kenapa sok tahu!” Katon memarahinya. “Lah kamu, ngapain percaya?!” ejek Morgan kembali. Dan Katon hanya bisa diam. Morgan benar juga. Tadi dia sedang memikirkan akhir hidupnya dan tidak bisa memikirkan ha
Cia terjatuh dalam tangis yang dalam hingga tidak sanggup berdiri dan merangkak di lantai meratapi kekasihnya. Katon, Stuart dan Morgan termangu menatap ngeri ke sahabat wanita mereka yang menempel di atap dan tertahan tonggak. Tangisan Cia yang meraung-raung tak sanggup menggerakkan mereka. “Tolongin, woi! Malah diem aja! Cia, jangan nangis! Aku masih hidup!” jerit Lorna tetapi teredam atap. Cia tersedak tangis dan berhenti mendadak. Kepalanya mendongak sedangkan tubuhnya masih mode merangkak. Matanya yang merah dan basah menatap ke arah tubuh Lorna yang sekarang bergerak-gerak berusaha membebaskan diri. Cia tergeragap untuk bangun dan ditahan Stuart. “Awas! Hati-hati! Bisa saja muncul tonggak baru!” seru Stuart panik. Tangannya menyambar bahu Cia yang akan melesat lari untuk menolong Lorna. Cia menggeram marah dan menggerakkan bahu sekaligus mendaratkan siku ke ulu hati Stuart. “Ugh!” Stuart melenguh kesakitan dan pegangannya terlepas. Cia melesat tanpa takut mendekati Lorna. “
Ruangan ini berbentuk kotak sempurna, berbeda dengan ruang sebelumnya yang bulat. Ruangan ini juga menampilkan aula persembahan dengan altar granit, dihiasi dengan penggambaran perwakilan dari berbagai provinsi yang membawa persembahan kepada firaun. Stuart terpana menatap salah satu dinding ruangan utama ini. Ada sebuah patung manusia sangat besar. Patung laki-laki yang mengenakan pakaian kebesaran khas Mesir. Kepalanya yang memiliki wajah berwarna hijau, menoleh ke kanan. Kedua tangan patung itu bersilangan di depan dada, masing-masing membawa alat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. “Ruang persembahan Dewa Osiris. Kita ada di jalur yang benar,” bisik Stuart sambil menatap ke patung itu dengan wajah terpesona. “Bagus! Jangan sampai pengorbanan kemejaku sia-sia,” Lorna tiba-tiba sudah ada di sisi Stuart dan ikut berdesis di sebelahnya. Pria Inggris itu seperti ditampar sesuatu dan menoleh ke arah Lorna. “Eh, kampret! Tadi kenapa pake diem pas nancep ke langit-langit?! Teriak
“Apa saranmu. Lorna?” tanya Katon dengan nada malas. Makin lama pembicaraan ini menjengkelkan karena hasilnya membawa mereka pada kesulitan lain atau resiko kematian. “Apa lagi? Lakukan sesuai yang diharapkan pembuat lorong ini. Nyalakan Asphaltnya.” “Yeah, dan kita akan merasakan neraka lebih awal,” kata Cia terdengar super sebal. Lorna tertawa kecil dan membungkuk ke arah kekasihnya, untuk menggoda dan menaikkan mood Cia lagi. “Apakah ada kemungkinan Asphalt itu mengering dan tidak berguna lagi. Kalian lihat dua jebakan sebelumnya kan sudah kurang efektif. Iya, ‘kan Ton? Jebakan pertama, seharusnya ada sungai bawah tanah. Tetapi tidak, ‘kan?” kata Morgan. “Yang membuatnya makin berbahaya. Tanpa ada sungai, kita malah menghempas ke dasar tak terhitung dalamnya, Morg. Jika ada air mungkin kita hanya hanyut. Tanpa air, kita remuk,” jelas Katon makin membuat Morgan merasa ngeri. “Lagipula, Asphalt murni itu tahan lama. Apalagi ketika diletakkan di tempat nyaris tertutup seperti ini
