“Kamu gimana sih, Beb masa rambut palsumu bisa ketinggalan gitu. Kalau orang rumah pada tanya aku harus jawab apa coba?” Kudengar dengan jelas obrolan Mas Bayu. Karena saat aku sudah di kamar Mas Bayu sama sekali tidak menyadari kedatanganku. Dia sibuk teleponan di pojok kamar membelakangi pintu.“Ya, sudah, nanti aku amankan.”“Bye ... Honey. Maaf ya, belum bisa senang-senang dulu nanti kalau aku sudah sehat kita bebas ngapain aja.”“Iya, aku janji.” Beh, mesra sekali mereka!“Setidaknya kalau mau teleponan mesra gitu enggak di kamar ini, Mas. Bikin dosa. Takut keluargamu yang kena akibatnya,” kataku. Mas Bayu langsung balik badan dan mematikan telepon.“Bisa ‘kan kalau masuk kamar ketuk pintu dulu? Eggak asal nyelonong gitu aja! Udah kayak setan! Tiba-tiba masuk,” protesnya.“Sudah! Apa perlu aku dobrak sampai jebol biar kamu dengar, Mas!?” sungutku.“Bisa enggak sih, santai aja ngomongnya. Kalem aja ‘kan bisa. Bisa-bisa kupingku pecah!” bentak Mas Bayu.“Kalau kamu enggak kasar, ak
“A—ap, dok, pelecehan? Itu tidak mungkin, Dok! Mas Bayu orang dewasa dia juga jago bela diri, saya rasa tidak ada orang yang berani menyentuhnya. Dokter apa mungkin salah diagnosa?” jawabku. Tak hanya terkejut ini juga tidak masuk akal. Kupijit pelipis yang makin pening. “Semoga saja saya salah diagnosa, Bu. Tapi, sejauh ini setelah melakukan tindakan intensif pada pasien saya menyimpulkan bahwa terjadi luka gesekan yang teramat serius di dubur pasien yang menyebabkan infeksi parah. Itu sebabnya pasien tidak bisa duduk ataupun tidur terlentang dan tentu membuat pasien merasa sangat kesakitan saat buang besar itu sebabnya dia terlihat seperti penderita ambiyen. Saya buatkan surat rujukan untuk dibawa ke rumah sakit besar. Pasien juga harus melakukan cek lab,” jawab dokter. Mimik wajahnya terlihat sangat serius. Kalau sudah begini aku yakin sekali kalau memang kondisi Mas Bayu sedang tidak baik-baik saja.“Apa bukan ambiyen, Dok?” tanyaku sekali lagi meski aku sendiri tidak yakin.Dokt
“Astaghfirullah ada apa, Nak?!” Mertuaku ikut terkejut.Aku menggeleng, air mataku lolos begitu saja. Dadaku tiba-tiba sesak, perutku mual dan kepalaku tambah pusing. Video itu menjijikkan sekali. Mereka begitu menikmati perbuatan maksiatnya. Mau tidak percaya, tapi aku melihatnya langsung. “Ayo, Ibu bantu. Kamu duduk sini dulu.” Dibantu pemilik warung makan, mertuaku memapahku.“Ini, Mbak, HP-nya!” Aku berterima kasih kemudian pemilik warung kembali ke belakang. Kulihat HP Mas Bayu retak layarnya dan mati total.“Minum dulu, Nak!” Aku menghabiskan air minum yang diberikan mertuaku.“Kamu sakit?” tanya beliau lagi, mata teduhnya menyiratkan kebingungan. Gegas aku menggeleng.“Aku baik-baik saja, Bu, tapi entah kenapa tiba-tiba kepalaku sakit dan aku tidak bisa menjaga keseimbangan,” jawabku. Tak mungkin kukatakan yang sebenarnya pada beliau. Bisa kambuh sakit jantungnya. Aku yang sehat saja langsung sakit begini apalagi ibu mertuaku?“Jangan bohong sama Ibu. Kalau sakit istirahat bia
