343. Om Edi (Bagian B)"Itu kan induk, Dek. Mana mungkin dikasih sama Ibu, lagian kamu nggak ngeri makan ikan segitu gedenya?" tanya Mas Aji sambil menatapku dengan pandangan heran."Iya, sih, itu gede banget. Ya, udah deh yang lain aja," kataku sambil mengangkat bahu."Oh iya, An, kamu udah izin sama Abi untuk rencana kita nanti sore?" tanya Bi Ramlah tiba-tiba.Dia yang duduk di sebelahku menatapku dengan pandangan heran,Bi Ramlah tidak menjuntaikan kakinya ke air, tetapi bersandar di batang kayu yang sengaja dibuat bapak untuk menjadi pembatas teras rumahnya ini."Memangnya mau ke mana?" tanya Mas Abi ingin tahu."Oh, itu nanti sore rencananya aku sama Bi Ramlah mau ke rumah Mbak Lisa," ucapku tanpa menatap wajah suamiku itu sedikitpun."Hah, ngapain kalian ke sana?" Malah Mas Aji yang menjawab kata-kataku barusan.Suaranya terdengar heran, dan terlihat amat penasaran dengan kami yang ingin datang ke rumah mantan istrinya itu."Mau ngantar Mbak Jum untuk menemui istrimu," sahut Bi
344. Om Edi (Bagian C)"Ya mau ngapain lagi? Mau buat rusuh, lah," sahut Bi Ramlah dengan cepat. "Lihat aja tampang-tampangnya itu, kelihatan songong, ngebuat orang pengen nonjok wajahnya yang sombong itu," kata Bi Ramlah lagi."Is, nggak boleh kayak gitu, Bi," kataku memperingatkan. "Belum tentu juga dia mau buat rusuh di sini, bisa aja cuman mau bersilaturahmi," kataku melanjutkan."Iya, iya terserah kamu aja, An. Tapi jangan terkejut kalau nanti dia tidak sesuai ekspektasi kamu," kata Bi Ramlah lagi."Emangnya kenapa sih? Ada apa sama Om Edi itu?" tanyaku lagi ingin tahu.Karena aku memang tidak tahu apapun mengenai keluarga Lisa, aku hanya tahu mengenai keluarga inti Lisa yang lumayan sering aku lihat. Seperti Pak Parto, Bu Maryam, Marwan dan juga istrinya. Bahkan Rossa dan juga suaminya saja hanya beberapa kali aku lihat.Kalau keluarganya yang lain seperti Om dan juga tantenya, tentu saja aku tidak tahu. Karena mereka lebih dulu menikah daripada aku, dan sewaktu pernikahanku dan
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)345. Balasan Telak dari Anna (Bagian A)Senyum yang tadi terbentuk manis di bibir Mas Abi langsung lenyap tak bersisa, dia memalingkan wajahnya demi menatap hamparan sawah yang sebagian sudah di arit. Sedangkan lelaki yang bernama Edi itu sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah, setelah melontarkan kata-kata yang tidak pantas seperti tadi. Dia masih tersenyum manis, sambil meneliti keadaan sekitar.“Wah, panen banyak ya, Mas?” tanyanya dengan nada penasaran.“Iya!” Bapak menyahut ketus, mungkin merasa tak terima karena anak lelakinya itu baru saja dihina oleh Om Lisa itu.“Luasnya berapa, Mas?” tanyanya lagi, seolah tak merasa hawa membunuh yang sudah kami kobarkan.“Cuma dua puluh lima hektar, Di.” Bapak kembali menyahut, namun sama sekali tidak menatap lelaki itu sedikitpun.Bapak lebih memilih menyibukkan dirinya dengan kegiatan lain, mengecek ponselnya, dan mengutak-atiknya sebentar. Baru saja Bapak meletakkan ponselnya di
346. Balasan Telak dari Anna (Bagian B)Aku bisa melihat, Ibu, Emak, dan juga Bi Ramlah yang sedang menahan tawa. Sedangkan dari ekor mataku, aku bisa melihat Mas Abi yang tersenyum sambil menggeleng.“Jadi mau kamu gimana, Dek? Apa Mas ini ke sawah pakai dasi, pakai jas, dan pakai sepatu?” tanya Mas Abi padaku.“Boleh juga, Mas. Kenapa nggak dicoba? Mana tau viral, kan?” kataku sambil terkekeh.“Udah-udah! Nggak usah yang aneh-aneh kalian!” Mas Aji menengahi. “Suamimu ini polos, Dek. Jangan sampai besok dia betulan pakai jas lengkap ke sawah!” kata Mas Aji lagi.“Ya ndak apa-apa, sih. Petani elit!” Bi Ramlah ikut menimpali.“Elit opo? Nggak usah yang aneh-aneh, dari pada gaya elit, ekonomi sulit, kantong menjerit, mending bergaya sesuai kemampuan, tapi bisa bantu orang yang membutuhkan!” Ibu menyahut dari seberang sana.Aku mengacungkan jempolku ke arah Ibu, dan hal itu membuat Edi dan istrinya terkekeh sambil menunjukkan senyum masam. Mau membully suamiku? Mau menjatuhkannya? Oh, ti
