Albe tidak menanggapi yang Jaka ucapkan, ia berdiam diri. Dalam benaknya tak ada niat sedikitpun membuat Naima menangis ataupun terluka. Ia ingin wanitanya bahagia dan mendapatkan semua kenyamanan. Ia palingkan wajahnya, netranya menembus jendela kaca tebal yang menghadirkan pemandangan Cafenya, ramai seperti biasa. Tentu saja hasil jerih payahnya bersama sahabatnya ini juga untuk perempuan dengan seragam hitam dan topi hitam disana yang sedang disibukkan dengan pekerjaannya dengan semangat dan senyum yang selalu menghiasi wajah jelitanya. Katakanlah ia tega, seharusnya katakan saja sejujurnya, biarkan perempuan yang berstatus istrinya itu bergelung nyaman dalam sofa empuk sambil membaca novel kesukaannya, atau membaringkan tubuh indahnya di meja therapist ahli untuk memanjakan dan merawat tubuh. Atau seharusnya sedang berjalan dengan pakaian bermerek dengan harga fantastis, di Mall kelas wahid negeri ini menenteng paper bag di tangan kanan kirinya. Tapi tidak dengannya, Nai
“Kamu baru saja melepaskan keperawanan mu tadi malam?” tanya Blaire dengan senyum mengembang di wajah cantiknya. Naima terkejut, tidak tahu harus menjawab apa. Kegiatannya membongkar koper suaminya terhenti, melirik Blaire yang tersenyum lima jari sambil memainkan squishy. Naima tidak menanggapi hanya mengedikkan bahu. “Ya Tuhan, aku tidak mempercayainya. Betapa beruntungnya si brengsek itu,” ucap Blaire menggebu. “Kamu harus mengganti sprei mu, ada noda darah disana.” Blaire bangkit, mendekati Naima dan mengecup pipi kakak iparnya sambil berbisik, ”Aku harap kakakku hebat di ranjang hahahaha” “Blaire, ayolah ….“ Naima memutar bola matanya, Blaire hanya tertawa meninggalkan kamar. Naima berdiri, membongkar bed cover dan sprei, melihat dengan jelas noda merah yang sudah menjadi kehitaman yang lumayan lebar. Menutup mukanya dan mengusap kasar. Dia tidak teliti saat membersihkan tadi siang, apa yang dipikirkan gadis muda itu? Apakah menceritakan kepada mertuanya? Naima melepaskan
Geraman tertahan menandakan Albe sangat menikmati kegiatannya, Naima melenguh namun tiba-tiba terdengar suara cekikikan. Albe -mengalihkan kegiatan pada dua buah yang sekarang menjadi favoritnya. “Ada apa, Babe,” bisik Albe dengan suara serak dan iris berkilat hasrat yang masih menggelora. Naima menggeleng, “ Geli hun ... “ucapnya dengan senyum malu. Albe berdecak melanjutkan aksinya yang membuat Naima semakin terkekeh. Albe mensejajarkan wajahnya, “ Aku sudah tidak tahan, Babe, nikmati saja, okay … “ Mendaratkan pagutan untuk membungkam mulut manis istrinya. Yang benar saja, mana ada dicumbu kegelian bukan mendesah malah tertawa, hati Albe tergelitik. Albe menelusuri setiap inci tubuh tanpa busana istrinya hingga menuju lembah tandus di bawah sana, memuji dalam hati Naima mempersiapkan dengan paripurna. Menjelajah dengan jarinya, membuat sang empunya melenguh nikmat, desahan pelan namun merdu terdengar. Lembah itu perlahan basah, Albe terus menggoda dengan lidah masih menyusuri
Chapt 69.Selama hampir dua tahun, baru kali itu Naima merasakan kembali hangatnya kebersamaan dengan keluarga. Keluarga barunya dengan suami, walau ada sedikit ngilu yang bersarang di hati karena status pernikahan yang hanya siri, Naima tetap menikmati setiap detik kebahagiaan yang tak tahu akan bermuara kemana. Ia hanya ingin melalui semua momen yang ia jalani saat ini.Membuat sarapan untuk orang asing yang dalam artian bukan dari negara kita mungkin akan sangat merepotkan, namun nyatanya tidak. Malah orang pribumi yang repot, membuat sarapan dengan semua rempah yang ada di dapur, segala printilan dan tetek bengeknya. Sarapan yang Naima buat cukup simple, beberapa telur yang ia pecahkan kedalam loyang persegi, ia taburi dengan lada, garam juga orega