Rendi menjauh dari kami. Aku semakin deg-degan benarkah dia orangnya?Gerak-geriknya sangat mencurigakan.“Halo, Mah ... iya, ini masih di rumah sakit jenguk Bayu.” Huuuuff ternyata bukan dia. Di ponselku panggilan masih berdering sedang Rendi sudah berbicara dengan istrinya.Kulakukan panggilan sekali lagi, nihil! Kali ini nomornya sudah tidak aktif.“Mel, tambah momongan dong, biar makin ramai,” celetuk Angga. Aku diam saja malas menyahut. Pikiranku masih kacau. Jangankan momongan disentuh Mas Bayu saja aku jijik.“Kalau aku si, mau-mau aja, tapi Tuhan belum berkehendak jadi, ya, sedikasihnya saja,” sahut Mas Bayu. Cih, sok manis sekali ngomongnya! Padahal dirinya yang menyimpang.“Kalau aku memang tidak mau punya anak lagi, Ang. Ada masalah kesehatan di antara kami,” jawabku. Mereka terlihat sedikit kaget. Lega sekali aku bisa tegas begini.“Memang Bayu sakit apa? Sampai sebegitu parahkah?” Anton ikut menimpali. Pandangannya fokus ke arah Mas Bayu.“Apa, Lu, udah enggak bisa berdir
“Aaauuu!”Aku menabrak seseorang. Sakit sekali.“Kalau jalan pakai mata, dong!” umpatnya. “Eeh, kamu, Mel! Dasar ya, sengaja banget bikin orang kesel!” gerutunya lagi.Aku hanya diam saja. Syok dan tidak percaya. Aku bertabrakan dengan Rania, lalu siapa yang bersama Naila? Apa Mas Bayu punya selingkuhan lagi selain Rania? Astaghfirullah ... sungguh tidak bisa dimengerti circle percintaan para kaum pelangi. Dulu temanku bilang bahwa orang-orang belok itu sangat kejam jika terusik, tak peduli siapa lawannya mereka tak akan segan-segan melakukan tindakan di luar batas bahkan sampai menghilangkan nyawa orang.Itu sebabnya aku khawatir sekali pada Naila. Aku tidak mau dia jadi korban para kaum pelangi itu. Jika itu terjadi, maka Mas Bayu orang pertama yang akan aku salahkan dan tidak ada maaf baginya.“Apa sih, Mel, lihatnya gitu amrat! Kayak lihat s3tan saja!” ucap Rania lagi .“Oo, aku tahu, kamu terpukau ya, sama penampilanku? Karen aku cantik dan seksi,”cicitnya seraya mengibaskan ra
“Cepat atau lambat aibmu akan terbongkar. Jangan kira aku tidak tahu apa-apa. Tak kusangka kalian berdua sangat menjijikkan,” ucapku lagi. Kusunggingkan senyum termanisku.Rania terpaku sejenak lalu kemudian kembali duduk di samping Mas Bayu.“Enggak jadi pulang, Ran?” tegur Mbak Dwi.“Aku mules boleh numpang ke toilet sebentar, Mbak?” jawab Rania.“Ya, silakan!” Mbak Dwi mengantar Rania ke belakang. Kini tinggal aku dan Mas Bayu.“Mas, mulai besok kamu kerja pakai motor. Mobil mau kupakai,” ucapku.“Mau kamu pakai ke mana?” “Antar jemput Naila, sekolah dan ngaji. Kalau pakai motor panas. Aku enggak mau terpapar matahari takut gosong. Percuma aku perawatan kalau panasan,” jelasku. Sebenarnya aku pun tidak terlalu membutuhkan mobil karena sekolah dan ngaji Naila dekat. Aku hanya tidak mau mobil yang kubeli pakai uang halal selalu dipakai Mas Bayu untuk bermaksiat. Aku tahu itu karena sejak belum ketahuan selingkuh aku sudah dua kali menemukan k*ndom di mobil. Aku kira itu milik suami
Paginya aku malas sekali beranjak dari kasur. Kepala sakit sebelah mungkin karena kurang tidur. Semalaman memang aku susah tidur sebab memikirkan masalahku yang bukannya menemukan titik temu, tapi malah semakin rumit. Juga mengambil diam-diam HP rahasia milik Mas Bayu yang dipakainya untuk teleponan dengan perempuan jadi-jadian itu. Pantas saja HP-nya rusak tidak terlalu peduli. Untung saja aku tidak nyelonong masuk, jadi bisa mengintai di mana dia letakkan HP cadangannya itu.Otakku terus saja berputar memikirkan ucapan Mas yang Bayu sudah menikah dengan Rania, tapi nikah di mana? Apa Rania benar-benar orang kaya raya sampai mereka bisa melangsungkan pernikahan sesama jenis di negara orang? Bukankah itu prosedurnya tidak mudah dan juga butuh dokumen-dokumen penting? Kalau memang iya, berarti aku ini istri sekaligus perempuan paling bodoh di dunia karena tidak tahu apa-apa yang dilakukan oleh suamiku di luaran sana.Ternyata modal kepercayaan saja tidak cukup, jika yang kita percaya
