"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.
Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali."Deal, kan?" ujarnya.Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan."Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.Yara mendengus. Ingin tak menyentuh file tersebut tapi kata hati mendorongnya melakukan hal di luar perintah otak. Dia membaca pelan.Tertulis jelas di sana, semua yang Andaru beri dinyatakan sebagai hadiah pernikahan untuknya tanpa perjanjian apapun. Binar mata Yara bersinar, bibir pun mengulas senyum samar, cita-citanya bakal satu per satu terwujud."Liat duit, langsung ijo!" sindir Andaru, mendecih melihat ekspresi sang sekretaris. "Oke, kan?!" tegasnya lagi.Yara menutup file tadi, lalu duduk tegak memberanikan diri menatap sang bos. "Nggak sabar amat." Seringai manis dia berikan untuk pria di hadapan.Andaru berdecak, dia terlalu buru-buru. "Ck, Ya kalau mau, andaipun enggak juga bukan aku yang rugi!" tegasnya kali ini, ikut menegakkan tubuhnya.Yara menghela napas dan berniat bangkit. "Sebegitu ingin Anda menikahiku, ada apa dibalik semua ini?" selidik Yara memicingkan kedua mata bulatnya.Andaru tak menjawab, akan jauh lebih aman bagi Yara jika tak mengetahui tujuan dia menikahinya. 'Karena kamu tangguh!'"Hoy! kamu melepaskan kesempatan ini begitu saja?" tanya Andaru menatap punggung Yara ketika menjauh.Gadis ayu itu berhenti sebelum menarik tuas pintu. Dia menoleh ke arah Andaru yang juga tak melepas pandang padanya. "Aku butuh wali nasab, Pak," ucap Yara lemah tidak sepercaya diri tadi. Mendadak hatinya diliputi kesedihan.Tiba-tiba menikah, jauh dari keluarga, bahkan sekedar mengabarkan pun tak mampu. Gadis itu menunduk, netranya mulai mengembun, tepat saat pintu ruangan Andaru menutup.**"Loh, Mbak Yara masih di sini? saya kira nggak jadi lembur," tegur satpam, saat melihat Yara baru keluar dari lift khusus pimpinan.Yara berhenti dan menoleh ke arah kanan. "Jadi, kok." Dia curiga, kepalanya celingukan. "Kenapa memangnya, Pak?" tanyanya lagi.Telunjuk pria sepuh itu mengarah ke luar lobby. "Tadi ada yang nyari, nunjukin foto mirip Mbak Yara." Dia melongok ke arah depan lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Kayaknya masih di sana," imbuhnya.Yara terjengit. "Ter-us?" gagapnya seraya menggigit bibir bawah, jemari pun reflek memilin ujung pashmina karena gugup."Saya bilang, balik lagi aja besok pagi atau ditelepon minta ketemu," balas sang penjaga, dengan wajah tak bersalah.Yara menepuk jidat. "Mampus!" desisnya sambil menengadah. Dia lalu menghentakkan kakinya ke lantai seraya berbalik badan menghadap lift.Ingin marah tapi tidak tega melihat wajah tanpa dosa pak satpam. Lelaki ini tak tahu apapun."Saya salah, ya?" sambung satpam merasa ada yang aneh dengan respon gadis muda di hadapannya.Yara buru-buru memutar tubuh. Dia berdehem, menggeleng tapi kemudian mengangguk sambil cengengesan seperti biasa.Saat akan melangkah, sebuah suara dari arah belakang mengagetkannya. Lagi-lagi Yara membeku persis adegan kejadian lalu."Bada duhur, private room UnyilVista. Jangan telat!"Pria yang masih mengenakan setelan kerja itu melenggang melewatinya begitu saja, dengan tangan kiri yang dia masukkan ke dalam saku celana.Tiada pilihan, Yara menghempas napas kasar ke udara seakan melepas guratan nasib, kala menyusuri koridor