"Kamu tak apa, Nai?" tanya Anggara setelah Naira terlihat lebih tenang.Wanita itu terhenyak. Pelukan Anggara terlalu nyaman untuk mengusir rasa takut yang baru saja singgah."Am, ya, Bos. Maaf." Naira menarik tubuh seketika. Dua pipinya bersemu malu karena sikap konyolnya sendiri.Anggara pun sama. Ia tiba-tiba merasa canggung karena wanita di depannya memeluk dengan erat. Jujur saja, dadanya berdentum kencang karena itu.'Bodoh sekali kamu, Ga! Sudah tau wanita itu lagi kesusahan. Malah mikir yang enggak-enggak. Apa kamu omes?' rutuknya dalam hati. Untuk menenangkan diri, lelaki itu biasa memaki dirinya sendiri."Ah, ya. Tak apa, Nai. Santai aja." Lelaki dengan senyum pipit itu menggaruk kepala tak gatal."Em. Sebenarnya ... suamiku, em suami saya ....""Gak usah formal, Nai. Lagian kita di luar kantor." Anggara memotong ucapan Naira."Ah, ya. Ga. Aku ....""Ehem." Anggara berdehem. Naira sontak mendongak, melihat wajah bosnya yang rupawan tengah menatap ke langit-langit.Dahi wani
"Naira!"Huda berlari ketika melihat sang istri dimasukkan ke mobil oleh seorang pria. Apa pria itu akan menculiknya? Atau jangan-jangan malah selingkuhan Naira.Sepersekian detik, kakinya mencapai mobil sebelum pintu di tutup."Bos!!" Naira tiba-tiba berteriak kencang."Bos?"Mata Huda memicing, ia yang sudah di depan pintu mobil sontak menoleh, dn melihat wajah Anggara dengan melebarkan mata. Dugaanya benar, bahwa Naira bekerja pada mantan pacarnya dulu. Namun, ia sadar itu bukan salah istri, sebab dari awal Naira sudah bercerita. Huda saja yang tidak perhatian.Huda tersentak hebat, kala seseorang menancapkan pisau di perutnya. Darah menitik deras di lantai parkiran.Mata Naira melebar, kala sadar bahwa yang ditusuk pisau adalah suaminya. Sementara Dana berlari tunggang langgang, dia memaki diri sendiri karena salah sasaran. Padahal sudah jelas-jelas yang ia tuju adalah Naira, tapi kenapa tiba-tiba Huda berdiri di depannya? Gawat jika berita ini sampai ke telinga Rindi, wanita i
"Gimana perasaanmu, Nai?" Anggara melirik pada wanita di sampingnya.Naira mengulum senyum meski matanya masih basah karena menangis."Sudah mendingan, Bos," sahutnya singkat.Wanita berparas ayu itu, masih memikirkan kondisi Huda. Ia hanya tak habis pikir jika kejadiannya akan seperti ini. Jika Rindi tahu, bahwa Huda yang tertusuk, apakah dia akan menyesal telah berbuat jahat pada istri sh Huda?"Kalau begitu berhentilah menangis, Nai." Anggara mengucap pelan. Sedang Naira yang mendengar itu, berkali-kali mengusap matanya kasar. Ia malu terus saja menangis di hadapan pria itu."Ya, maaf." Ucapan maaf meluncur dari mulut Naira. Ia tahu bahwa terlalu banyak merepotkan Anggara. Bisa jadi pria itu jug muak melihat tangisnya."Kupikir ... kamu dulu akan sangat bahagia hidup dengan Huda. Itu kenapa aku tak berani mendekatimu lagi." Anggara tiba-tiba menyebut bagaimana masa lalunya dulu. Ia menyesal melepaskan Naira begitu saja. Hanya karena Huda memintanya menjauh, dan mengatakan Naira sa
