Yara mendecih, dia akhirnya menggeser tuts kesamping, menjawab panggilan Fay meski belum tahu apa yang akan dikatakan. "Ya Fay," sapa Yara dengan nada lembut."Raaaaaa, lu dimana? sama siapa? semalam berbuat apa?" cecar Fay sambil tertawa. "Sorry sorry ... lu sakit, Ra?" sambungnya di sela sisa kekehan.Yara ikut tertawa, dia jadi ingat penggalan lirik lagu kangen band. "Di rumkit, ada pak Bos dan lainnya barusan jenguk ... aku nggak kenapa-kenapa," ulas Yara, menyebutkan satu per satu jawaban untuk Fay di ujung sana.Entah mengapa, Andaru yang masih berdiri di nakas menyiapkan vitamin, tersenyum ketika Yara menyebut dirinya ada disitu.Yara tak ingin Andaru berprasangka, dia menekan tombol pengeras suara saat jemari kekar itu menyodorkan wadah kecil berisi satu butir tablet warna pink. Cucu mantu Aryan mendongak melihat ke arah pria yang berdiri disamping, seraya membuka telapak tangan. "Apa?" sebutnya tanpa suara."Vitamin," balas Andaru, berbisik dan duduk di hadapan Yara. "Raaa!
Lelaki tua itu menoleh manakala suara seseorang memintanya masuk. Padahal dia masih menikmati bau tanah yang disapu angin jelang waktu Maghrib tiba. "Ndoro, mari masuk. Teh rempah Baba Arb, sudah siap," ucap Wartini, berdiri merunduk di ambang pintu gebyok berukiran bunga dan dedaunan.Dia menoleh. "Sebentar lagi, belum tung Maghrib," balasnya pelan, masih sambil mengayunkan pelan kursi goyang favoritnya.Pandangan lelaki sepuh berkutat pada layar gawai yang pengaturan cahayanya sengaja dia redupkan. Semata tak ingin orang lain melihat dan mengasihani atas derita kerinduannya.Kepala pelayan wanita di rumah bersejarah ini, membungkuk lalu mundur perlahan meninggalkan sang juragan. Ada rasa iba bila Wartini memergoki tuannya dirundung murung.Mantan raja itu tidak sepenuhnya bersalah. Karena hal tersebut, kasusnya ditutupi dari khalayak dan hanya beberapa abdi dalem inggil saja yang tahu, itupun sudah banyak yang meninggal. Sumpah tutup mulut mengharuskan mereka membawa rahasia keluarg
Andaru mencoba melacak dan mengalihkan mereka dari sasaran. Dia melirik ke arah Dewi yang baru saja masuk ke ruangan agar membantunya.Gadis berkuncir kuda, paham bila tuan mudanya membutuhkan bantuan. Dia mendekat ke sofa tanpa di komando."Tahan mereka hingga satu menit," ujar Andaru, menunjuk ke laptopnya pada asisten pribadi Yara, saat dia bangkit."Baik, Tuan." Dewi merenggangkan jemari hingga berbunyi pretek. Senyum dingin tersungging, dia sudah lama tidak berselancar. Gadis itu pun duduk dan memainkan kelihaiannya di atas keyboard.Andaru merekrut Dewi atas usulan seseorang yang sangat dia percayai. Sang CEO lantas menghubungi 'dia' sebab melihat betapa ekstrem usaha mereka untuk masuk ke dalam wall yang dia bangun.Tombol panggilan cepat dia tekan, nada sambung pun terdengar satu kali, tepat kala dia duduk di ekstra bed."Yes, Bos!" suara khasnya terdengar."Fa, cek IP address yang aku kirimkan. Mereka mengubah-ubah posisi dengan durasi cepat, sepertinya bukan sembarang orang,
