Setelah mengurus administrasi Tejo segera menuju ke dalam mobil miliknya. Kariawan yang membersamainya sudah menunggu di dalam mobil bersama Bambang yang masih tak sadarkan diri.
"Bos! Bambang badannya panas sekali loh!" ucap kuli yang sedari tadi memangku wajah Bambang dengan panik. Berkali-kali ia menempelkan telapak tangannya pada kening hitam Bambang.
"Biarkan saja! Tadi aku sudah menelpon kekuarganya. Sebentar lagi dia juga akan di jemput oleh keluarganya!" sahut Tejo dengan nada santai lalu melajukan kemudi.
Karyawan itu mengangguk, dia tidak habis pikir jika nasib Bambang akan seperti ini. Masih diingatnya semalam Bambang yang lari terbirit-birit membangunkannya dengan wajahnya terlihat begitu ketakutan.
"Kus! Kus! Bangun Kus!" ucapnya malam itu, tangannya mengucang hebat tubuh Kusumo yang masih tertidur pulas. Hingga membuat lelaki hampir setengah abad itu mengerjap terbangun.
"Itu Bos, itu!" Lelaki setengah abad itu menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu rumah dengan wajah takut.Tejo yang masih geram dengan pertanyaan Damar segera berjalan keluar dari pintu rumah. Kusumo masih terus mengekori Tejo yang memberinya aba-aba untuk menuju depan pintu gerbang rumah."Kamu yang namanya Tejo?" ucap lelaki bertubuh kerdil yang menjatuhkan tatapan tajam kepada Tejo."Iya, Kenapa?" sahut Tejo menahan amarahnya. Giginya terus bergemelutuk saling mengadu. Terlihat dari rahang lelaki berkumis tebal itu yang kian mengeras.Bough!Sebuah tinjauan mengayun cepat mengenai pipi Tejo, hingga lelaki itu jatuh tersungkur di lantai."Kurang ajar!" Tejo mengusap lembut sudut bibirnya yang terluka. Netranya melirik tajam ke arah pria kerdil yang hendak menjatuhkan bogem ke dua."Jangan Pak, jangan!" cegah Kusumo. Lelaki itu menarik pergelangan tangan pria
Prapto masih menumpu wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Indah yang sedang menyiapkan makanan untuknya. Wanita berkulit hitam manis itu berjalan mondar mandir di hadapannya."Mas!" Teriak Indah membuat Prapto tergeragap. Pria dengan wajah ditekuk itu terus mengerucutkan bibirnya."Ada apa sih Mas kok manyun kaya gitu?" tanya wanita yang rambutnya masih basah sisa permainan semalam. Indah masih terus mengoyangkan spatulanya di atas wajan, sesekali melirik Prapto."Dek, semalem adek hadis ngapain?" tanya Proto menyelidik. Pria itu seolah tidak percaya dengan diri Indah yang kini berada di hadapannya. Indah yang semalam itu lebih menggodanya. Dadanya yang besar serta kulitnya yang putih bagaikan pualam. Membuat Prapto mengumulinya hingga adzan subuh berkumandang."Habis apa gimana sih, Mas?" sahut Indah menghentikan gerakannya. Kemudian menatap serius ke arah Prapt
Huek ... Huek ... Huek ...Indah berkali-kali keluar masuk ke kamar mandi. Sedari pagi perutnya terasa mual sekali. Hingga siang hampir menjelang, perutnya sama sekali tidak dapat diisi oleh makanan."Dek, kita berobat yuk!" ucap Prapto yang khawatir melihat keadaan istrinya dengan wajah pucat pasi."Ngak usah Mas, paling aku cuma masuk angin," ucap wanita berkulit sawo matang itu membalikan tubuhnya menunggungi Prapto yang sedang menyadarkan tubuhnya pada dipan ranjang."Adek yakin?"Prapto mengeryitkan dahi."He'um," sahut Indah lemah."Yo wes, Mas mau lihat rumah kita sebentar ya. Sudah lama rumah itu nggak Mas tengokin," pamit Prapto megusap lembut pundak Indah yang tak bergeming.____"Masa sih? Kamu dapat kabar darimana kalau si Tejo itu ngambil pesugihan," tanya seorang kuli yang sedang sibuk melepar kelapa ke atas truk kepada temann
Pria berkumis tebal itu terlih gusar. Aktivitas yang biasanya ramai di gudangnya kini terlihat sepi. Banyak kariawan Tejo yang memutuskan berhenti bekerja setelah menyebar rumor kematian Bambang sebagai tumbal pesugihannya.Namun, bukan itu yang membuat pikiran pria yang masih duduk di kursi putar yang berada di gudang itu terlihat terus berfikir Keras. Terlebih karena tumbal tertolaknya itu berimbas pada usahanya yang hampir bangkrut.Dua bulan sudah berlalu. Tidak ada sedikitpun pun laba yang menguntungkan yang Tejo dapatkan. Yang ada setiap kali ia mengirim kelapa atau memasok kelapa hasilnya selalu bikin pusing kepala. Mulai dari kwalitas kelapanya yang kurang bagus, ukuran kelapanya yang terlalu kecil atau bahkan banyak kelapa yang cepat busuk karena kelamaan. Kurangnya kwalitas dan kwantitas yang Tejo berikan kepada pelanggan membuat para tengkulaknya berlari mencari pemasok kelapa dengan produk yang lebih baik lagi."B-bos!" ucap pria itu me
Wajah wanita yang sedang berdiri di ambang pintu itu terlihat sumringah. Manatap para pekerja yang tengah sibuk menaikan kelapa di atas truk truk yang berjajar di gudang. Tempat yang kini telah dirubah menjadi ukuran jumbo dan luas. Jatuh bangun usaha Lastri kali ini pasti tetap menghasilkan uang dan uang. Seiring dengan kandungan Indah yang mulai membesar."Bu, kok senyum-senyum sendiri, sih?" tanya Indah yang meletakkan secangkir teh hangat di atas meja yang berada di teras rumah."Ibu lagi seneng, berkah rejeki jabang bayimu usaha ibu makin maju," seloroh wanita yang mengenakan daster dengan motif bunga-bunga penuh semangat."Loh, kok jabang bayi Indah sih, Bu?""Ya iyalah, anak kan membawa rejeki," sahut Lastri yang kini menjatuhkan bokongnya di kursi teras rumah dengan asal."Dek, mas mau berangkat dulu ya!" suara Prapto yang baru keluar dari dalam rumah."Hati-hati y
Kabar kejayaan Lastri akhirinya sampai juga di telinga Tejo. Bahkan berita kehamilan Indah pun sudah Tejo katahui, itulah penyebab pundi pundi kekayaan Lastri yang semakin menggunung.Hati Tejo kian memanas ketika tau kini Lastri mampu mengibarkan sayapnya ke kancah internasional. Sementara usaha kelapanya sendiri kian hari semakin terpuruk. Bahkan hampir bangkrut, hanya gara-gara ia salah memberikan tumbal.Tejo masih terus memutar otaknya, Mencari cara untuk mengembalikan kembali kejayaannya. Namun, siapa lagi yang akan menjadi tumbal pesugihannya selanjutnya. Karena semua orang disekelilingnya sudah menjauhinya.Pria yang sedang duduk di sofa ruang televisi itu terus memperhatikan gerak gerik Damar, putra semata wayangnya. Pemuda tampan itu dengan telaten menyuapi Wini yang sedang duduk di kursi roda. Bahkan pemuda itu terlihat tertawa renyah menghibur Wini yang berusaha keras membuat lekukan di sudut bibirnya yang suda
Tejo masih memperhatikan Damar yang sedang sibuk menyuapi Wini di meja makan. Pemuda berkulit putih itu terlihat begitu telaten mengurus ibunya yang telah menderita stroke beberapa tahun yang lalu."A' Bu!" perintah Damar mendekatkan sendok berisi nasi ke dekat mulut Wini.Wanita yang sudah tak mampu berbicara itu membuka mulutnya perlahan. Kemudian mengunyah makanan yang telah Damar masukan ke dalam mulutnya dengan sangat pelan sekali."Nah, ibu makan yang banyak ya biar cepat sembuh!" ucap Damar melekatkan piring yang telah kosong itu ke atas meja makan."Wah, lagi pada makan ini!" ucap Tejo yang baru datang dan menarik kursi tepat di hadapan Damar.Wajah' Damar berubah masam, netranya berpaling dari pria yang kini duduk tepat di hadapannya dan menunjukan sikap hangat kepadanya."Lihat nih, bapak belikan kamu daging sapi Pagang kesukaanmu!" ucap Tejo meletakan sebu
'Aku harus keluar dari dalam rumah ini. Karena jika tidak, lelaki bangs*t itu pasti akan menjadikan aku tumbal selanjutan.'Wini memperhatikan Tejo yang sedang sibuk menghitung uang yang sangat banyak sekali. Setelah kematian Damar, pundi-pundi kekayaan Tejo semakin bertambah. Bagaimana tidak, tumbal permintaan Nyai Ratu dapat menjadikannya kaya tujuh turunan."Akhirnya, aku jadi kaya raya!" Tejo menghujani dirinya dengan lembaran kertas merah yang dihamburkan ke udara."Aku kaya, Win!" seru Tejo kembali menghambur-hamburkan uang yang berada di atas ranjang.Setelah puas, Tejo mengumpulkan kembali lembaran merah itu dan menyusunnya. Sebagian ia masukan ke dalam lemari brangkas yang berada di dalam kamarnya dan sebagai kecil ia masukkan ke dalam dompetnya.Wajah Tejo nampak begitu bahagia, ia berjalan menghampiri Wini yang duduk di atas kursi roda di samping pintu kamar yang sedari tadi melihat tingkah konyolnya."Win, rumah ini terasa sepi s
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n