menuju Musala.Malam terasa panjang dilalui. Dia tidak dapat tidur dengan baik hingga suara azan subuh dari ponselnya menyadarkan Yara yang masih mengantuk.Dia melangkah gontai menuju toilet, lalu menyemangati diri sendiri. "Bad day but keep going, Yara!" kepalan tangannya terangkat meski sedetik kemudian loyo lagi.Seakan tak terjadi percakapan apapun di antara mereka, keduanya bersikap biasa saja. Bahkan, Yara hampir tidak melihat sosok pimpinannya itu duduk di ruangan pagi ini.Menjelang duhur, debaran jantung mulai abnormal. Yara bolak balik toilet hingga membuat Arin terheran."Kenapa, Ra? sakit?" tanyanya saat melihat Yara kembali ke kubikel dan berkemas."Eh, nggak apa, Mbak. Aku izin keluar bentar, ya," ucap Yara tersenyum, sembari merapikan penampilannya. "Oh iya, tugasku sudah selesai, Mbak." Lalu menunjuk dengan ibu jari ke arah tumpukan file di meja Arin."Ehm. Hati-hati!" pesannya tepat saat gadis itu melambaikan tangan.Entah ini tindakan bodoh atau bukan, yang jelas saat Yara menyentuh basement, Dewi sudah menunggunya. Pun, ketika dia masuk ke gedung itu, Yara langsung digelandang menuju venue tanpa diberi kesempatan bertanya apapun."Sah!" Suara para saksi terdengar.Yara kini duduk seorang diri di dalam ruangan berdekorasi backdrop mawar putih dan babybreath. Buket bunga serupa pun telah dia genggam di atas pangkuan.Gamis putih dipadu tudung berenda bertengger cantik di atas kepalanya. Sapuan make up flawles oleh MuA kian menyempurnakan penampilan Yara Falmira siang itu.Sesaat dia mendengar nama aslinya di sebut lengkap dengan nasab sang ayah. Entah siapa walinya, Yara tidak tahu. Hati terlalu sibuk merapal doa agar pernikahan ini sah dimata hukum dan agama."A-ba, mama!" lirih Yara menunduk, meneteskan air matanya.Sekat ruangan terbuka, Andaru masuk sambil membawa dokumen legalitas yang harus Yara tanda tangani. Pria dewasa itu mengenakan setelan bagai dirinya, jubah putih di padu jas hitam serta kopiah.Sungguh tampan nan gagah. Yara terpesona sampai hampir lupa mengedip. "I-ini sah secara agama, kan?" tanya Yara gugup, sekilas melirik Andaru lalu menunduk menyembunyikan rona malu.Tangannya gemetar saat akan membubuhkan tanda tangan di atas kertas.Karena tak ada jawaban, Yara memastikan lagi. "P-pak!" Dia mendongakkan kepala pada sosok yang berdiri disampingnya."He-em! lekas Yara, ditunggu petugas," desak Andaru, menunjuk bagian kolom yang harus segera terisi.Petugas catatan sipil ikut masuk dengan dua orang pria lainnya yang Yara tak ketahui. Mereka meminta Andaru membacakan doa kebaikan setelah akad, menyerahkan mahar juga sighat untuk Yara."Alhamdulillah!" seru mereka serempak.Sapaan seseorang menjadi kejutan awal bagi Yara Falmira. "Cantiknya." Senyum sumringah pria sepuh untuk sang cucu menantu.Yara melihat ke arah suara. Dahinya mengernyit ketika berusaha mengingat beliau. "Anda?" tebaknya dengan menunjuk jempol ke arah Aryan Garvi. "Tuan Musala, kan?" ujar Yara tersenyum malu-malu.Tawa Aryan mengudara, panggilan Yara untuknya terdengar konyol. "Kamu lucu juga, Nduk!""Kakek Aryan, aku manggil beliau begitu," kata Andaru mengenalkan mereka. "Kek, lunas," imbuhnya melirik ke arah Yara."Eh, Kakek?" Yara menoleh bergantian ke arah Andaru dan Aryan. "Beliau pendiri GC?" tanya Yara lagi. Dia buru-buru menjulurkan tangan untuk salim saat Andaru mengangguki