347. Balasan Telak dari Anna (Bagian C)“Mendingan kamu iku meneng, ojo ngomong!” kata Bi Ramlah dengan keras. “Datang-datang cuma menghina, buat apa kalian ke sini, hah? Ganggu kami aja!” kata Bi Ramlah lagi.“Lagian, nggak ada hubungannya kota sama desa. Kalau tinggal di kota membuat akhlak jadi nggaka ada, mendingan aku tinggal di hutan saja!” Ibu ikut menyahut.Edi dan istrinya lantas terdiam, balasan Ibu terlalu telak dan hal itu benar-benar sukses membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa.“Kalian mau apa ke sini, Di?” tanya Bapak tiba-tiba.“Kami mau ketemu sama Aji, Mas.” Edi menyahut sopan.“Aji? Ada perlu apa?” tanya Bapak lagi, keningnya berkerut dalam.“Apa benar dia sudah menceraikan Lisa?” tanya lelaki itu dengan cepat.“Benar, Om!” Mas Aji langsung membalas. “Kenapa?” tanya Edi dengan nada tidak suka.“Banyak alasannya, tetapi yang paling fatal adalah ketika dia memfitnah kedua orang tuaku,” sahut Mas Aji dengan mantap.Aku bisa melihat lelaki yang berstatus sebagai Om L
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)348. Ruli mau ikut (Bagian A)“Emak mana, Ai?” Aku keluar dari kamar dengan menggunakan tunik berwarna hijau, dan juga celana kulot berwarna hitam, lengkap dengan jilbab instan berwarna senada. Aku baru saja selesai mandi dan bersiap-siap, dan karena itu aku sudah terlihat segar padahal baru saja pulang dari sawah.Sepulang dari sawah tadi aku memang langsung bergegas untuk bersiap, karena sebentar lagi sore dan aku punya janji untuk pergi bersama Bi Ramlah ke rumah Lisa demi menemani Bude Jum dan juga Mbak Suci. Tidak tanggung-tanggung, Bude Jum ke sana untuk menagih hutang, dan aku akan ikut ke sana. Kurang kerjaan sekali, sumpah! Tapi, walaupun masih ada rasa enggan yang aku rasakan, aku tak bisa membatalkan kepergian ini begitu saja. Karena aku sudah kadung berjanji, dan aku tidak akan pernah mengingkari apa yang sudah aku janjikan. Aku mendudukkan diriku di samping Aina, di mana aku bisa melihat adikku itu sedang mengutak
349. Ruli mau ikut (Bagian B)"Iyalah! Gang depan belok kanan, terus gang mana lagi, An? Makanya kamu itu jangan di rumah saja, sesekali harus berbaur sama orang-orang. Pergi ke sana, pergi ke sini. Main di sana, main di sini. Bukan cuma ngedekem di rumah aja!" omel Bi Ramlah sambil menepuk punggungku lumayan kuat.Aku meringis perih, pukulan Bi Tamlah terasa panas di punggungku. Sialan! Kalau bukan Bibi suamiku, sudah aku balas kelakuannya tadi."Nggak deh, Bi. Makasih!" Aku menggeleng spontan."Dibilangin ngeyel kamu itu!" sahutnya kesal. "Kamu terlalu kuper, An. Terlalu menutup diri, lingkup pertemanan kamu itu hanya ngomong sama Bu Sulis, hanya ngomong sama Ujang. Coba kamu itu berteman sama orang lain, sama tetangga-tetangga yang lain, jangan hanya sekitar rumah kamu aja. Kamu itu kayak orang yang nggak punya pergaulan, padahal ya … banyak orang yang mau berteman sama kamu tapi ketakutan. Karena apa? Karena kamu itu dikira orang sombong!" kata Bi Ramlah sambil mencibir.Aku hany
350. Ruli mau ikut (Bagian C)Akut turun dari motor, sambil mencebik sinis diam-diam. Bi Ramlah memang sangat pandai berbicara, bijak sekali dia kalau di dengar oleh orang awam, sayangnya aku sudah profesional dan aku sudah tahu bagaimana sifat aslinya. Aku mendekat ke arah mereka dan mendudukkan diri di teras rumah Bude Jum, yang memang mempunyai undakan tangga sedikit untuk naik ke atas teras.“Loh, jangan di bawah situ, An. Naik saja ke sini! Ngapain di bawah? Ayo sini duduk di kursi!” ujar Bude Jum dengan suara yang tidak enak. “Masak tamu duduknya di bawah, ayo sini! Duduk di atas!” katanya lagi.“Aduh Bude, nggak apa-apa Anna duduk di sini saja,” sahutku dengan lembut, menolak dengan halus. “Lagian di sini juga bersih kok, nggak masalah lah, Bude!” kataku lagi sambil mengembangkan senyum manis.“Udah, Mbak. Biarkan saja dia di situ, dia itu pengen ngeliat-liat sekitar mungkin. Soalnya tadi saja, dia tuh nggak tahu rumah Mbak ada di mana,” sahut Bi Ramlah dengan nada mengejek,