Perempuan tua itu masih duduk di ruang tamu yang sederhana, menatap Kaisar dengan tatapan tajam. Kaisar yang duduk di seberangnya merasa tegang. Perempuan tua akhirnya memecah keheningan."Kenapa istrimu tidak mengangkat juga?" tanyanya dengan nada prihatin.Kaisar menggelengkan kepalanya. "Saya sudah mengirim pesan, memintanya untuk menelepon ke nomor ini jika dia sudah bangun.""Tidak apa-apa, coba miscall lagi," usul perempuan tua sambil tersenyum.Kaisar mengikuti saran itu dan memencet tombol untuk menelepon Elena. Namun, telepon itu tetap tak diangkat. Kaisar menjelaskan, "Dia suka membuat handphonenya silent saat tidur."Perempuan tua tersenyum penuh pengertian. "Sabar, tunggu saja."Kaisar mengangguk, mencoba menenangkan diri. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya."Kalau boleh tahu, mengapa ibu tinggal sendirian?" tanya Kaisar, mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran tentang Elena.Perempuan tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Doroti, menatap ke luar jend
Elena menatap layar ponselnya, ragu-ragu antara memilih untuk menghubungi nomor tidak dikenal atau melupakan sepenuhnya. Keputusan ini menjadi lebih sulit ketika ponselnya bergetar lagi, kali ini dengan panggilan dari Damian."Hallo?" jawab Elena dengan suara yang masih dipenuhi keraguan.Damian dari sisi lain meneruskan percakapan, "Elena, mana nomor tidak dikenal itu? Apa sudah kamu kirimkan atau belum?"Elena menyadari bahwa dia lupa untuk memberikan informasi tersebut. "Oh, maafkan aku, Damian. Aku akan segera mengirimkannya. Sedang ada sesuatu yang penting, tapi kita bisa bicara nanti, oke?"Damian mengiyakan dan mengakhiri panggilannya. Elena, sambil memegang ponselnya, berpikir keras apakah sebaiknya dia memberikan nomor tersebut atau tidak. Namun, sebelum dia bisa mengambil keputusan, ponselnya berdering kembali, kali ini nomor tak dikenal itu lagi yang menghubunginya.Tanpa ragu, Elena segera mengangkat teleponnya, "Halo, siapa ini?"Suara di ujung telepon tampaknya bergetar
Elena melangkah masuk ke kamarnya, suasana di kastil terasa semakin tegang. Dia merasa terjebak di dalam ruangan mewah yang seharusnya memberikan kenyamanan, namun sekarang menjadi penjara bagi dirinya. Hatinya gelisah ketika ia menyadari bahwa paman Lionel telah menyewa seorang bodyguard untuk menjaganya.Dengan gemetar, Elena mengambil ponselnya dan mencari nomor Kaisar. Setelah menekan beberapa tombol, suara Kaisar terdengar di seberang sana."Elena, kau sudah berangkat?" tanya Kaisar dengan cemas.Elena menjelaskan bahwa dia tidak dapat keluar dari kastil karena paman Lionel telah mengambil langkah-langkah ekstra untuk menjaganya. Pamannya tersebut sepertinya sangat tidak ingin Elena meninggalkan kastil itu.Kaisar merespon dengan tenang, "Jangan khawatir, Elena. Aku akan mencari cara untuk membantumu keluar dari situ. Kamu hanya perlu menjaga dirimu sendiri sebaik mungkin."Elena menghela nafas lega mendengar suara Kaisar yang penuh keyakinan. "Aku akan berusaha, Kaisar. Aku hany