“Malik Albani,” desis Stuart penuh kebencian. Ia menatap wajah yang meringis geli tetapi juga menunjukkan kekejaman yang mengerikan. Seketika Katon paham, tidak ada gunanya Stuart memilih lewat laut ke Kairo karena pada akhirnya, Malik Albani tetap bisa mengejarnya hingga kemari. “Yeah, bagus sekali Stu,” geram Katon perlahan. “Wah, lihat harta-harta ini, Malik!” “Kita kaya! Hahahahaha ....” “Dan biarkan bangsat-bangsat putih ini jadi anjing pelacak kita. Puas sekali aku, hahahahaha ....” “Kau luar biasa, Malik!” Seruan teman-teman Malik Albani hanya membuat Stuart, Katon, Morgan dan Cia merah padam. Hanya Lorna yang menatap dengan tertarik ke arah Malik Albani. “Bagaimana caranya kalian melewati lubang besar di lorong pertama?” tanya Lorna tertarik. “Dengan cara yang tidak perlu kau ketahui, perempuan. Kau tidak akan membutuhkannya!” jawab salah seorang kawan Malik dengan nada kejam. “Di situkah tempatnya?” tanya Malik, berjalan mendekati Stuart dan Katon sambil menggoyang-g
Terdengar suara seperti semprotan saat sarkofagus terangkat. Mirip suara minuman berkarbonasi baru dibuka. Bedanya, yang ini suaranya lebih keras dan sekaligus menyemburkan debu-debu, saking banyaknya sampai mirip asap. Sedetik kemudian terdengar lolong kesakitan dari empat orang yang berada di sekitar sarkofagus. “Sekarang!” teriak Stuart dan Katon melompati peti didepannya lalu melesat untuk menyerang Hachim. Pria tambun itu yang semula terkejut melihat kawan-kawannnya sontak menoleh ke arah Katon dan siap melayangkan rungu. Katon merendah dan meluncur di lantai, menyapu kaki Hachim hingga pria tambun itu terjatuh . Hachim tergagap dan berusaha berdiri ketika Loran datang dan menendang kepalanya. Hachim terbatuk dan berguling. Lorna yang belum puas, mengejar. Ia rebut satu rungu Hachim dan memakai ujung yang bulat untuk menghajar kepala Hachim sampai dia pingsan. Di sekitar sarkofagus, empat orang berkelojotan dan berteriak kesakitan. Jamal dan Malik Albani adalah yang paling pa
Di ujung dermaga, terdapat gang sempit yang terhubung dengan area perumahan kumuh Chongqing. Gang tersebut dikelilingi oleh tembok tinggi dengan lukisan mural yang memudar, tampak jauh dari kilauan pusat kota. Di tempat yang tak terduga inilah Liang Zhiyuen memimpin Katon menuju ke seseorang yang sudah lama ia percayai. Setelah berlari melewati beberapa lorong sempit, mereka tiba di depan sebuah pintu besi berkarat yang tertutup rapat. Liang Zhiyuen melirik sekeliling, merasa diawasi, sementara Katon menjaga tangan di balik jaketnya, dekat dengan gagang pistol kecil yang ia bawa. Liang Zhiyuen mengetuknya tiga kali, cepat dan teratur, dan dalam beberapa detik, pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang pria bertubuh kekar dengan rambut yang super cepak. " Gē? Apa yang kau lakukan di sini?" Sesosok pria sebaya dengan Liang Zhiyuen membuka pintu dan menampakkan wajah terkejut. Meskipun begitu ia segera menarik Liang Zhiyuen masuk, dengan demikian Katon leluasa mengikutinya. Pn
Katon tidak menyadari bahaya yang mengintainya ketika ia meninggalkan restoran. Di dalam mobil hitam yang melaju melintasi jalan-jalan Chongqing yang padat, Katon dan Liang Zhiyuen yang mengemudikan mobil, berbicara tentang langkah selanjutnya. Katon mengendalikan tablet di tangannya, memnampakkan laporan-laporan yang dikirimkan Mei Lifen tentang proyek Lin. Tentu saja Satria tahu bahwa ada hal-hal ilegal di dalamnya, tetapi dia dan Growth Earth Company tidak menyangka bahwa Lin memiliki dampak seluas ini. Setiap bisnis memang memiliki area abu-abu seperti yang Lin katakan. Tak dipungkiri, Growth Earth Company pun sama. Bedanya, mereka masih memiliki sedikit moralitas dengan tidak terlibat pada penjualan manusia maupun wanita dan segala isinya. Senjata? Yea, Katon tidak memungkiri Grand-Mere mungkin melakukan itu. Tetap saja, menjalin bisnis terlalu dalam dengan Lin, bisa memantik resiko lebih besar. "Aku tidak yakin kita bisa keluar dari ini dengan mudah, Liang. Lin punya kekuata