pertanyaannya.'Benarkah? tapi, terlihat berbeda dengan foto di company profil.'Aryan Garvi mengangguk-angguk senang disertai senyum lebar sehingga gigi emasnya terlihat. Dia lalu menerima uluran tangan istri cucunya itu sambil mengusap lembut kepala Yara.WO kemudian meminta pasangan pengantin berfoto agar momen bahagia terabadikan apik. Yara sangat grogi ketika bersentuhan pertama kalinya dengan Andaru. Bahkan, dia harus menahan napas kala fotografer meminta mereka saling berpandangan saat pose intim.'Ya Allah, aku jadi tahu warna manik mata pak Andaru dalam jarak sedekat ini. Pun, wangi napas juga parfumnya.'Deg. Deg.Belum juga reda dentum jantung akibat pose romantis barusan. Yara kembali dikejutkan oleh suara seseorang yang dia rindukan.Sosok itu tersenyum sumringah, berdiri di ambang penyekat ruangan bersama seorang lainnya. Sorot mata Yara seketika berkaca-kaca ketika pandangannya tak lagi terhalang oleh Andaru."Aku menepati janjiku," bisik Andaru. "Sambutlah," imbuhnya, menggenggam jemari Yara yang masih menempel di dadanya.Yara mendongak ke arah pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. "Te-teri-ma kassiih!" ucapnya terbata, seiring bulir bening jatuh di pipi.Andaru tersenyum, seulas senyum manis nan menawan kali pertamanya untuk Yara."Assalamualaikum," ucap beliau, merentangkan kedua lengan berharap ada yang menyambutnya.Lelehan air mata Yara kian deras, dia tertatih perlahan menghampiri. "W--".."Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?" Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan d
Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang mela
"Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela
"Jiera?" ulangnya lagi, merangsek mendekati seseorang di hadapannya..Sang gadis berusaha bertindak senatural mungkin. Tangan kanannya terangkat mengacungkan keranjang sampah ke arah pria itu, lalu perlahan melangkah mundur.Kepalanya menggeleng samar, sorot mata wanita berhijab navy itu memicing tajam ke arah pria yang berdiri tak jauh darinya."Pergi! atau aku teriak," ancamnya seraya mengatupkan gigi, agar suaranya kian tegas."Pulang dulu yuk. Sebentar," bujuk sang pria, lembut seperti biasa.Suara yang disinyalir membawa angin buaian tak bakal mempan padanya. Perawakan sempurna lelaki dewasa nan maskulin di hadapan tentu sangat manjur membius gadis manapun untuk tunduk dengan mudah, terkecuali Yara. Pikirnya.Gadis cantik itu sebisa mungkin meminimalisir suara yang keluar dari mulutnya. Dia terus berusaha melangkah mundur hingga teras meski tertatih akibat batu kerikil yang tersebar di halaman kost, sesekali menusuk alas kakinya."Jiera!" sebutnya lagi.Tatapan tajam keduanya buya
"Sesuai keinginan kita, Bos." Bimo menceritakan perkembangan rencana mereka. "Meski lebih cepat dari prediksi," imbuhnya. "Ehm, dia bakal baik saja, kan?" tanya sang CEO, tersirat kekhawatiran dalam nada bicaranya."Semoga baik saja, Bos. Anak itu punya sedikit basic bela diri," imbuh Bimo.Andaru lega. "Oke. Jangan sampai membahayakan keluarga Yara," titahnya, lalu mematikan panggilan.Andaru masih berdiri di balkon kamar. Dia tengah berpikir, kisruh keluarga Yara hampir mencapai puncak sebentar lagi. Dia akan mengawal ini sampai tuntas sehingga misinya juga tercapai."Bisa-bisanya aku berpikir dia bakal menyerahkan diri dengan mudah." Andaru menyunggingkan senyum. "Apa ketampananku ini kurang memikatmu? Yara Falmira," gumamnya penuh percaya diri.Dia mengibaskan tangan seakan menepis pikiran konyolnya, sembari berbalik badan dan masuk ke kamar.Yara merasa percakapan Andaru dengan seseorang berkaitan dengannya. Dia sesekali melirik ke arah pria yang masih berada di balkon itu.Ponse