“Mamah lihat apa, sih!” Naila setengah berlari menghampiriku. Aku refleks celingukan ke kanan dan kiri.“Mamah itu bingung kok, pintu dapur kebuka padahal tidak ada orang!” seruku. Aku sengaja menguatkan volume suaraku agar Mas Bayu dan pacarnya itu dengar. Aku yakin sekali mereka masih di luar sana. Mungkin bersembunyi di bawah jendela karena di sana ada tumpukan kayu balok sisa pembangunan rumah kami dulu dan aku yakin jantung mereka bertalu-talu takut ketahuan.“Iya, enggak ada siapa-siapa,” sahut Naila.“Makanya itu Mamah heran ‘kok pintu dibuka kalau ada maling bahaya banget,” jawabku.“Mungkin nenek lupa, Mah. Atau barangkali di luar ada orang. Biar Naila cek, ya?” ucap Naila.Brak!Suara benda jatuh kuat sekali dari samping rumah. Aku menahan tawa, merasa sangat puas. Pasti itu yang jatuh salah satu di antara mereka. Puas sekali hatiku semoga saja pantat mereka terkena paku biar bolong sekalian.“Mah, suara apa itu! Ayo, kita lihat siapa tahu maling!” teriak Naila. Se per sekia
“Alhamdulillah kamu udah sadar, Melsa,” ucap Mbak Dwi.Kupindai sekeliling ruangan, benar saja aku berada di rumah sakit. Badanku rasanya ngilu semua dan kepalaku pusing sekali.“Jangan banyak bergerak! Kata dokter, kamu harus banyak diam karena ada beberapa tulangmu yang patah. Lihat ‘tuh kakimu sampai digipsum gitu. Tangan kirimu,” juga ucap Mbak Dwi lagi. Benar sekali, pantas saja rasanya sakit sekali. Salahku melawan perempuan jadi-jadian itu, tapi kalau aku tidak melawan rasanya geram sekali.“Tentang Nayla, tenang saja. Dia aman di rumah sama ibu. Kamu fokus sama kesehatanmu, ya?” ujar Mbak Dwi lagi, seolah dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku.“Aku haus, Mbak, aku minta minum,” pintaku. Gegas Mbak Dwi memberiku minum. Hampir satu gelas habis. Tenggorokanku rasanya kering.“Aku, sudah buat laporan ke kantor polisi mudah-mudahan segera ditangani. Ini sudah masuk penganiayaan dalam rumah tangga, KDRT dan perselingkuhan. Semoga nasib baik bagi berpihak pada kit, ya, karena kita
"Tidak usah menjelaskan seperti apa pun, Bay. Tanpa kamu jelaskan aku sudah paham semuanya. Terlaknat, kamu! Kurang apa aku mendidikmu selama ini! Percuma kamu sekolah tinggi sampai sarjana kalau akhirnya jalanmu salah begini?! Malu, aku sungguh malu, Bay! Di mana otakmu sampai kamu tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak!” Mbak Dwi teriak histeris sampai memukul-mukul dadanya sendiri. Aku tahu pasti Mbak Dwi sangat kecewa sama seperti yang kurasakan dari awal aku tahu sampai saat ini.“Dan kamu dengan beraninya berdandan seperti wanita lalu datang ke sini untuk mengelabui kami semua! Dasar manusia laknat!” umpat Mbak Dwi pada Rania alias Roni.“Kami bukan manusia laknat, Mbak. Kami punya hak atas diri kami. Kami diciptakan berbeda. Kalian harus terima itu,” jawab Mas Bayu.Plak! Plak!Mbak Dwi menampar mulut Mas Bayu sampai berdarah. Tak kusangka tenaga Mbak Dwi kuat sekali.“Hak, kamu bilang? Ini otak isinya t*i semua jadi kamu tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada hak asasi