"Tapi Anda kan tidak tahu beliau dimana," cegah Budi, memasang wajah datar. "Baiknya ditunda sampai mereka mengabari bahwa nona itu bersedia," imbuh sang ajudan."Pasti mau, kan aku bayar," katanya percaya diri, sambil tersenyum lebar. "Zaman sekarang itu yang penting duit." Budi merunduk, lalu bicara dengan nada pelan. "Maaf, Gusti. Tidak semua urusan bisa selesai dengan uang. Beberapa orang enggan tunduk demi idealisme dan ego sentrisnya," tutur Budi, sekilas melihat ke arah Brotoyudho yang tampak kian kecewa.Tidak ada lagi percakapan pagi itu. Ponsel sang pengawal pribadi, dia kembalikan dan memintanya keluar kamar.Bukan marah padanya, tapi ucapan Budi justru menyadarkan lagi kesalahan yang pernah dia usung dan elukan di masa lalu. ABS-asal bapak senang, menjadi jargon para penjilat kekuasaan untuk menghalalkan segala cara. Hampir saja, dia melakukan hal serupa.Suasana pagi di joglo tidak ada yang istimewa. Hari ini meja makan di ruangan megah itu kosong, masing-masing penghuni
Rematan jemari kanan Yara terasa kuat mencengkram kemeja Andaru. Mimpi itu terasa nyata, sampai dia gelisah.Tidak ada pembicaraan, Andaru hanya mendekapnya erat sembari mengusap lembut punggung Yara naik turun. "Istighfar." Andaru berbisik pelan. "Kita pulang setelah dokter visit," lanjutnya, mengurai pelukan mereka.Rona wajah putri bungsu Jaedy sudah lebih baik, tidak pucat seperti tadi. Yara tanpa sadar meraba bibirnya, memastikan bahwa barusan hanyalah bunga tidur yang berasal dari tiupan setan."Digantiin sama aku aja." Andaru mendekatkan wajahnya, menyentuh apa yang tadi istrinya raba.Tidak ada napsu, hanya pagutan lembut sebagai penghapus kegelisahan."Feel better?" Senyum usil sang CEO mulai muncul, dia betul-betul harus pandai memanfaatkan keadaan jika ingin membuat Yara tetap bertahan di sisinya.Cucu Aryan tahu, sisa trauma masih menjadi penghalang cinta tumbuh di hati Yara. Sikap manis gadis itu dia nilai hanya sebagai refleksi atas segala suguhan yang dia berikan. Bah
Bada subuh, menantu Jaedy mengabarkan pada mertuanya tentang kehamilan Yara. Dia meminta doa dari Jamila untuk kesehatan keluarga serta kelanggengan rumah tangga mereka."Jiera mana, Mas?" tanya Jamila, sumringah saat wajahnya memenuhi layar handphone."Ada, bentar, Ma."Andaru menghampiri nyonya Garvi yang masih mengaji di atas sajadah sembari bersandar di pangkal ranjang. Dia ikut duduk disampingnya, menyandar manja di bahu Yara sementara tangan kiri memegang ponsel.Paras wanita muda yang menuruni kecantikan Jamila itu tersenyum manis ketika tampilan ponsel menyoroti ibunya. Sang mama terlihat lebih segar akhir-akhir ini. Sinar mata mereka serupa cerahnya, pun masih sama-sama belum melepas mukena. "Maaaaaaa," seru Yara, melambaikan tangan ke depan layar."Nduk, alhamdulillah." Jamila mulai berkaca-kaca, dia teringat almarhum Jaedy. Jika suaminya masih hidup, tentu sangat bahagia menerima kabar ini. "Di ja-gaa, ya. Nurut sama suamimu," lirihnya terbata, menitikkan air mata.Yara jad
Pesan masuk ke ponsel Yara. Dari manager agency.["Ra, ada tawaran buat lu. Pria lansia pengen ketemu sekedar ngobrol sambil ngopi santuy di Kopitiam MTA."]Ting. Beberapa menit kemudian.["Ra, gimana? ... kata manager beliau, kalian dah pernah ketemu. Gue tunggu jawaban lu, ya."]Android di atas nakas kamar berkedip dan bergetar beberapa kali. Nyonya Garvi lupa membawa ponselnya karena terburu-buru tadi. Sementara di Mall Pondok Indah, Dewi menahan dua orang yang dia curigai."Tolong berhenti sebentar," ujarnya, berjalan menghampiri para wanita di lawang pintu. "Kenapa, Mbak?" tanya wanita muda, yang mengenakan hijab lebar dan gamis panjang, menoleh ke arah Dewi. Asisten Yara itu lantas berjongkok di depan wanita sepuh yang duduk di kursi roda, dia berpura salim untuk merasakan kelenturan kulit aslinya. Tatapan teduh dan heran, diberikan oleh sang nenek pada Dewi, dia pasrah mengikuti kemana tangannya ditarik."Nggak apa, hanya ingat nenekku ... maaf," ucap Dewi, tersenyum ke ar