"Bukti?" Anggara mengernyitkan kening. Dia masih merasa ambigu pada pernyataan polisi."Ya, bukti. Kita perlu bukti untuk memproses tuduhan." Polisi menjelaskan lebih lanjut."Eum, bisa jadi ada bukti dari CCTV. Tapi itu tidak bisa menunjukkan wajah pelaku, karena ditutup masker dan memakai topi." Lelaki itu tampak psimis. Ia mendesah, apa iya ada harapan untuk menangkap pelaku yang dicurigainya."Apa Bapak mencurigai seseorang?" tanya polisi."Ya. Dia sebelumnya memasukkan racun ke minuman teman saya juga." CEO itu menjawab mantap."Jadi ada kejadian lain?" tanya petugas lagi. Anggara mengangguk."Berarti bisa jadi saling terkait kasusnya." Polisi menggumam. "Baiklah, kita akan coba selidiki."Jadi laporan saya akan diproses?" tanya Anggara lagi."Ya, tentu saja." Polisi menjawab mantap. "Silakan isi terlebih dahulu." Polisi memberikan sebuah buku tamu dan bolpoin.Lalu lelaki berseragam di depan Anggara mengajukan beberapa pertanyaan pada tamunya. Anggara menyebutkan semua yang dita
Wajah Rindi memucat pasi. Cepat ia seka keringat sebiji jagung menitik di pelipis. Apa polisi tahu, bahwa ia yang meminta Dana membunuh Naira? Gawat.Begitu pun Dana, ia berusaha mengendalikan diri meski tubuhnya bergetar karena merasa dicurigai. Sepasang matanya melirik pada Rindi yang juga sedang memerhatikan ekspresi lelaki tersebut."Em, maaf, Pak! Kebetulan saya ada di tempat kejadian. Saya dan seorang pria yang membawa istri Pak Huda, membawa Pak Huda yang tertusuk ke UGD." Hamdan cepat menyahut. Fokus polisi pun mengarah pada Hamdan. Polisi memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Lelaki tua yang kini membersamai dua orang lain yang tengah menunggui pasien."Nama Bapak siapa?" Satu polisi bertanya."Saya Hamdan." Cepat pria itu menjawab."Lalu ada siapa lagi?" tanya polisi lagi."Hanya saya, Ibu Naira yang berada dalam mobil dan teman prianya. Juga em, Pak Huda sebagai korban." Hamdan kembali menyahut. Tanpa ada beban di wajahnya.Polisi lalu melirik dua orang lain.
Naira celingukan. Mencari sosok seseorang. Padahal tak sampai setengah jam ia menuntaskan kewajibannya mengganti sholat, tapi temannya sudah pergi saja.Sementara Anggara yang tengah mengetik sesuatu dengan laptopnya, melirik sebentar pada wanita itu. Ia tahu, bahwa yang dicari pegawainya itu adalah Rena."Cari Rena?" tanya Anggara tanpa melihat pada Naira."Iya, Bos. Apa dia balik ke kantor?" tanya Naira polos."Huum. Dia kan harus kerja, Nai. Kamu juga harus cepat sembuh agar bisa kerja." Lagi, pria itu menjawab tanpa melihat pada pegawainya. Tangan pria itu sibuk menari di atas keyword. Naira menautkan dua alis. Benar juga yang bosnya katakan. Padahal dia mau minta tolong untuk melakukan rencananya."Trus, Bos gak kerja?" Wanita yang tampak lebih segar itu bertanya."Kamu lihat kan aku sedang bekerja sekarang." Anggara menegaskan. "Tapi kenapa gak di kantor?" tanya Naira tak mengerti."Karena aku lagi jagain kamu, Nai. Aku tahu Mas Danu pasti sangat sibuk sekarang. Istrinya juga
"Walaiakumsalam." Naira menjawab salam, dari kehadiran temennya. Mata Anggara melebar melihat seseorang yang datang."Si-siaapa, Nai?" tanya Anggara menunjuk perempuan yang berdiri persis di depan pintu."Temen aku, Bos." Naira meringis."Aku gak disuruh masuk?" tanya Sinta yang merasa dianggurin."Eh, ya. Ayuk masuk!" seru Naira dari atas dipan. Yang membuat tamu itu akhirnya tanpa ragu mendekat. Ia melihat malu-malu pada pria tampan yang kini sedang memperhatikannya."Nai, dia siapa?" tanya Sinta berbisik kala sudah dekat pada Naira."Bosku," jawab Naira. "Kenapa di sini? Jagain kamu? Atau kamu jangan-jangan udah jalin hubungan sama dia?" cerocos Sinta. Sambil beberapa kali melirik pada Anggara yang kembali sibuk dengan pekerjaan."Ehem. Saya mendengar." Anggara berdehem. Lalu tersenyum bangga tanpa melihat pada dua wanita di seberangnya. Dia memang tampan, dan Anggara sadar itu. Tak heran banyak wanita yang baru mengenalnya gagal fokus kala berhadapan dengan pria itu."Oh, ya." S