Damian melihat sekeliling hutan yang lebat dengan pohon-pohon tua dan semak belukar yang menyelimuti setiap sudut. Damian harus menyelamatkan Kaisar yang sekarang dia yakin masih berada di sekitar hutan itu. Dia pun berpikir dan akhirnya berpura-pura heran pada beberapa pasukannya yang kini berada di dekatnya agar keputusan Damian nantinya yang akan mengikuti permintaan Kaisar tidak curigai oleh mereka."Dia harus berada di sini," ucap Damian kepada sebagian pasukannya, matanya seolah terus memindai sekelilingnya. Pasukannya pun masih melihat sekitar di kegelapan malam dengan bermodalkan lampu senter dan berbagai teknologi militer lainnya, namun tak seorang pun dari pasukannya yang bisa menemukan jejak Kaisar.Damian berhenti melangkah, terlihat akan mengambil keputusan yang sulit di hadapan pasukannya. "Kita kembali ke markas. Kaisar tidak berada di dalam hutan ini," ujarnya dengan suara yang tegas kepada para prajuritnya.Pasukan segera bergerak dengan sigap, meninggalkan hutan yang
Kaisar melangkah dengan mantap menuju tempat tersembunyi tempat bertemunya dengan mantan tentara yang dulu pernah mengkhianatinya. Langkahnya tegas, membawa aura kekuasaan yang masih melekat pada dirinya. Di kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh beberapa obor, Kaisar melihat siluet mantan tentara itu duduk di sudut ruangan, tampaknya tengah menyelidiki sesuatu."Kau mirip seperti hantu," ucap Kaisar dengan suara tenang, menyadarkan mantan tentara tersebut akan kehadiran Kaisar.Mantan tentara yang bernama Andrea itu mendongak, matanya membulat kaget ketika melihat sosok Kaisar yang seharusnya sudah mati. Dia refleks bangkit dari tempat duduknya, memandang Kaisar dengan ekspresi campuran antara tak percaya dan kebingungan."Tidak mungkin... Kau sudah mati!" seru Andrea, suaranya dipenuhi keheranan.Kaisar tersenyum tipis, "Ya, banyak yang percaya begitu. Namun, saya masih hidup. Sayangnya, musuh kita lebih cerdik dari yang kita bayangkan. Mereka merancang segalanya untuk menjatu
Angin malam berhembus dengan dingin, membuat api unggun yang menyala di tengah-tengah perkemahan kecil semakin nyaman. Di sana, Kaisar dan mantan tentara yang telah berkumpul menunggu dengan gelisah. Cahaya api menyinari wajah-wajah mereka yang penuh keraguan, seolah menandakan ketidakpastian masa depan.Kaisar duduk di atas kursi sederhana, memandang api unggun dengan ekspresi serius. Dia merenung sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku memanggil kalian ke sini."Semua mata tertuju padanya, menanti penjelasan lebih lanjut. Sementara itu, mantan tentara yang duduk di sekeliling api unggun saling bertukar pandang, mencoba membaca situasi.“Aku akan mengembalikan nama baik kalian di mata negara jika kalian bersedia membantuku dalam sebuah misi,” lanjut Kaisar.Sembilan mantan tentara itu saling menatap tak percaya.“Bagaimana Tuan bisa mengembalikan nama baik kami disaat negara ini sudah tahu bahwa Tuan sudah meninggal? Negara pasti tidak percaya denga
Ruangan besar di dalam Kastil dipenuhi oleh ketegangan. Empat orang duduk di sofa dengan pandangan tegang, menunggu keputusan tentang warisan sepeninggal Kaisar. Pengacara pribadi keluarga Abrahaam, seorang pria tua berwibawa, duduk di hadapan mereka, memegang selembar surat wasiat yang tampaknya menjadi kunci kebenaran.Elena, Lionel, Mason, dan Lili duduk dalam diam, masing-masing merenungkan takdir mereka. Sejenak, keheningan itu terasa begitu berat seolah-olah dapat diiris dengan pisau.Pengacara itu, dengan tangan gemetar karena usia, mengangkat pandangannya dari surat wasiat dan menatap wajah-wajah yang penuh kecemasan di hadapannya. Dengan napas berat, ia mulai memberikan putusan yang dapat mengubah hidup mereka."Dalam surat wasiat ini," ucapnya dengan serius, "Tuan Abrahaam menyimpan sebuah rahasia besar yang seharusnya tidak pernah terungkap."Mata mereka semua berkilat, rasa penasaran yang memuncak. Pengacara itu lalu mulai menjelaskan, merinci setiap kata yang tertera dala