"Astaghfirullah ... Roni, kok, bisa! Jadi ini benar!?” pekik Mbak Dwi. Dia ternganga. Pasti Mbak Dwi tidak pernah menyangka sebab selama ini dia selalu saja membanggakan Rania alias Roni, sebagai wanita dermawan yang senang berbagi apalagi Mbak Dwi sudah dijanjikan mau diajak shopping dan beli mobil. Fantastis, kan?“Tidak! Ini pasti mimpi!” serunya lagi seraya menabok-nabok pipinya sendiri.“Lihat! Buka matamu lebar-lebar, Mbak! Manusia laknat ini sudah membohongi kita semua. Dia dan Mas Bayu sudah mencabik-cabik harga diri kita. Menjijikkan sekali. Masihkah Mbak Dwi membanggakan mereka?! Cuih! Bahkan bumi pun menolak kehadiran mereka,” ucapku lantang seraya kulempar rambut palsu milik Roni tepat mengenai wajah Mas Bayu. “Bagaimana bisa seperti ini? Oh, Tuhan! Apa salahku!” Mbak Dwi masih saja histeris. Wajar jika Mbak Dwi susah mempercayainya karena selama ini Roni perfect sekali dalam berpenampilan seperti wanita nyaris tak ada celah, jika tidak mengamatinya dengan jeli.“Ini nyat
“Mel, ngomong apa, sih? Enggak lucu, tahu!” ujarnya.“Memang enggak lucu, Mbak, tapi itulah kenyataannya. Suami yang aku cintai setulus hati, adik laki-laki yang selalu Mbak Dwi banggakan ternyata seorang biseksual, pesakitan. Menyakitkan bukan? Tapi, inilah kenyataannya,” jawabku.“A—pa itu benar, Bay?” tanya Mbak Dwi. Mendengar itu aku hanya tertawa sumbang. Mana ada maling mau ngaku.“Mbak, tahu aku dari kecil mana mungkin aku melakukan itu,” jawab Mas Bayu tanpa mau menatap wajah Mbak Dwi.“Sudahlah Mas, katakan saja yang sejujurnya,” sahutku.“Tidak! Aku tidak menyimpang. Aku normal!” teriak Mas Bayu.“Tidak mungkin itu, Mbak. Aku kenal Bayu sebagai lelaki relegius,” bela Rania.“Kamu, tolong katakan yang sebenarnya. Jika kamu masih punya hati nurani,” ucapku pada Susi. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan dan panik sampai meremas jari-jari tangannya.“Dia pelakor pastilah dia akan katakan yang jelek-jelek tentang Bayu biar dia bisa kembali pada Bayu dan kamu tersingkirkan,”
“Terserah saja Mbak, aku tidak peduli apa pun yang terjadi nantinya. Mau Mbak Dwi ketua geng, ataupun hanya anggota yang jelas kalau perempuan ini tidak mau menjelaskan yang aku minta tadi, maka video ini dalam hitungan detik akan aku sebarkan,” jawabku.“Sudahlah Mel, aku sudah minta maaf dan tolong biarkan Susi pergi,” pinta Mas Bayu.“Tolong izinkan aku pergi ... kalau tidak, maka akan terjadi sesuatu pada anakku. Nyawa anakku jadi taruhannya” sahut Susi. Sebenarnya kasihan, aku yakin dia sudah mendapat ancaman dari Rania.“Kamu tidak usah takut. Jika terjadi sesuatu pada anakmu berarti pelakunya sudah diketahui. Hidup dan mati itu di tangan Allah bukan ada pada pengancam itu. Andai kamu yang di posisiku, pasti kamu juga akan melakukan hal sama. Kita ini sama-sama perempuan, bukankah sesama perempuan harus saling support? Cepat katakan, aku tidak ada waktu lama hanya untuk menunggu pengakuanmu.”“Tidak! Aku tidak berani. Tadi aku hanya salah ucap saja,” tolak Susi.“Sudahlah Mel,
“Ba—gaimana bisa, kamu sama dia, Ran?” tanya Mas Bayu. Rania buang muka enggan menjawab lalu duduk di dekat Mbak Dwi. Aku pun sebenarnya heran dari mana Rania bisa tahu bahwa yang ada di video yang kami lihat perempuan ini? Hebat sekali dia atau mereka sudah saling kenal?“Ma—af Mas, aku harus mengakui ini jika tidak dia akan menyakiti anakku,” ungkap perempuan di depanku, sementara Rania tersenyum sinis.“Ta—pi, kita sudah putus hubungan,” sangkal Mas Bayu.“Mau putus atau tidak yang jelas aku sudah bawa perempuan Dajjal ini di hadapanmu dan keluargamu, Mas. Jadi, keluargamu tahu yang sebenarnya dan tidak akan menyalahkanku,” sahut Rania. “Lagi pula siapa yang menyalahkanmu, Ran? Kok, kamu merasa jadi tersangka?” timpalku. Rania terlihat kikuk.“Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan adikku? Apa saja yang sudah kamu dapatkan darinya? Dasar pelakor!” bentak Mbak Dwi seraya menjambak rambut perempuan itu. Tak dihiraukannya rintihan kesakitan dari mulut perempuan itu.“Kami su