"Rindi pasti sudah gila! Kenapa dia berani lapor polisi? Padahal dia otak pembunuhan Naira!" Dana memukul setir mobil berkali-kali karena kesal. Lalu meletakkannya di mulut sambil memikirkan banyak kemungkinan. Rindi sangat bodoh. Apa dia mau menyerahkan diri? Tidak mungkin. Wanita itu ular berbisa yang tidak mau menagalami kerugian dalam hidupnya. "Atau ... jangan-jangan ...." Teebersit sesuatu dalam kepala Dana. Bahwa Rindi telah curang dan licik. Wanita itu bisa saja hanya melaporkannya sebagai pembunuh sedang dia hanya melaporkan diri sebagai korban dan saksi."Argh! Sial!" teriak Dana lagi. Ia pun teringat sesuatu. Ia segera menepikan mobil. Diraihnya ponsel dalam kantong dan di matikannya. Lalu ke luar mobil dan mencegat taksi untuk mengantarkannya pergi."Polisi pasti akan melacak nomor ponselku dan nomor mobil. Sial! Semua ini gara-gara Rindi. Lihat saja nanti, aku pasti bisa membunuhmu," ucap Dana selagi menunggu mobil taksi yang mau berhenti.____________"Kamu mau ke ma
"Bagaimana kalau terbukti bayi dalam kandungan Sherly adalah anakmu?"Anggara tercenung, hanya sesaat. Kemudian menatap Naira lekat-lekat."Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup anak itu. Tapi, tidak akan ada siapa pun yang bisa memaksaku untuk menikahi Sherly. Dan...."Anggara tidak melanjutkkan kalimatnya, dia berdiri dan duduk satu sofa dengan Naira. Keseriusannya membuat jantung Naira berdebar-debar cepat. Jari-jemari Naira digenggam erat Anggara."Dan, kalau memang itu anakku, aku berharap kebesaran hatimu untuk mau tetap menerimaku sebagai suamimu, dan meminta kebaikan hatimu untuk anak yang tidka berdosa itu."Anggara menahan napas, menunggu apa reaksi dan jawaban Naira. Ditengah perasaan khawatirnya, Naira justru mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Anggara."Aku memang memiliki keraguanku padamu sampai tadi sebelum masuk ke ruanganmu ini. Tapi, kemudian aku tahu, bahwa suamiku berkata benar."Kernyitan di kening Anggara melekuk-lekuk dala
Huda menunggu dengan gelisah kedatangan Sherly. Perasaannya tidak enak. Suara kemarahan Sherly ditelepon, membuat pikiran Huda menjadi kalut. Dia merasa kalau situasinya berantakan."Brengsek kamu, Huda!"Sebuah hentakan di meja, menyadarkan Huda dari lamunannya. Sherly sudah datang, dengan setumpuk kekesallannya, hingga melempar tasnya ke atas meja, sebelum kemudian duduk. Dirogohnya isi tas dengan kalap, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Namun, saat melihat rokok itu, dia kemudian teringat bagaimana Anggara membentaknya kasar. Akhirya, Sherly meremas bungkus rokok beserta isi-isinya.Huda yang melihat itu, semakin penasaran sekaligus was-was. Dia merasa kalau yang akan dihadapinya bukan hanya tentang kekesalan si Sherly juga, tapi tentang rencana penghancuran pernikahan Anggara dan Naira."Gimana? Gimana tadi di sana? Si kunyuk Anggara itu, tidak bisa berkutik, 'kan? Dia mau menuruti maumu, 'kan?" Huda memajukan tubuhnya, menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan Sherly.Sherly y