Lionel, dengan langkah hati-hati, mencari Vander, penguasa yang telah membunuh Kaisar untuk sebuah rencana yang belum terkuak sepenuhnya. Sesampainya di ruangan Vander, Lionel tidak menyimpan rahasia lagi."Paman, kabar apa yang paman bawa?" tanya Vander, matanya mencari jawaban di wajah pria yang kini menjadi kunci nasibnya.Lionel menarik nafas dalam-dalam sebelum mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi. "Vander, saya telah menemukan sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Elena, dia bukan keponakan Abraham. Dia adalah anak kandung Abraham, dan Kaisar lah yang ternyata sebagai anak angkat Abraham kakaku."Vander menatap Lionel dengan mata terbelalak. "Apa? Ini mustahil! Kaisar tidak pernah memberi tahu siapa pun!"Lionel dengan sabar menceritakan bagaimana dia menggali kebenaran tersebut, membuka tabir rahasia keluarga yang selama ini tersembunyi. Vander, terkejut, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Lionel."Sekarang, bagaimana kita melanjutkan ini semua?"
Keheningan malam terpecah oleh suara gemuruh di sekitar villa yang terpencil. Tentara-tentara setia menjaga pos mereka dengan teliti, meraba setiap bayangan yang melintas di bawah sinar bulan. Namun, kehadiran yang tak diundang telah menyusup, mengubah ketenangan menjadi kekacauan.Tiba-tiba, suara keras membelah udara. "Ada penyusup!" teriak salah satu tentara yang berjaga, memecah kesunyian malam. Serentak, rekan-rekannya bersiap, senjata teracung, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Namun, di sisi lain bangunan villa, Jenderal Kaisar merasa jantungnya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tembok batu, menatap kegelapan dengan mata tajamnya. Pikirannya berputar, mencari cara terbaik untuk melindungi diri terlebih dahulu karena ada sebuah rencana yang akan dia lakukan untuk Jenderal Paul.Sementara itu, Damian merasakan getaran tegang melintas di udara. Bersama pasukannya, ia merapatkan barisan, menunggu tanda untuk bertindak. Mereka telah menunggu saat ini dengan sabar, d
Debi dan Nadi merunduk di balik semak-semak, mata mereka terfokus pada villa yang terletak di tengah hutan. Suara angin sepoi-sepoi berbisik di antara pepohonan, menciptakan atmosfer ketegangan yang mendalam."Tidak lama lagi, Nadi," bisik Debi, matanya tetap terjaga untuk melihat setiap perubahan di sekitar mereka.Nadi mengangguk, tangannya menggenggam erat panah di busurnya. "Kita harus siap. Jenderal Kaisar pasti tidak akan lagi Jenderal Kaisar akan tiba ke sini.”Tiba-tiba, ponsel Debi memecah keheningan. Dia menarik keluar perangkatnya dan melihat panggilan masuk dari Jenderal Kaisar. "Ini dia," gumamnya, menjawab panggilan dengan hati-hati."Debi," suara berat Jenderal Kaisar terdengar di seberang sana, "bagaimana situasinya?"Debi menatap layar ponselnya, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. "Situasi masih aman, Jenderal. Kami masih di luar villa. Jenderal Paul masih di dalam."Jenderal Kaisar menghela nafas, suaranya penuh dengan ketenangan. "Dia tidak akan bisa bersem