Brak. Pintu kamar itu menutup. Mendengar suara keponakan laki-lakinya, dia tergopoh keluar kamar."Mbak! Mbak!" sebut sang pria, pura-pura peduli pada Jamila."Mama!" seru Jazli, tak menghiraukan kicauan pamannya. Dia mengangkat tubuh Jamila meski tertatih. "Bentar Ali panggil dokter, ya," imbuh sang putra.Jamila mengangguk pelan, dia memegangi lengan Jazli erat. "Aku saja yang panggil dokter, Li." Pria itu lantas pergi, meminta salah satu pekerja memanggil dokter pribadi Jamila.Jazli membaringkan tubuh ibunya ke ranjang. Menyeka keringat dari dahi Jamila, memasang selang oksigen, lalu menyalakan pendingin ruangan. Setelah nafas sang mama kembali teratur, Jazli duduk di sisi ranjang. Dia memijat lembut tangan dan kaki Jamila, masih belum berani bertanya tentang kejadian barusan.Tak lama, dokter pun tiba. Kedua pria itu menepi sesaat, agar wanita berjas putih leluasa memeriksa pasien."Mama gimana, Dok?" tanya Jazli, saat melihat dokter muda itu selesai."Shock ringan, lusa wajib
"Dikit lagi, Sayang. Raaa," bisik Andaru di telinga Yara. "Ara-ku adalah ibu hebat, semangat sambut adek," imbuhnya dengan nada bergetar, antara tega dan tidak.Sesuai arahan dokter, Yara menarik napas pendek sebelum memulai lagi. Dia tetap tenang tanpa teriakan atau jeritan. Hanya hembusan lirih dari mulutnya meski sakit hebat terasa berdenyut di bawah sana. Tatapan mata Yara kini tak lepas dari manik mata elang yang jua tengah memandangnya. Anggukan, belaian dari Andaru juga bisikan salawat di telinga membuat Yara memiliki kekuatan lebih.Air mata sang CEO ikut menetes manakala Yara terisak. "Mas ridho, 'kan?" lirih Yara."Banget, Ra, banget," balasnya sangat pelan dan terisak tak melepas pandangan mereka."Yuk, lagi Bu. Tarik napas pelan, sambil bilang aaahh ya, lembut aja ... lembut." Perintah dokter pada Yara kembali terdengar.Pimpinan Garvi lantas ikut membimbing Yara dan tak lama. "Oeeekkk!" "Mamaaaaaa," lirih Yara lemas dan langsung didekap Andaru. "Alhamdulillah. Ibunya p
Aryan yang sedang berada di teras dengan Yono, memperhatikan mobil Andaru berhenti sejenak untuk menurunkan Dewi lalu melaju kembali."Lah, kenapa jalan lagi?" tanya Aryan pada aspri Yara yang tergesa memasuki rumah Dewi berhenti, membungkuk ke arah Aryan sekilas. "Nona kontraksi, Tuan besar. Bos Daru langsung ke rumah sakit lagi," beber Dewi. Setelah itu dia berlari ke dalam menuju kamar Andaru. Seketika Aryan ikut panik, dia meminta Yono menyiapkan mobil karena akan menyusul pasangan Garvi, konvoi dengan Dewi.Selama di perjalanan, panggilan seluler tak Andaru hiraukan karena terfokus pada Yara yang beberapa kali mendesis kesakitan. "Mo, tolong call kakak, Didin dan mama." Andaru memberi perintah saat mobil mulai masuk ke teras IGD. "Baik, Bos." Bimo mengangguk dan ikut turun ketika Andaru mulai menarik tuas pintu.Sang CEO pun gegas, berlari ke sisi kiri mobil dan membuka pintunya. Dia menggamit pinggang Yara dan menarik perlahan sembari tetap meminta Yara agar mengatur napas.
Andini mengirimkan pesan pada Andaru berisi berita tentang Afreen yang tengah sakit dan dalam kondisi koma saat ini. Dia ingin menjenguknya esok hari bila diizinkan. Pesan telah terkirim, sang designer pun mematikan ponsel lalu bersiap tidur.Andini baru sekilas membaca balasan DM dari pria yang dia kenali. Tadi, pikirannya langsung terpusat pada sang sahabat sekaligus mantan istri Andaru itu, sehingga dia belum mencerna dengan benar informasi dari Chris.Bada subuh, Andaru meminta Yara mengambilkan ponsel, setelah berhasil mengaji dua halaman di mushaf kesayangan. "Bacain aja Ra, kalau ada pesan. Sandinya tanggal lahir kamu," kata Andaru masih duduk di sofa."Lah, nanti ketauan sama aku dong," balas Yara yang berdiri disamping nakas lalu berjalan menghampiri suaminya. "Ketauan apaan? ... ponsel dan hatiku bersih dari para hama," sahut Andaru sambil merentang lengan menyambut istrinya."Ya kali pake aplikasi discord juga," kekeh Yara, keki dengan berita viral di aplikasi goyang.And
Dua hari berlalu, Andaru bersiap pulang dengan Yara ke Jakarta. Dia sedang duduk di lantai, memakaikan kaus kaki Istrinya ketika Brotoyudho menegur sang cucu menantu, dan ikut bergabung dengan mereka."Mas, kakek barusan dapat telpon dari pengacara kalau Andra sedang diajukan pindah rutan," ujarnya setelah mendaratkan bokongnya disamping Yara.Andaru mendongak sekilas lalu kembali fokus merapikan jempol kaki Yara agar masuk ke lubangnya. "Terus?" Brotoyudho menatap lembut sang cucu mantu. "Makasih ya, Mas." Andaru bergeming, dia enggan menanggapi. Semua itu dilakukan untuk mejauhkan Anton dari Yara sekaligus agar Brotoyudho leluasa menjenguk setiap hari bila sang paman dipindahkan ke Jogja.Mereka akan intens pergi pulang Semarang Jakarta, rasanya segan jika menolak ajakan Jamila untuk mengunjungi pria bejat itu karena alasan masih satu kota dan jaraknya dekat dengan kediaman Jaedy, sementara Yara masih sedikit trauma."Kenapa, Kek?" tanya Jazli ikut duduk di lantai menghadap punggu
Jazli berdecak sebal karena usaha melabuhkan stempel di pipi Faiqa digagalkan seorang bocah yang mengetuk kaca mobilnya dari luar.Faiqa tertawa kecil melihat wajah suaminya menahan kesal. Dia lantas menurunkan kaca mobil dan menyapa pelaku penggerebekan kemesraan mereka."Kamu pulang, Dek?" tanya Faiqa pada seorang remaja pria yang sumringah.Kopiah yang tak terpasang dengan benar di kepala, rambut jabrik basah menyembul di sana sini, tak lupa senyuman manis di wajah bulat, membuat paras remaja pria itu terlihat lucu. Tampan tapi berpenampilan slebor. Faiqa mengelus pipinya yang chubby, lalu membenarkan rambut dan letak kopiahnya saat dia meminta salim."Iya, dijemput jiddah-nenek. Mbak lagi apa?" tanyanya malu-malu seraya mengintip ke sosok di sebelah sang kakak.Jazli menekan tombol di pintu lalu keluar dari balik kemudi. Dia berdiri dan menyandarkan satu lengan di atas kap mobilnya. "Faisal, ya?" Lelaki muda yang masih memakai sarung itu berdiri tegak, melempar pandang ke arah p
Andini menggerutu kala masuk ke mobil dan meninggalkan cafe tadi. Dia kira ketika meminta bertemu dengannya tadi, mereka bakal membahas pekerjaan, tapi malah unfaedah."Gue dah diwanti Dadar buat jauhin lu. Bisa digorok kalau bantuin lagi, Af. Lagian salah lu ngapa buang waktu gitu aja padahal effort Dadar buat pertahanin lu dulu nggak main-main." "Dadar rela nyusulin kemanapun lu transit meski harus pergi pulang di hari yang sama. Lu nggak komit dan malah puter fakta kalau ini salah Dadar. Kurang apa abang gue itu ... sekarang dia bucinin neng geulis, aaah so sweet, mukanya girang mulu saban hari. Gue nggak mau mereka pisah," omel Andini, menghela napas berat sembari mencengkeram erat stir mobil.Tiiin. Suara klakson dari belakang. Andini terkejut, buru-buru melaju pelan. Tiba-tiba seorang pria mengendarai motor CBR 250R berhenti di sebelah Honda Civic yang Andini kendarai, dia mengetuk kaca mobilnya dua kali. Tuk. Tuk."Menepi di depan, ban kiri Nona kempes parah," katanya lantang