“Allahuakbar! Allahuakbar!”Lantang suara azan terdengar. Aku menyudahi perseteruan ini. Tak kuhiraukan mereka. Gegas aku masuk ke kamar untuk melaksanakan salat Maghrib.Terserah saja mereka mau berpolah seperti apa. Toh, enggak ada manfaatnya lagi untukku. Kulihat ibu mertuaku sudah menggelar sajadah bahkan sedang melaksanakan salat sunah. Sedang Naila masih asyik dengan ponsel neneknya. Kali ini kutak menegur Naila kenapa kembali bermain ponsel. Barangkali mertuaku ada maksud lain memberikan ponselnya lagi pada Naila. Mungkin itu cara ibu mertuaku mengalihkan perhatian Naila. Beliau tidak mau cucunya teringat adegan menjijikkan antara papahnya dengan perempuan lain. Walau bagaimana pun juga Naila itu manusia normal pasti lambat laun akan semakin paham.“Sudah dulu ya, main HP-nya kita salat dulu, Nak!” Naila langsung mengangguk dan beranjak ke kamar mandi.Kusimpan HP Mas Bayu di tempat aman. Aku akan bawa HP itu sebagai bukti, meski tidak yakin kalau Mas Bayu akan membiarkan HP-n
“Eh, anak kecil kok tahu ciuman segala? Kalau ngajarin anak yang bener, Mel!” sahut Mbak Dwi. Ah, jengah sekali, selalu saja dia menyalahkan aku dan berkata yang tidak-tidak tentang pola asuhku. “Ngaca dulu Mbak kalau mau ngomong! Noh, kaca di ruang tengah besar,” jawabku.“Malah ngajarin aku? Kamu lupa aku itu lebih tua dan aku lebih tahu tentang kehidupan dan pola asuh anak? Anak itu diajarin yang bener biar enggak buka-buka privasi orang tua. Masa iya, video ciuman begitu sampai anak tahu. Kamu juga aneh, ngapain juga buat video begituan. Biarpun cuma ciuman, tapi itu enggak pantas kalau ditonton anak!” ujar iparku lagi seraya menoyor kepalaku. Pasti Mbak Dwi mengira kalau itu video antara aku dan Mas Bayu.“Naila, lihat video siapa, Nak?” tanyaku. Malas aku meladeni Mbak Dwi. Bisa-bisa Mas Bayu dan pacarnya bisa lolos lagi dari tuduhan.“Pakai tanya segala! Ya, jelas video kalian berdua lah! Siapa lagi? Makanya tadi aku bilang jangan buat video aneh-aneh. Itu bahaya! Kalau Naila
“Hah, kamu pakai rambut palsu, Ran!” Mbak Dwi terlihat sangat terkejut begitu juga dengan mertuaku dan Mas Bayu. Sialnya Rania pakai ciput. Aneh sekali!Memanglah benar kata dokter dan orang-orang itu. Kaum pelangi itu aneh dan gila. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk membenarkan penyimpangannya ataupun menyembunyikan identitasnya.Nasibku harus berurusan dengan mereka. Andai ... ah, andai saja aku bisa menghilang dari sini tentu sudah aku lakukan sejak pertama kali mengetahui perselingkuhan mereka. Sainganku berat sekali. Mungkin juga dia seorang psikopat!“Kenapa kamu pakai rambut palsu, Ran? Kenapa rambutmu? Kok, diam saja?” cecar Mbak Dwi.Pasti dia sedang memikirkan jawabannya. Kata Wina, sahabatku, aku tidak boleh gegabah jika tidak mau berakibat fatal. Kalau menuruti hawa nafsu dan emosi sudah kuhajar mereka dan kutarik ciputnya itu.Wina bilang, jalani dengan santai seraya atur strategi. Karena menurutnya Tuhan sudah menyiapkan keadaan yang sangat epik untuk membongkar