Jenderal Paul keluar dari ruang kerjanya dengan langkah mantap, diikuti oleh dua ajudannya yang selalu setia mendampinginya. Sambil menghubungi pengurus villa melalui ponselnya, dia tersenyum, "Saya akan ke sana, mohon persiapkan segalanya karena saya ingin bersantai di sana."Pengurus villa dengan sigap menjawab, "Baik, Tuan Jenderal. Kami akan menyiapkan semuanya segera."Saat Jenderal Paul dan ajudannya tiba di depan lobby, seorang petugas pengamanan membuka pintu mobil, memberi hormat sambil memberikan salam. Jenderal Paul, yang senantiasa rendah hati, menyapa kembali. Bersama dengan dua ajudannya, mereka naik ke dalam mobil yang telah disiapkan dengan rapi di depan pintu.Mobil bergerak lancar melalui gerbang menuju arah villa. Jenderal Paul melihat sekelilingnya dengan senyuman tenang. Pemandangan pegunungan yang hijau dan langit biru yang cerah memberikan kontras yang memukau.Jenderal Paul memutar kepala ke arah sopir, "Mengantar ke Villa, Pak."Supir mengangguk mengiyakan dan
Dinginnya udara malam menyambut kedatangan Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya di bandara negara Taruma. Mereka menyamar sebagai warga biasa, menyelinap masuk tanpa menimbulkan kecurigaan sekalipun. Langkah mereka seolah-olah tidak meninggalkan jejak, tetapi kenyataannya, perjalanan mereka penuh perhitungan dan ketenangan.Sesaat setelah melewati pintu kedatangan, suasana kembali normal. Para penumpang berhamburan menuju bagian keluar bandara dengan perasaan lega. Kaisar memandang sekeliling dengan tatapan tajam, memastikan bahwa mereka berhasil meloloskan diri tanpa terdeteksi.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terguncang saat seorang petugas keamanan memanggil mereka dari kejauhan. "Tunggu!" seru petugas tersebut sambil melambaikan tangan.Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya memandang satu sama lain dengan raut wajah tegang. Mereka bergerak menuju petugas dengan langkah hati-hati. Petugas tersebut tampak serius, sambil memegang sebuah jam tangan.Kaisar yan
Kaisar duduk di kursi belakang mobil mewahnya, tangan kanannya menekan erat-erat ponsel pintarnya sementara supir setia dan ajudan pribadinya mengemudi dengan hati-hati melalui jalanan yang ramai di ibu kota New Taraka. Kaisar berbicara dengan serius, "Yusa, saya dan tim akan segera tiba di negara Taruma. Pastikan semuanya siap dan awasi bandara serta jalanan menuju rumah rahasia. Laporkan segera jika ada kejanggalan."Yusa, seorang agen rahasia yang bertanggung jawab atas keamanan Kaisar, menjawab, "Baik, Jenderal Kaisar. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar dan aman. Semoga perjalanan Anda sampai di sini tanpa hambatan."Dengan tekad bulat, Kaisar menambahkan, "Saya tahu risikonya tinggi, tetapi ini adalah langkah yang harus kita ambil."Yusa mengangguk seraya menyampaikan doanya, "Kami akan berdoa untuk keselamatan Jenderal dan seluruh tim. Semoga misi ini berhasil tanpa ada korban jiwa."Setelah menutup teleponnya, Yusa segera memberitahu tim agennya yang sedang berkumpul
Dalam keheningan kediaman sewaannya di negara Taruma, Yusa merogoh kantongnya untuk mengambil sebuah alat komunikasi. Dengan gerakan cepat, dia menekan beberapa tombol dan menunggu sambungan.Jenderal Kaisar duduk di ruang komandonya yang megah. Ketika teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dengan penuh kehati-hatian."Halo," sapanya tegas, menandakan kesiapan untuk menerima laporan apa pun.Yusa, dengan napasnya yang cepat, memberikan laporan pada Jenderal Kaisar, "Jenderal, kami telah menemukan jejak Jenderal Paul. Kami memetakan tempat-tempat yang sering dia kunjungi."Jenderal Kaisar menahan nafasnya sejenak, matanya berbinar dalam sorot cahaya lampu ruangan yang redup. "Bagus. Bagaimana kondisinya?"Yusa menjawab dengan tegas, "Kami sudah siap untuk melanjutkan rencana berikutnya, Jenderal. Kami hanya menunggu arahan dari Anda."Jenderal Kaisar menarik napas lega, melihat kesempatan untuk mengakhiri ancaman yang disebabkan oleh Jenderal Paul."Segera kirimkan lokasi-lokas
