Melodi terkesiap, darahnya seakan berhenti mengalir dalam setiap aliran nadi begitu melihat wajah siapa yang berdiri di depannya. "Cleon."Senyuman tersungging di bibir. "Hai, Melodi Celena!"Kegugupan langsung melingkupi Melodi. "Hai.""Kupikir penglihatanku salah," Cleon tersenyum manis, senyum yang jarang sekali diperlihatkan pada orang lain. "Ternyata, ini memang kamu!"Melodi berusaha tersenyum agar tidak terlihat gugup. "I ... iya.""Dengan siapa kamu ke sini?" tanya Cleon to the point.Melodi menarik tangan Lastri agar berdiri di sampingnya. "Temanku."Cleon melihat Lastri, keningnya mengernyit seperti sedang mengingat. "Ini ...""Kita pernah bertemu di restoran Chinese food." Lastri membantu ingatan Cleon."O, iya, iya, betul! Aku ingat sekarang." Cleon tersenyum. "Kita pernah bertemu di restoran Chinese food."Gloria datang. "Bos, ada klien kita yang ingin bertemu.""Siapa?" "Tuan Abraham, perusahaannya cukup berpengaruh. Saranku, Bos menyapanya walau hanya sebentar," bisik
Melodi mengelus dadanya. "Apa tadi ada yang melihatku?!"Cleon mengangkat kedua bahunya. "I don't know!"Melodi melihat lagi gambar yang terpasang di dinding. "Sialan! Kenapa mataku salah melihat?!""What?!"Melodi hanya sekilas melihat Cleon, berlalu pergi ke arah toilet wanita.Acara anniversary semakin meriah. Beberapa tamu sudah melantai ditempat yang telah khusus disediakan, berdansa diiringi alunan musik biola yang begitu syahdu."Kamu mau berdansa denganku?" tanya David pada Gloria."Dengan senang hati." Gloria menerima uluran tangan David.Lastri bersama kedua orangtuanya hanya duduk sambil menikmati beberapa kue-kue, pandangannya menyapu ke sekeliling mencari Melodi yang tidak muncul-muncul. "Kenapa Melodi lama sekali, bilangnya tadi mau ke mana?" tanya Mama."Ke toilet," jawab Lastri. "Tapi kenapa lama sekali?! Apa perlu aku susul?!""Tunggu sebentar lagi. Mungkin antri," jawab Mama.Sementara itu, Melodi yang berada di dalam toilet sedang kebingungan, berusaha membuka pint
Mobil Rolls Royce keluaran terbaru telah menunggu Cleon dengan sopir serta satu bodyguard nya sigap membuka pintu mobil."Kita ke mansion!" Cleon memberi perintah begitu duduk di dalam mobil sambil mendekap Melodi.Tanpa banyak bicara, sopir membawa mobil meluncur pergi meninggalkan gedung tempat berlangsungnya acara anniversary VP Corp. Cleon melihat wajah Melodi yang berada dalam dekapan dadanya. Ditepuknya perlahan pipi berlesung pipi jika sedang tersenyum berharap segera tersadar. "Melodi, Melodi!""Bos, coba pakai ini." Bodyguardnya memberikan botol minyak kayu putih. Satu detik tidak ada reaksi, dua detik, tiga detik, terlihat Melodi menggerakkan jari tangannya kemudian bergerak secara perlahan."Melodi! Melodi!" Cleon tidak hentinya memanggil nama gadis yang baru saja tersadar.Mata yang dihiasi bulu hitam lentik, perlahan mengerjap untuk menyesuaikan cahaya masuk ke retina. Sesaat tertegun, begitu kesadarannya terkumpul sempurna, iris matanya melihat wajah blasteran sedang m
"Iya, selain disebabkan oleh stres. Vertigo juga bisa kambuh karena gerakan kepala yang berlebihan, seperti memutar kepala," lanjut Dokter Frans. Kening Cleon terlihat mengernyit, menatap tajam wajah pucat yang sedang terbaring. Frans lalu teringat Cleon sedang mengadakan acara anniversary perusahaannya. "Loe ada di sini, lalu siapa yang ada di pesta VP Corp itu?!""Si David," jawab Cleon singkat.Tidak lama datang Mang Ujang membawa bungkusan plastik kecil. "Tuan, ini obatnya."Cleon segera bangun dari duduknya. "Buatkan bubur untuk Melodi!""Oh, jadi namanya Melodi?" tanya Frans. "Namanya cantik, secantik wajahnya dan juga muda."Cleon memutar bola matanya. "Dasar Dokter mata keranjang. Tidak bisa melihat cewek bening.""Wajarlah, gue tertarik lihat cewek bening. Kalau gue tertarik lihat Mang Ujang, baru itu tidak wajar!" Frans bangun dari duduknya melihat jam tangannya. "Gue cabut, ini sudah tengah malam.""Terus pasien loe ini bagaimana?" tanya Cleon bingung melihat Melodi."Bag