"Namanya-," jeda Brotoyudho karena melihat supirnya berjalan mendekat."Ndoro," sebutnya. Berdiri merunduk sambil mengacungkan jempol ke arah luar. "Monggo, mobil sudah siap," imbuh pria muda yang memakai seragam serba hitam.Sang pemilik joglo mengangguk, bersiap bangun dibantu Budi. "Nggak penting siapa namanya," kekeh Brotoyudho. Dia berjalan melewati putranya yang masih duduk. Tangan tua itu lalu menepuk bahu Andra dua kali. "Jaga rumah baik-baik ... ayah pergi dulu," kata pria sepuh sambil lalu.Gusti Raden Mas Andra hanya mengangguk, menoleh hingga badannya ikut miring kesamping melihat sang ayah meninggalkan ruang keluarga.Dia lalu memilih kembali ke kamar, berkutat dengan segala kepentingan pribadi. Kali ini, keinginannya tercapai, memang anak buah Budi pintar tapi harus disupport oleh banyak hal darinya. Senyum manis tercipta di wajah tampan, dia pun bersiap pergi ke suatu tempat guna berjumpa dengan seseorang. "Akhirnya." ***Aryan gelisah, ponsel Andaru belum juga aktif
"Dikit lagi, Sayang. Raaa," bisik Andaru di telinga Yara. "Ara-ku adalah ibu hebat, semangat sambut adek," imbuhnya dengan nada bergetar, antara tega dan tidak.Sesuai arahan dokter, Yara menarik napas pendek sebelum memulai lagi. Dia tetap tenang tanpa teriakan atau jeritan. Hanya hembusan lirih dari mulutnya meski sakit hebat terasa berdenyut di bawah sana. Tatapan mata Yara kini tak lepas dari manik mata elang yang jua tengah memandangnya. Anggukan, belaian dari Andaru juga bisikan salawat di telinga membuat Yara memiliki kekuatan lebih.Air mata sang CEO ikut menetes manakala Yara terisak. "Mas ridho, 'kan?" lirih Yara."Banget, Ra, banget," balasnya sangat pelan dan terisak tak melepas pandangan mereka."Yuk, lagi Bu. Tarik napas pelan, sambil bilang aaahh ya, lembut aja ... lembut." Perintah dokter pada Yara kembali terdengar.Pimpinan Garvi lantas ikut membimbing Yara dan tak lama. "Oeeekkk!" "Mamaaaaaa," lirih Yara lemas dan langsung didekap Andaru. "Alhamdulillah. Ibunya p
Aryan yang sedang berada di teras dengan Yono, memperhatikan mobil Andaru berhenti sejenak untuk menurunkan Dewi lalu melaju kembali."Lah, kenapa jalan lagi?" tanya Aryan pada aspri Yara yang tergesa memasuki rumah Dewi berhenti, membungkuk ke arah Aryan sekilas. "Nona kontraksi, Tuan besar. Bos Daru langsung ke rumah sakit lagi," beber Dewi. Setelah itu dia berlari ke dalam menuju kamar Andaru. Seketika Aryan ikut panik, dia meminta Yono menyiapkan mobil karena akan menyusul pasangan Garvi, konvoi dengan Dewi.Selama di perjalanan, panggilan seluler tak Andaru hiraukan karena terfokus pada Yara yang beberapa kali mendesis kesakitan. "Mo, tolong call kakak, Didin dan mama." Andaru memberi perintah saat mobil mulai masuk ke teras IGD. "Baik, Bos." Bimo mengangguk dan ikut turun ketika Andaru mulai menarik tuas pintu.Sang CEO pun gegas, berlari ke sisi kiri mobil dan membuka pintunya. Dia menggamit pinggang Yara dan menarik perlahan sembari tetap meminta Yara agar mengatur napas.