Pintu ruang kerja Anggara ditutup Sherly dari luar dengan bantingan yang amat sangat keras. Itu membuat sekretaris Anggara tersentak dan menatap Sherly dengan melongo. Dalam hati ada si sekretaris, ada kekaguman dengan kekuatan Sherly membanting pintu daun jati yang cukup tebal itu.Sherly tak langsung melangkah. Dia tetap berdiri di depan pintu yang tertutup, dengan napas naik turun yang tidak teratur. Satu dua kali, dia menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan kasar, hingga membuat si sekreatris khawatir rambut itu akan jebol dari akar kepala.Setelah dia bisa menguasai diri, Sherly melangkah menjauhi ruang kerja, menuju lift. Ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang buruk. Dia tidak menyapa apalagi menoleh ke meja sekreatris, melainkan menghubungi Huda.Di depan lift, barulah telepon Sherly diterima Huda."Brengsek kamu Huda! Ternyata deskripsimu tentang perempuan itu, salah! Sekarang, aku yang terjebak. Kalau ngomong itu yang bener!" cerocos Sherly tanpa menekan tombol a
"Tidak, Nai." Cepat-cepat Anggara menanggapi. Khawatir istrinya akan salah tanggap."Aku tidak menyimpan foto-foto itu. Dia yang menunjukkan kepadaku tadi, sebagai bukti," lanjut Anggara."Foto apa?" Kali ini Naira menoleh ke Sherly. "Aku bisa lihat?""Gak perlu dilihat, Nai," cegah Anggara dengan suara lembut."Aku tetap mau melihatnya, Mas.""Aku tidak izinkan.""Kenapa?""Itu hanya akan membuatmu semakin berprasangka buruk terhadapku, sedangkan aku sendiri, tidak meyakini kalau foto itu mewakili apa yang sudah kuperbuat kepadanya," jelas Anggara."Kalau begitu, biarkan aku melihatnya dan menilainya sendiri."Anggara menatap ke dalam mata Naira yang memiliki keteguhan. "Aku tidak mau kamu terluka lebih banyak lagi, Nai.""Aku sudah terluka, Mas. Banyak atau sedikit, aku tetap terluka."Naira kembali menatap serius Sherly. Tangannya terulur dan meminta bukti foto itu."Biar aku melihat foto itu juga."Sherly tersenyum senang. Dengan gerakan gemulai, Sherly menyerahkan ponselnya."Ak
Naira melotot tak terima. Bagaimana bisa ada perempuan tak tahu malu seperti itu. Tanpa ragu, wanita bergerak maju mendekati Sherly dan menjambak rambutnya hingga kepalanya tertarik ke belakang. "Au! Jalang! Lepaskan! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!" ancam Sherly sambil berteriak kesakitan."Kamu pikir aku takut, hah?!" Naira melotot di depan wajah Sherly. Dulu mungkin dia tak bisa melawan fisik Rindi yang merebut Huda, tapi tidak sekarang. Anggara di sini untuknya, dia bukan tukang selingkuh seperti suami pertamanya.Anggara panik, ia tak mau kejadian ini heboh dan menarik perhatian yang lain. Rasanya kesabaran Anggara sudah sampai di batasnya. Ia tak mau diam saja. Naira bisa merasakan bagaimana tangan suaminya yang merangkul pinggangnya terasa mengetat, yang artinya Anggara sedang berada pada kemarahannya yang masih ditahan.Naira tentunya tidak ingin martabat suaminya buruk di mata banyak karyawannya. Itu tidak baik karena juga bisa mempengaruhi nama baik perusahaan. Naira harus
Di luar ruang kerja Anggara, Naira dan seorang sekretaris, duduk gelisah di tempatnya masing-masing. Si sekretaris, beberapa kali mencuri pandang ke arah Naira dan juga ke pintu ruang kerja bosnya. Ingin sekali dirinya mendekati Naira, lalu mencoba menenangkan.Namun, ia sadar kalau itu pasti tidak akan bisa mengubah perasaan kalut seorang istri yang mengetahui suaminya berdua-duaan dengan wanita lain.Naira sendiri, sebenarnya tidak keberatan dengan kesendiriannya di sofa. Itu membuatnya leluasa berpikir antara tetap di kantor atau pulang, dan antara masuk menerobos ke ruang kerja Anggara atau sabar menunggu sampai tamu wanita bernama Sherly itu keluar.Sebenarnya Naira sangat ingin masuk, dan melabrak wanita itu serta Anggara bersamaan. Rasa kesal, marah, akibat merasa pernikahan ini tidak adil, adalah yang membuat Naira ingin meluapkan pada keduanya sekaligus. Seandai kata Anggara jujur sejak awal, sebelum menikah, atau Sherly datang menemuinya sebelum menikah, pastinya hidup Naira