Katon duduk di ruang pertemuan gedung pencakar langit milik Lin, menatap layar yang menampilkan rencana proyek infrastruktur raksasa. Sekretaris Lin Jianhong, seorang wanita kurus dan tinggi, menyanggul seluruh rambutnya ke atas kepala dan memakai kacamata runcing seperti mata kucing, sedang melakukan presentasi dengan tingkat kepercayaan diri tinggi. Ia berbicara dengan tenang, menjelaskan betapa besar peluang yang ada. Selama itu Lin Jianghong, terus menatap ke arah Katon dan tim-nya dengan pandangan tertarik. Saat sekretaris wanita Lin Jianhong selesai bicara, ia mengembalikan topik kepada bos-nya. "Katon, proyek ini akan menghubungkan Chongqing dengan dunia. Kita berbicara tentang jalur pengiriman yang bisa mengalahkan pelabuhan Shanghai. Dengan investasi Anda, kita bisa memulai dalam waktu enam bulan," ujar pria tua bersahaja itu dengan penuh percaya diri. Katon mendengarkan, tetapi pikirannya terus bergerak ke arah detail yang Lin sepertinya hindari. Angka-angka terlihat fant
Katon kembali menyeberangi lobi InterContinental Raffles City. Posturnya yang gagah dibalut setelan mahal bisa saja menarik perhatian wanita manapun. Tetapi, sejurus kemudian sepasang pria dan anita mendekat lalu berjalan bersama Katon, mengiringi seperti penjaga. Liang Zhiyuan berjalan dengan tegap, posturnya kokoh dan penuh otoritas, seolah setiap langkahnya memiliki tujuan. Otot-ototnya yang tegas menunjukkan kekuatan yang tak perlu dijelaskan. Di sisi lain, Mei Lifen, dengan tubuh ramping dan anggun, bergerak dengan kepercayaan diri yang halus namun memancarkan kecerdasan tajam, auranya tenang tapi berbahaya. “Jelaskan lagi padaku tentang Lin Jianghong,” perintah Katon pada Mei Lifen selama mereka berjalan. Selama mereka berjalan menuju mobil hingga berkendara, Mei Lifen tak henti bicara menjelaskan pada Katon. Lin Jianhong adalah sosok pebisnis yang berwibawa, tetapi di balik citra publiknya yang terhormat sebagai pengusaha sukses, dia sebenarnya adalah seorang tokoh krimina
Katon mendapat tugas dari Satria untuk memulai perjalanan bisnis ke Kota Chongqing yang terletak di barat daya Tiongkok. Salah satu kota di dunia yang terkenal akan sejarah dan perkembangan futuristiknya. Maka ia mengajak sang istri demi agar Ratih memperoleh pengalaman berharga. Ratih melangkah keluar dari bandara Chongqing dengan memeluk lengan Katon. Udara kota ini terasa berbeda, lembab namun hangat, seolah menyambutnya dengan sapaan kawan lama. Saat mobil membawa mereka menuju pusat kota, matanya tak bisa berhenti menelusuri setiap sudut yang asing dan megah. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, membelah langit dengan bentuk futuristik yang tak pernah ia bayangkan. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah pemandangan Jiefangbei CBD, pusat bisnis yang penuh dengan lampu-lampu neon yang berkedip, menciptakan efek cyberpunk yang mengesankan. Ratih membayangkan seolah-olah dia tengah berada di planet lain. Kota ini terasa hidup, tetapi juga misterius.