Andini mengirimkan pesan pada Andaru berisi berita tentang Afreen yang tengah sakit dan dalam kondisi koma saat ini. Dia ingin menjenguknya esok hari bila diizinkan. Pesan telah terkirim, sang designer pun mematikan ponsel lalu bersiap tidur.Andini baru sekilas membaca balasan DM dari pria yang dia kenali. Tadi, pikirannya langsung terpusat pada sang sahabat sekaligus mantan istri Andaru itu, sehingga dia belum mencerna dengan benar informasi dari Chris.Bada subuh, Andaru meminta Yara mengambilkan ponsel, setelah berhasil mengaji dua halaman di mushaf kesayangan. "Bacain aja Ra, kalau ada pesan. Sandinya tanggal lahir kamu," kata Andaru masih duduk di sofa."Lah, nanti ketauan sama aku dong," balas Yara yang berdiri disamping nakas lalu berjalan menghampiri suaminya. "Ketauan apaan? ... ponsel dan hatiku bersih dari para hama," sahut Andaru sambil merentang lengan menyambut istrinya."Ya kali pake aplikasi discord juga," kekeh Yara, keki dengan berita viral di aplikasi goyang.And
Dua hari berlalu, Andaru bersiap pulang dengan Yara ke Jakarta. Dia sedang duduk di lantai, memakaikan kaus kaki Istrinya ketika Brotoyudho menegur sang cucu menantu, dan ikut bergabung dengan mereka."Mas, kakek barusan dapat telpon dari pengacara kalau Andra sedang diajukan pindah rutan," ujarnya setelah mendaratkan bokongnya disamping Yara.Andaru mendongak sekilas lalu kembali fokus merapikan jempol kaki Yara agar masuk ke lubangnya. "Terus?" Brotoyudho menatap lembut sang cucu mantu. "Makasih ya, Mas." Andaru bergeming, dia enggan menanggapi. Semua itu dilakukan untuk mejauhkan Anton dari Yara sekaligus agar Brotoyudho leluasa menjenguk setiap hari bila sang paman dipindahkan ke Jogja.Mereka akan intens pergi pulang Semarang Jakarta, rasanya segan jika menolak ajakan Jamila untuk mengunjungi pria bejat itu karena alasan masih satu kota dan jaraknya dekat dengan kediaman Jaedy, sementara Yara masih sedikit trauma."Kenapa, Kek?" tanya Jazli ikut duduk di lantai menghadap punggu
Jazli berdecak sebal karena usaha melabuhkan stempel di pipi Faiqa digagalkan seorang bocah yang mengetuk kaca mobilnya dari luar.Faiqa tertawa kecil melihat wajah suaminya menahan kesal. Dia lantas menurunkan kaca mobil dan menyapa pelaku penggerebekan kemesraan mereka."Kamu pulang, Dek?" tanya Faiqa pada seorang remaja pria yang sumringah.Kopiah yang tak terpasang dengan benar di kepala, rambut jabrik basah menyembul di sana sini, tak lupa senyuman manis di wajah bulat, membuat paras remaja pria itu terlihat lucu. Tampan tapi berpenampilan slebor. Faiqa mengelus pipinya yang chubby, lalu membenarkan rambut dan letak kopiahnya saat dia meminta salim."Iya, dijemput jiddah-nenek. Mbak lagi apa?" tanyanya malu-malu seraya mengintip ke sosok di sebelah sang kakak.Jazli menekan tombol di pintu lalu keluar dari balik kemudi. Dia berdiri dan menyandarkan satu lengan di atas kap mobilnya. "Faisal, ya?" Lelaki muda yang masih memakai sarung itu berdiri tegak, melempar pandang ke arah p
Andini menggerutu kala masuk ke mobil dan meninggalkan cafe tadi. Dia kira ketika meminta bertemu dengannya tadi, mereka bakal membahas pekerjaan, tapi malah unfaedah."Gue dah diwanti Dadar buat jauhin lu. Bisa digorok kalau bantuin lagi, Af. Lagian salah lu ngapa buang waktu gitu aja padahal effort Dadar buat pertahanin lu dulu nggak main-main." "Dadar rela nyusulin kemanapun lu transit meski harus pergi pulang di hari yang sama. Lu nggak komit dan malah puter fakta kalau ini salah Dadar. Kurang apa abang gue itu ... sekarang dia bucinin neng geulis, aaah so sweet, mukanya girang mulu saban hari. Gue nggak mau mereka pisah," omel Andini, menghela napas berat sembari mencengkeram erat stir mobil.Tiiin. Suara klakson dari belakang. Andini terkejut, buru-buru melaju pelan. Tiba-tiba seorang pria mengendarai motor CBR 250R berhenti di sebelah Honda Civic yang Andini kendarai, dia mengetuk kaca mobilnya dua kali. Tuk. Tuk."Menepi di depan, ban kiri Nona kempes parah," katanya lantang