Di ruang istana yang megah, Jenderal Kaisar duduk di seberang meja dari Elena, istrinya. Suasana ruangan itu dipenuhi ketegangan yang mendalam. Kaisar menatap Elena dengan ekspresi serius, dan Elena dapat merasakan ada sesuatu yang sangat penting yang ingin diungkapkan suaminya."Sayang," ucap Kaisar dengan suara yang dalam, "ada sesuatu yang perlu kusampaikan padamu."Elena mengangguk, matanya penuh dengan rasa penasaran dan kekhawatiran. "Apa yang terjadi, Kaisar?"Jenderal Kaisar mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Para peretas yang telah mengancam keamanan negara kita adalah agen mata-mata dari negara Taruma."Elena merasakan kejutan melintas di wajahnya. "Negara Taruma? Bagaimana bisa?"Kaisar menjelaskan dengan penuh ketegasan, "Kami telah melakukan penyelidikan, dan berdasarkan bukti yang kami temukan, kami berhasil menghabisi beberapa dari mereka. Bahkan, seorang dari mereka sudah kami tangkap."Elena merasa campur aduk antara kelegaan dan kecemasan. "Apakah ancaman
Ruang rawat inap rumah sakit militer itu terasa hening, hanya terdengar suara mesin-mesin alat medis yang terus berdenyut. Kaisar duduk di kursi di sebelah tempat tidur yang ditempati oleh Bara, salah satu agen rahasia dari pihak musuh yang berhasil mereka sandera. Damian berdiri di sampingnya sambil memperhatikan dengan serius.Dokter yang berkemeja putih memeriksa luka tembakan yang melukai Bara. Kaisar dan Damian menyimak setiap kata yang diucapkan dokter dengan ketegangan yang menggelayuti hati mereka."Dia harus istirahat dan pulih selama beberapa minggu. Luka tembaknya cukup serius, tapi kami melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kerusakan," ujar dokter dengan suara lembut.Kaisar menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Bara yang terbaring tak berdaya. "Lakukan apa pun yang diperlukan untuk kesembuhannya, dokter."Damian menarik napas panjang. "Jenderal, apakah Anda yakin kita harus meninggalkannya di sini? Bagaimana jika ada pihak lawan yang mencoba menyusup ke sini dan
Di dalam kamar hotel, Bara dan tim agennya sedang sibuk mengatur strategi mereka. Keheningan di kamar itu terputus ketika salah satu agen mendapat laporan penting."Apa yang terjadi di lobby?" tanya Bara dengan ekspresi serius.Salah satu agen menjawab dengan ketidakpastian, "Ada banyak pasukan tentara di sana, Bara. CCTV menunjukkan gerakan yang mencurigakan."Bara segera memeriksa layar laptop, matanya meneliti setiap sudut ruang hotel yang ditampilkan oleh kamera pengawas. Benar saja, tentara-tentara bersenjata berjaga di sekitar lobby."Sepertinya kita telah diintai," kata Bara dengan suara tegas. "Pihak musuh mungkin sudah mengetahui keberadaan kita di sini."Ketegangan menyelimuti kamar, dan Bara segera memberikan perintah, "Bersiaplah untuk segala kemungkinan. Keluarkan senjata dan siapkan diri untuk perlawanan. Jika mereka benar-benar menyerang, kita harus siap menghadapinya."Semua anggota tim segera bergerak dengan sigap. Senjata-senjata ditarik, dan wajah-wajah mereka mence