Tidak kalah dengan Cleon, tatapan Melodi pun bagai sinar laser menembus jantung, berkilat dan bercahaya.Ruas jari Cleon memucat di antara kepalan tangannya. "Andai kamu bukan seorang wanita, aku pastikan wajahmu sudah babak belur," ucap Cleon pelan, tapi begitu dalam penuh penekanan.Melodi maju satu langkah, tidak ada garis ketakutan dalam raut wajahnya. "Jangan melihat aku wanita atau laki-laki. Jika kamu memang mau menghajarku ...." Melodi begitu tajam menatap iris mata Cleon. "Hajar saja diriku! Sedikitpun, aku tidak takut padamu!"Terdengar gemeretak gigi Cleon menahan marah disertai rahang yang terlihat mengeras serta kepalan tangan yang siap untuk menghantam. Melihat situasi yang sudah tidak kondusif, Mang Ujang dengan cepat segera menenangkan Cleon. "Tuan, sudah Tuan! Kenapa jadi berantem begini?! Tidak baik seperti ini."Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Mang Ujang, Bi Darmi juga segera menenangkan Melodi. "Non, sudah Non! Aduh, kenapa jadi panjang begini?!"Satu
Pagi yang cerah, secerah hatinya Lastri yang bergegas pergi ke rumah Melodi. Buku serta tas gendong yang ada di tangannya begitu sangat merepotkan, tapi tidak menghalangi tubuhnya untuk terus bergerak. Langkah kakinya, setapak demi setapak menapaki trotoar yang sebagian sisinya sudah banyak berlubang.Pintu pagar yang catnya sudah sebagian terkelupas sehingga memperlihatkan besi yang sudah berkarat, perlahan Lastri buka. "Melodi! Melodi Celena!"Tidak berapa lama, pintu rumah terbuka. Melodi ke luar sudah rapi. "Tumben loe ke sini?!""Memangnya, gue nggak boleh ke sini?!" jawab Lastri."Bukan nggak boleh, tapi aneh saja!" Melodi kembali masuk ke dalam rumahnya diikuti Lastri dari belakang."Neng Lastri," sapa Bu Dewi dari dalam rumah membawa beberapa kantung plastik putih dengan ukuran besar."Selamat pagi, Bu?" sapa Lastri sopan, langsung mengangguk pelan sebagai tanda salam. "Itu apa Bu?"Ibu menaruh kantung plastik di atas meja. "Kue kering pesanan toko yang di seberang jalan. Nant
Rio melihat Melodi diam terpaku. "Woi! Kok jadi bengong!""Jangan kebanyakan bengong! Nanti setan dengan senang hati masuk ke tubuh loe!" Lastri menepuk tangan Melodi."Nggak ada yang bengong!" jawab Melodi pura-pura.Rio melihat jam tangannya. "Sebentar lagi jam masuk. Gue cabut dulu ya!"Lastri mengernyitkan alisnya. "Kok cabut? Loe mau kabur?!""Yoi! Bye, see u again!" Rio segera pergi dengan terburu-buru.Lastri geleng-geleng kepala melihat punggung Rio semakin menjauh. "Dasar orang aneh! Sudah di dalam kelas, malah kabur!"Tidak lama datang guru pengajar, suasana yang riuh sekarang berganti menjadi hening. Semua murid mengikuti mata pelajaran yang sedang diterangkan guru mereka di depan.Waktu terus berjalan, satu per satu pelajaran telah terlewati. Jam pelajaran di hari itupun selesailah sudah. Semua murid bersuka cita menyambut suara bel yang meraung-raung menandakan jam pulang."Melodi," panggil Lastri sambil memasukkan semua bukunya ke dalam tas."Loe mau numpang pulang lagi?
Lastri dengan cepat segera turun dari atas sepeda motor. Napasnya hampir tercekik saking kagetnya dengan apa yang barusan terjadi. "Ya Tuhan. Ampuni dosaku," ucap Lastri di antara napasnya yang tersengal.Tidak jauh berbeda dengan Lastri, Melodi juga merasakan hal yang sama. Jantungnya berdetak sangat cepat disertai tangan yang gemetar luar biasa. "Ya Tuhan. Apa yang barusan terjadi?!"Lastri membuka helmnya, keringat langsung memenuhi seluruh keningnya. "Loe gila atau apa?! Bawa motor hampir membuat nyawa kita melayang! Gue masih pengen hidup!"Melodi turun dari sepeda motornya. "Gue juga kaget! Loe pikir gue pengen mati?" Melodi membuka helmnya. "Gila! Mobil siapa tadi hampir menabrak kita?!"Lastri langsung melihat sekelilingnya, tidak nampak ada orang, hanya terlihat mobil Fortuner hitam terparkir tidak jauh dari mereka. "Untung sepi!"Pintu mobil Fortuner terbuka, ke luar seseorang yang wajahnya sudah tidak asing lagi, langsung mendatangi Melodi dan Lastri. "Kalian tidak apa-apa?
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"