Chapt 70. Penghuni Baru Kos “Sampai jumpa Nai!“ Ucapan perpisahan sementara Blaire layangkan dengan kecupan jauh, mereka sekeluarga akan berkeliling Jakarta dan mengunjungi pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Apakah Naima cemburu atau merasa tersingkirkan karena diikut sertakan? Tidak. Naima tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pekerja, dia memasuki ruang ganti dan menaruh tas. Rutinitas yang monoton dan sangat membosankan mungkin, namun gadis itu tetap semangat menjalani. Besok adalah hari terakhirnya bekerja dan setelah itu seminggu dia tidak akan berada di tempat ini. Naima menuju ke ruangan Chef yang berada di samping taman belakang. Chef Adi sedang menyulut sebatang rokok sambil memainkan gawainya. “Nai, sini!“ panggil Chef berkulit coklat sedikit gelap dengan tangan melambai. “Chef, sudah dapat pengganti Nai untuk seminggu ke depan?” tanya Naima tanpa basa-basi. Karena memang Chef Adi yang memerintahkan ia untuk langsung ke ruangannya unt
Setelah hari berderai kegelisahan dan air mata karena masalah yang menimpa sahabatnya Tiara. Hari ini Naima dan keluarga Albe sedang mengantri untuk boarding pass. Naima senang dengan gaya keluarga kaya ini. Tidak menggunakan koper-koper mahal dan canggih, namun kami masing-masing membawa tas carrier kami sendiri. Yah, liburan backpacker ala keluarga kaya. keluarga ini menyukai kesederhanaan dan keseharian. tapi jangan tanyakan berapa deposito dan aset mereka. Lihat saja Moma, dengan kaos tanpa lengan yang memperlihatkan kulit putih kemerahannya karena pengaruh cuaca Jakarta yang panas, dengan celana jeans dan sepatu sneaker,
Pendar lampu dengan cahaya keemasan menghiasi setiap bagian resort. Bahkan pohon kelapa di pinggir pantai pun berhiaskan lilitan indah dengan sinar kuning yang lebih terang. Menjadikan suasana lebih syandu. Naima dan Albe berjalan beriringan menuju salah satu meja dengan dua kursi di sana. Mereka sepakat berpisah dengan rombongan lain, karena sang gadis remaja ingin menjelajahi kota pada malam harinya. Bukan tidak ingin bergabung, memang itulah rencana yang sudah mereka susun. Naima sempat berpikir, bahkan lima hari kedepan sudah terjadwal, bagaimana dengan harinya? Semua kegiatan ia lakukan dengan spontanitas. Sepertinya Albe juga demikian, walaupun tanpa melihat agendanya, Naima sudah mulai menghapal kegiatan rutin dari jam berapa Albe membuka mata dan melakukan aktivitasnya. Semua seperti terarah dan terjadwal. Karena jika ia sudah melihat pergelangan tanganny
Menyusuri pantai pada malam hari tanpa alas kaki, dengan saling menggenggam tangan dengan erat. Layaknya pengantin baru yang sedang bulan madu, begitulah mereka terlihat. Sesekali terdengar canda dan juga tawa, mungkin dulu awal-awal mengenal tak nampak kemanjaan dari Naima. Namun setelah beberapa hari bersama, sifat itu terlihat jelas di mata sang suami. Kesan pertama saat bertemu adalah, ramah, mandiri dan baik hati namun tangguh. Setelah tinggal di dalam atap yang sama terlihat sifat lain, lucu, manja dan telaten. Sering terlontar guyonan receh dari bibir ranumnya, yang membuat semua tergelak. Namun manja hanya ia tunjukan pada sang suami. Entahlah. Naima merasa nyaman menggelendot pada lengan kekar Albe. Tinggi yang nyaris berbeda dua puluh centi membuat Naima terlihat mungil.
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang