Netral Sekar bulat penuh pada lelaki yang berdiri di depan rumah kosong yang ada di depan rumah Pak Parlin.
"Apa? Siapa lelaki ini, kenapa dia memanggil nama pemilik tubuh ini!" batin Sekar. Lelaki bertubuh sedang yang berdiri di seberang jalan itu menatap lekat ke arah Sekar.
Bergegas Sekar berlari ke arah gunung Semeru. Membiarkan lelaki yang berdiri di depan rumah Lastri itu terus memanggil-manggil nama Indah.
"Indah!" teriak lelakinya mengejar Sekar.
Sesekali Sekar menoleh ke belakang. Terlihat lelaki asing itupun terus mengejarnya. Sekar semakin mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam hutan. Sekar terus berlari tanpa mempedulikan apapun, hingga gadis itu merasa aman dan bayangan' lelaki yang memanggil nama Indah itu tidak nampak lagi, Sekar baru menghentikan langkah kakinya.
Hos! Hos! Hos!
Jantung Sekar berdetak sangat kencang, gadis itu terhuyun dudu
Sudah beberapa kali Zaki dan Dimas berusaha untuk keluar dari rumah pondok itu. Tetapi kedua lelaki itu tetap tidak bisa melakukannya. Pondok yang terbuat dari papan kayu itu nampak sangat kokoh sekali. Bahkan untuk membuka pintunya saja, Zaki sampai kehabisan tenaga."Sial!" teriak Zaki yang sudah kehabisan akal untuk keluar dari dalam pondok itu. Lelaki itu terduduk lesu di atas tumpukan jerami."Bagaimana Zak? Apakah tetap tidak bisa?" seloroh Dimas yang duduk di tumpukan jemari. Tanpa menggunakan kacamata, lelaki itu hampir sama sekali tidak dapat melihat apapun. Hanya bayangan yang terlihat oleh netranya."Tidak, sulit Dim!" lirih Zaki terduduk lesu."Bagaimana kalau kita jebol saja dinding papan ini!" usul Dimas."Di jebol!" Zaki menatap pada Dimas, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Bagaimana cara menjebolnya, Dimas di sini tidak ada apapun kecuali j
Dimas melonjak, apalagi Zaki yang melihat seseorang yang tengah meringkuk di tengah-tengah rumput tinggi yang ada di sekitar Danau Kumbolo."I-itu apa?" Kerongkongan Zaki tercekat, lelaki itu kehabisan kata-kata untuk menggambarkan apa yang ia lihat saat ini. Beberapa langkah, Zaki memundurkan kakinya, terkejut.Wajah Dimas menegang, dia sama sekali tidak bisa melihat apapun, bahkan gelap malam tanpa bulan kali ini membuatnya hampir seperti orang buta."Ada apa, Zak? Ada apa?" Dimas meraba, karena pegangan tangannya terlepas dari tubuh Zaki.Zaki gemetaran, keringat dingin membasahi tubuh lelaki dengan wajah ketakutan itu."Zak, cepat katakan, kamu jangan diam seperti itu!" sentak Dimas, kesal. Ia hanya mendengar deru nafas Zaki yang memburu tidak jauh dari tempatnya berada."Itu, Dim, itu!" Lidah yang sempat kelu itu akhirnya dapat berkata-kata kembali. "Itu
"Ada apa, Mbak?" Dimas menatap pada Sekar yang nampak ketakutan. Meskipun hanya bayangan yang nampak tidak jelas."Kita jangan di sini! Kampung ini berbahaya," ucap Sekar memundurkan beberapa langkah kakinya. Guratan pada wajahnya menapakan sebuah ketakuatan."Ada apa, Sekar? Ada apa dengan kampung ini?" Zaki menjatuhkan tatapan heran kepada sikap yang Sekar tunjukkan.Zekar seperti orang yang sedang ketakutan, wanita itu memutar tubuhnya kemudian berlari masuk ke dalam hutan."Mbak, tunggu!" teriak Dimas."Sekar!" Zaki menaikkan nada suaranya kepada Sekar yang sudah menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Wanita itu sangat cepat sekali berlari.Zaki mendengus berat, menatap pada kepergian Sekar. Kemudian mengalihkan tatapannya kepada Dimas."Ayo, kita kejar Mbak Sekar!" ajak Dimas menyadari Zaki yang hanya diam mematung melihat ke
Semburat senyum yang tersungging dari kedua sudut bibir lelaki yang tengah menatap kepada Pak Parlin."Lama tidak berjumpa dengan bapak?" tutur lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Pak Parlin yang nampak berpikir, seperti sedang mengingat-ingat."Iya, apa kabar kamu, Prapto!" Pak Parlin membalas uluran tangan lelaki yang tidak lain adalah Prapto."Sejak kapan kamu datang ke kampung ini?" tanya Pak Parlin pada Prapto. Senyuman ramah tercermin dari kedua sudut bibir lelaki yang tengah teringat dengan lelaki yang pernah menjadi tetangganya."Dua hari yang lalu," balas Prapto menyunggingkan senyuman. "Apakah Bapak masih tinggal di rumah ini?" Prapto mengedarkan pandangannya ke rumah berlantai dua milik Pak Parlin."Iya, saya masih tinggal di rumah ini," jawab Pak Parlin."Lalu di mana Bu Parlin?" tanya Prapto melongok ke sekeliling rumah Pak Parlin.
Lelaki berkumis tebal itu mengurung Indah di dalam gudang yang berada di belakang rumahnya. Sampai Indah mau mengatakan pesugihan apa yang telah dianut ibunya hingga membuat Lastri menjadi kaya raya di kampung Ranu Pani."Lihatlah, Bu, Lastri itu memang mencurigakan. Wanita itu terlalu banyak menyimpan rahasia, bahkan sampai Indah anaknya hilang saja, dia tidak mencari dan mengatakan jika anaknya masih baik-baik saja di dalam rumah itu," ucapan Pak Parlin yang baru saja pulang mengantarkan barang barang pesanan Lastri.Wanita yang duduk pada bangku toko itu hanya diam, tidak berani melawan ucapan suaminya."Pokoknya bapak akan tetap manggurung Indah, sampai dia mengatakan Di mana ibunya mengambil pesugihan itu," cetus Pak Parlin menatap lurus ke dapan, rumah Lastri yang berhadapan dengan warungnya.Ibu Parlin menghela nafas panjang, kini wanita itu mengalihkan tatapannya kepada suaminya. "Pak, Indah
"Aduh Sekar, apa sih yang kamu lihat sampai kamu tidak mau masuk ke kampung itu," gerutu Dimas dengan nafas yang hampir putus karena mengejar Sekar. "Coba saja tadi kamu mau, pasti nasib kita tidak terlunta-lunta lagi seperti ini!" imbuh Dimas menghempaskan tubuhnya kasar bersandar pada batang pohon besar karena kelelahan."Maafkan saya!" Sekar meremas ujung baju yang ia kenakan dengan tangan kanannya.Sementara Zaki terlihat sibuk membersihkannya luka bekas cakaran harimau yang berada di bahu Sekar. Beberapa kali, wajah' wanita itu meringis kesakitan."Memangnya apa yang kamu lihat, Sekar?" tanya Zaki."Aku tidak mungkin mengatakan kepada Zaki jika aku melihat lelaki yang mengenali tubuh wanita ini," batin Sekar."Tidak, aku hanya merasa kampung itu aneh saja," dusta Sekar melirik pada Zaki yang sudah selesai mengobati luka pada bahunya dengan ramuan tradisional yang ia am
Suara ramai penduduk yang sedang beraktivitas semakin membuat semangat Zaki, Sekar dan Dimas mempercepat langkah kaki mereka menuruni ladang para penduduk yang terletak di lereng Semeru. Para petani nampak sibuk mengolah ladang mereka yang berada di lereng Semeru."Ayo cepat!" seru Zaki memberikan aba-aba kepada Dimas dan Sekar yang mengekorinya.Dimas yang tidak dapat melihat dalam jarak jauh hanya mampu berpegang pada tangan sakit dan mengikuti langkah lelaki itu. Sementara Sekar, wanita itu berjalan di belakang tubuh Dimas."Hey ... Tolong kamu!" teriak Zaki melambaikan tangannya kepada para petani yang sedang berada di ladang.Beberapa para petani menoleh ke arah kedatangan Zaki, Dimas dan Sekar."Tolong, tolong kami!" teriak Dimas iku melambaikan tangannya, meskipun ia tidak dapat melihat di mana para petani itu berada, lelaki itu nampak sangat bersemangat.
"Lain kali adek tidak boleh banyak kecapean!" tutur lelaki yang mengenakan peci berwarna hitam pada wanita yang berbaring di atas ranjang pasien."Iya, iya, Mas!" tutur wanita bernetra indah itu pada Ustaz Zul."Aku tidak mau janin yang ada di dalam rahim kamu kenapa-kenapa!" Ustadz Zul membelai lembut ujung kerudung yang Anisa kenakan dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita yang sudah Ustaz Zul nikahi hampir satu tahun belakangan ini.Anisa menatap lekat pada suaminya, semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir wanita itu. Nampak Ustaz Zul sangat menyayangi Anisa.Dreg, Dreg! Dreg!Ustaz Zul meraih ponsel dari dalam saku celananya. Sesaat menatap pada layar ponsel yang berkedip."Siapa?" tanya Anisa."Temanku!" jawab Ustaz Zul sekilas menatap pada istrinya kemudian menekan tombol hijau pada ponsel yang berdering."Halo, Mas!" sapa Ustadz Zul pada seseorang yang berada di balik telepon.Sejenak Ustaz Zul terdia
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n