Faiqa berbaring miring ketika sisi tempat tidurnya melesak. Jangan tanya bagaimana rasa hati, dadanya bergemuruh, keringat dingin muncul membasahi anak rambut yang tertutupi bergo instan. 'Jangan deket-deket,' batinnya berharap malam ini tidurnya tidak diganggu Jazli. "Laila sa'idah, Ya zaujati. Aku sabar, kok, daripada nanggung," lirih Jazli, menggoda istrinya seraya tersenyum saat memandang punggung Faiqa. 'Kan, dia suka bikin aku panas dingin. Duh, Gus, dulu aba bakul gula, ya. Manis bener ... tidur aja, ah. Tutup telinga,' kata Faiqa dalam hati meski bibirnya melengkung sebaris senyum manis. Diwaktu yang sama, Fathan baru saja tiba di Semarang. Gadis ayu itu duduk di kursi roda sebab kaki dan bahu kirinya masih cedera. Tidak ada sisa jejak kesedihan di wajah Dian. Selama perjalanan pulang, Fathan menceritakan tentang pilihan Jazli yang jatuh pada Faiqa dan lelaki itu langsung mengucap ijab sebelum mencari sang kakak. "Bukan takdir, meski hati kecil tak menampik bahwa Gus A
Mengawali perjalanan ke Yordania karena ikut pesawat charter sahabat Haikal, dilanjutkan ke Rusia lalu Ukraina, ternyata berdampak pada kebugaran fisik Faiqa yang naik turun. Pun setelah di nyatakan boleh pulang oleh dokter, tubuhnya masih di dera lemas. Apalagi, luka terbuka kemarin mendapat tambahan jahitan membuat lengannya terasa kebas."Kira-kira kalau langsung dari sini pulang ke Indo tanpa transit, aman nggak, Dek?" tanya Jazli ketika mengemas isi koper Faiqa."Menurut Kakak, gimana? aku ikut aja, deh," jawabnya pelan, masih malu-malu meski sudah hampir tiga hari mereka berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang hari."Kok, aku? tanganmu 'kan kudu pake arm sling selama perjalanan, Ya eini habibati. Ngilu nggak?" balas Jazli, kembali menghampiri ranjang Faiqa. dan duduk di sisinya "Jadwal penerbangan masih dibatasi kata bang Wafa. Apa kita ke Rusia dulu? tapi tetep kena 17 jam, belum dari sini ke sana. Bisa 24 jam di jalan. Gimana?" 'Duh, kebiasaan dia itu manggil pake isti
Dalam sebuah hadis dan surah At Thaariq dijelaskan bahwa tulang sulbi menjadi salah satu jalan yang dilalui oleh manusia saat akan lahir ke dunia. Saat manusia mati, semua bagian dari tubuhnya akan tercerai berai, kecuali satu organ tubuh, yakni tulang sulbi. Dari tulang tersebut, manusia diciptakan dan kelak akan dibangkitkan kembali.Faysa melihat sisi lembut sang pimpinan, dia ikut naik ke ambulance dan duduk di ujung pintu seraya mendekap tas Yara dan miliknya. "Raaa, lu kenapa, sih?" cicit Faysa sambil melepas heel Yara dan menentengnya.Andaru mendengar kecemasan Fay, dia lantas menyodorkan amplop yang teremat di tangannya pada gadis itu. "Ini, Ara-ku hamil lagi," ujar sang CEO.Faysa terkejut saat menerima kertas dari Andaru. Dia melihat dua garis merah samar di benda itu. "Yoloo, mau punya bayi," gumamnya.Dia seketika ingat perbincangan mereka saat di dalam lift. Ketika Yara mengakui bahwa Andaru adalah suaminya dan ingin lekas mengandung kembali. Faysa jadi trenyuh, pantas