Di kantornya, Anggara benar-benar tidak bisa konsentrasi. Pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus pada perusahaan yang dia bangun. Bercabang ke mana-mana. Dari memikirkan bagaimana menyelesaikan urusannya dengan Sherly, sampai tentang bagaimana dirinya bisa membuktikan kalau tidak pernah terjadi sesuatu antara mereka ke pada Naira. Lelaki yang mengenakan setelan jas berwarna Dongker itu berdiri mematung, menatap keluar melalui jendela kaca. Kedua tangannya terlipat di dada dengan kedua kaki terbuka. Sikapnya benar-benar seperti seorang ksatria yang sedang menatap ke arah medan perang.Di tengah pikirannya yang semakin kelam dan berkecamuk, Anggara dibuat terkejut dengan pintu yang dibuka dengan hentakan keras. Pria tinggi itu langsung berbalik, yang lalu terhenyak begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merengut.Sherly mengenakan pakaian yang membuat Anggara malu. Pakaian itu tidak tepat, begitu juga riasannya, dan semua yang menempel pada tubuh Sherly tidak ad
"Mas Huda!" Naira panik sekaligus gelisah. Kemunculan Huda di rumahnya, bukanlah sesuatu yang diinginkan Naira."Aku ada meeting dengan seseorang di restoran dekat sini. Tapi, aku kepagian dan..., karena dekat dengan rumahmu, aku jadinya mampir dulu."Huda celingukan, melihat-lihat sekitar, seolah-olah sednag mencari-cari."Oh, ya, Anggara ada?" tanya Huda santai.Naira menelan air liurnya. Dia tahu kalau Huda bertanya basa-basi. Naira yakin kalau mantan suaminya itu tahu perginya Anggara ke tempat kerja. Itu karena selisih waktu yang tidak banyak."Suamiku kerja , Mas," jawab dingin Naira. Dengan nyata Naira menekankan kata 'suamiku'."Lho, gak libur? Kalian kan pengantin baru. Kita dulu aja, malah langsung bulan madu, kan," ucap Huda sambil terkekeh geli sendirian.Naira tak menanggapi. Dia tidak mau diseret ke masa lalu yang baginya sudah amat sangat tidak penting lagi."Nai, boleh minta minum, gak? Aku tadi buru-buru. Haus, nih." Huda mengelus tenggorokannya dengan wajah meringis.
Bagaikan sebuah alarm yang memang sudha tertanam di dalam tubuh dan pikiran, tak lama setelah adzan subuh selesai berkumandang, Naira bangun dengan tersentak. Tubuhnya langsung bangun duduk dengan napas yang tercekat.Setelah berhasil mengatur napas, Naira pun mulai membangun ingatannya. Dia menunduk menatap kedua tangannya yang masih menggunakan perhiasan dan lukisan hena. Gaun pengantinnya pun belum lepas dari tubuhnya.Apa yang ada di dirinya masihlah sama seperti kemarin. Tak ada satu pun yang terlepas dari dirinya. Naira masihlah seorang yang mengenakan pakaian pengantin.Kini Naira melihat sekitar dirinya. Ingatannya mulai datang. Naira yakin kalau semalam dia duduk di tepian tempat tidur, mengagumi empuk juga lembutnya tempat tidur. Naira juga ingat tentang keinginannya untuk merebah, memastikan kalau tempat tidur itu memang benar-benar empuk.Dan setelahnya Naira tidak ingat apa-apa. Tapi, saat terbangun, dia tidur dengan posisi sangat baik. Seseorang telah memperbaiki posisi