Pagi hari kedua di Everest Base Camp tiba dengan perlahan. Matahari baru saja muncul, suhu dingin masih menusuk hingga ke tulang. Di dalam tenda yang kecil tetapi hangat, Ratih terbangun dengan perlahan. Di sebelahnya, Katon masih terlelap, berbaring dengan nyaman di dalam sleeping bag yang sama dengannya. Ratih menyadari dirinya masih terbungkus dalam pelukan suaminya yang mencoba menghalau dingin yang menggigit. "Mas, bangun. Sudah pagi" bisiknya pelan, mendekatkan wajahnya ke Katon. Dengan lembut, ia mengecup bibir Katon, berharap ciuman manis itu bisa membangunkannya. Katon membuka mata dengan berat, dan ekspresi malas terlihat jelas di wajahnya. "Udah bangun, Neng. Bawahnya," ucapnya pelan sambil menguap lebar. Ratih tertawa kecil, lalu menepuk mesra lengan suaminya. "Jangan malas, Mas! Kamu janji ajak aku jalan-jalan hari ini." Dorongannya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuat Katon perlahan duduk dan meregangkan badannya. Dingin pagi di EBC memang bisa membuat siapa saja i
Ratih akhirnya bisa bernapas lega. Hari-hari sebelumnya terasa begitu berat baginya saat harus berjuang melawan AMS Kini, dengan kekuatan baru, ia bersama suaminya Katon, melangkah keluar dari penginapan mereka di Dingboche. Langkahnya makin ringan karena Ratih tak perlu membawa beban apapun. Bersama dengan Rosalind da Morgan di belakangnya, Ratih mengikuti jejak langkah Katon yang berada di belakang Fey Foxie. Pasangan wanita itu, Jagawana terkuat, memilih menjadi penjaga di belakang Morgan dan Rosalind. "Mas, aku enggak percaya sudah sejauh ini. Masih sedikit pusing, tapi kurasa aku baik-baik saja," katanya bangga akan dirinya sendiri pada Katon. "Kamu luar biasa, Sayang. Jangan lupa untuk selalu minum air dan beristirahat saat perlu. Kita tidak perlu terburu-buru," ujar Katon menyemangati istrinya. Ratih mengangguk senang. Apa yang ia takutkan kalau ada Katon dan sekarang bisa tersenyum puas melihat barang bawaannya ada di punggung Fey Foxie sementara ia melenggang kangkung. Pe
Desa Dingboche, terletak di Nepal, adalah sebuah desa Sherpa yang terletak di ketinggian 4,410 meter di wilayah Khumbu. Desa ini dikenal sebagai "Summer Valley" karena cuacanya yang lebih hangat dibandingkan desa lain di sekitarnya. Dingboche tempat yang populer untuk aklimatisasi altitud sebelum menuju Basis Gunung Everest, selain memiliki pemandangan memukau, suhunya tidak terlalu menyiksa bagi pendaki yang berhenti dan berlatih beradaptasi sebelum naik ke tempat yang lebih tinggi. Desa ini juga dikelilingi oleh gunung-ganang Himalaya seperti Ama Dablam, Lhotse, dan Nuptse, yang membuatnya menjadi luar biasa mempesona. Ratih semakin membaik kondisinya ketika telah beristirahat setengah hari di Dingboche. Sesekali ia masih butuh menghirup oksigen portabel, oleh karena itu Ratih masih dikurung oleh Katon di dalam kamar. Sementara Rosalind dan Morgan, lebih sering berkeliling berdua. Sayangnya bukan untuk berkencan. Tetapi mengenali situasi apakah ada tentara Tibet yang mengendus pel
AMS atau Acute Mountain Sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian yang lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut, menyebabkan tubuh kesulitan menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang lebih rendah. Jika AMS tidak segera membaik atau malah memburuk, komplikasi yang lebih serius bisa terjadi, seperti High Altitude Pulmonary Edema atau HAPE sebagian bisa meningkat ke High Altitude Cerebral Edema atau HACE. Gejala-gejala ini termasuk batuk basah, sesak napas parah, sakit kepala ekstrem, kebingungan, hingga pingsan. Pada tahap ini, tindakan segera adalah membawa penderita ke ketinggian yang lebih rendah, di mana kadar oksigen lebih tinggi. Jika AMS yang dialami Ratih semakin parah, Katon harus memutuskan segera turun. Pendakian lebih tinggi bisa memperburuk kondisi AMS, tetapi mereka juga bisa bertemu dengan tentara Tibet jika turun. Alternatifnya adalah memantau Ratih lebih dekat di Dingboche, yang berada pada ketinggian 4.410 meter. Perjalanan ke Dingboche mungkin bi