Faiqa berbaring miring ketika sisi tempat tidurnya melesak. Jangan tanya bagaimana rasa hati, dadanya bergemuruh, keringat dingin muncul membasahi anak rambut yang tertutupi bergo instan. 'Jangan deket-deket,' batinnya berharap malam ini tidurnya tidak diganggu Jazli. "Laila sa'idah, Ya zaujati. Aku sabar, kok, daripada nanggung," lirih Jazli, menggoda istrinya seraya tersenyum saat memandang punggung Faiqa. 'Kan, dia suka bikin aku panas dingin. Duh, Gus, dulu aba bakul gula, ya. Manis bener ... tidur aja, ah. Tutup telinga,' kata Faiqa dalam hati meski bibirnya melengkung sebaris senyum manis. Diwaktu yang sama, Fathan baru saja tiba di Semarang. Gadis ayu itu duduk di kursi roda sebab kaki dan bahu kirinya masih cedera. Tidak ada sisa jejak kesedihan di wajah Dian. Selama perjalanan pulang, Fathan menceritakan tentang pilihan Jazli yang jatuh pada Faiqa dan lelaki itu langsung mengucap ijab sebelum mencari sang kakak. "Bukan takdir, meski hati kecil tak menampik bahwa Gus A
Mengawali perjalanan ke Yordania karena ikut pesawat charter sahabat Haikal, dilanjutkan ke Rusia lalu Ukraina, ternyata berdampak pada kebugaran fisik Faiqa yang naik turun. Pun setelah di nyatakan boleh pulang oleh dokter, tubuhnya masih di dera lemas. Apalagi, luka terbuka kemarin mendapat tambahan jahitan membuat lengannya terasa kebas."Kira-kira kalau langsung dari sini pulang ke Indo tanpa transit, aman nggak, Dek?" tanya Jazli ketika mengemas isi koper Faiqa."Menurut Kakak, gimana? aku ikut aja, deh," jawabnya pelan, masih malu-malu meski sudah hampir tiga hari mereka berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang hari."Kok, aku? tanganmu 'kan kudu pake arm sling selama perjalanan, Ya eini habibati. Ngilu nggak?" balas Jazli, kembali menghampiri ranjang Faiqa. dan duduk di sisinya "Jadwal penerbangan masih dibatasi kata bang Wafa. Apa kita ke Rusia dulu? tapi tetep kena 17 jam, belum dari sini ke sana. Bisa 24 jam di jalan. Gimana?" 'Duh, kebiasaan dia itu manggil pake isti
Dalam sebuah hadis dan surah At Thaariq dijelaskan bahwa tulang sulbi menjadi salah satu jalan yang dilalui oleh manusia saat akan lahir ke dunia. Saat manusia mati, semua bagian dari tubuhnya akan tercerai berai, kecuali satu organ tubuh, yakni tulang sulbi. Dari tulang tersebut, manusia diciptakan dan kelak akan dibangkitkan kembali.Faysa melihat sisi lembut sang pimpinan, dia ikut naik ke ambulance dan duduk di ujung pintu seraya mendekap tas Yara dan miliknya. "Raaa, lu kenapa, sih?" cicit Faysa sambil melepas heel Yara dan menentengnya.Andaru mendengar kecemasan Fay, dia lantas menyodorkan amplop yang teremat di tangannya pada gadis itu. "Ini, Ara-ku hamil lagi," ujar sang CEO.Faysa terkejut saat menerima kertas dari Andaru. Dia melihat dua garis merah samar di benda itu. "Yoloo, mau punya bayi," gumamnya.Dia seketika ingat perbincangan mereka saat di dalam lift. Ketika Yara mengakui bahwa Andaru adalah suaminya dan ingin lekas mengandung kembali. Faysa jadi trenyuh, pantas