Naima menatap air terjun buatan di taman kecilnya. Air mata juga masih mengalir seperti berlomba dengan air terjun yang berada di hadapan wanita itu. Rasa sesak, saat di tinggalkan sang suami ternyata lebih menyakitkan daripada melihat video yang ia masih ragu itu asli atau hasil editan. Walaupun itu memang demi kebaikannya. Tetap saja rasa nelangsa seperti menggerogoti jiwa. Sudah hampir tengah malam, tapi ia masih setia duduk di bangku itu dari beberapa jam yang lalu. Meratapi nasib buruk dan takdir yang sudah digariskan. Ia mendamba bahagia tanpa drama dalam kehidupannya. Namun Tuhan terlalu menyayanginya, hingga menitipkan duka dan nestapa yang membuat ia tak berdaya. “Nai, lo gak mau tidur?” suara lirih gadis dengan muka bantal yang berdiri di sampingnya menyadarkan perempuan hamil itu dari lamunan. Ia menggeser duduk lebih ke tepi, memberi ruang untuk Tiara duduk. Berharap gadis itu mau menemani. “Bentar lagi, Ra. Aku nunggu telepon dari Albe, dia bilang mau nelpon kalo udah
Seminggu sudah berlalu, tapi suami tercinta belum juga menampakkan batang hidungnya. Sedih. Pasti, walau beberapa hari di awal komunikasi lancar, tapi beberapa hari ini, lelaki itu absen memberi kabar. Bahkan pesannya pun tak di balas. Naima berusaha sabar, yang pasti terapi dengan Feriska lumayan membuahkan hasil. Tidak hanya bercerita saja, mengingat kenangan-kenangan bersama Albe, membuka setiap foto dan video bahkan ia diajarkan mengendarai mobil sultan milik suaminya yang sengaja di tinggal di rumahnya. Sekarang ia jarang merasakan mual bahkan muntah, saat mengingat video Albe dengan Laura. Yah. Video sang suami yang sedang dipuaskan dengan mulut oleh perempuan itu. Pada awalnya memang selalu terlihat jelas bagaimana cairan itu keluar dan mengotori muka wanita penggoda itu, bahkan baunya bisa tercium sangat menyengat di hidungnya. Wanita hamil itu sedang menyiram bunga di halaman depan, saat sebuah mobil Alphard berhenti di halaman luar pagar. Tiara yang baru datang dari memb
Ketika sebelum ini Albe merasakan tubuhnya lelah, maka sekarang tiap sendinya seakan meneriakan nyeri dan pegal di sana sini. Ia tak mau mengeluh, tetapi entah kenapa tubuhnya benar-benar terasa payah. Ia sudah menghitung, terbilang dari kamis malam kemarin hingga senin malam ini, ia hanya bisa mengistirahatkan matanya barang sejenak. Bahkan ia melupakan untuk menghubungi sang istri. Kerinduan pun menelusup setiap inci nadi. Oh, Naima. Hanya menyebut nama saja. Semangatnya kembali meninggi, berharap setiap permasalahan yang dihadapi segera teratasi. Ia membenci setiap penghianatan. Walau ia sendiri sempat berkhianat, tapi itu ternyata hanya sebuah rekayasa. Konspirasi untuk membuatnya tersungkur, tapi nasibnya memang sedang mujur. Jika kata seorang pegawai di proyek resort yang siap launching itu, ia sedang tersungkur untuk dijunjung. Beberapa malam bekerja ditemani oleh pria tua penjaga bungalow, bangunan yang ia siapkan untuk keluarga kecilnya saat berkunjung ke tempat itu nanti.
Dalam benaknya definisi bahagia itu adalah mempunyai keluarga yang utuh, bisa saling melengkapi dan saling memahami. Bisa menjadi sandaran di kala susah, dan berbagi tawa saat rasa senang memayungi jiwa. Sesederhana itu pikiran Naima. Seperti yang sering Bapaknya katakan dulu, “makan ga makan asal kumpul”. Hidupnya sudah sederhana sedari kecil, jadi sekarang pun, wanita hamil itu tetap menginginkan yang sama. Hidup dalam kesederhanaan, bersama mengais rezeki tanpa diributkan dengan hal-hal memusingkan seperti yang sedang suaminya alami. Memang, dalam hidup ada untung rugi, ada naik dan turun, tapi membayangkan kasus yang sedang dihadapi Albe, Naima juga merasakan sakit hati. Ditusuk oleh sahabat sendiri, dan ia tak mengerti. Pria sesantun Jaka, bisa melakukan hal itu. Ia sempat mengagumi mantan atasannya itu. Pria sunda itu terlihat sederhana, tidak neko-neko. Bahkan cara berpakaian maupun kendaraan yang dimiliki tidak seperti yang lain. Viran bahkan mempunyai Lexus, dan lihat sua
Tiara memarkirkan motor di samping mobil kekar Alberico. Menendang ban besar itu, sejenak meluapkan kekesalan karena telat dalam wawancara akibat tersesat. GPS memberikan arah yang salah, akibatnya ia terlalu jauh memutar. “Assalamu’alaikum, Nai! Sini dong!” seru Tiara dari teras. Gadis itu duduk menyender dengan tak berdaya. Rasa kesal dan lelah berkumpul menjadi satu. “Nai! Lo ngapain sih?” seru Tiara lagi. “Ish, bumil ini, kalo lagi dibutuhin aja ngilang,” sungut Tiara sambil bangkit dan menghentak gagang pintu dengan kasar. Tiara merasa aneh karena rumah terasa sepi, biasanya jika ada sahabatnya Naima akan ada bunyi musik atau murottal untuk menemani wanita hamil itu. Tiara masuk ke dapur, sunyi. Lalu berbalik ke ruang tengah, menuju kamar sahabatnya. “Nai? Lo tidur?” tanyanya mengetuk pintu beberapa kali tapi hanya senyap yang menyapa. Tiara membuka pintu dengan pelan, ranjang dengan alas berwarna abu itu kelihatan rapi dan tak tersentuh. Ia menuju kamar mandi di ujung ruang
“Kamu sudah menghubungi pihak Bank?” Albe mengetuk-ngetukkan jemarinya pada dashboard. Mereka masih di toll menuju Bandung, didampingi supir yang ia sewa dari rental tempat Jaka menyewa. Viran sibuk menghubungi beberapa orang dari kepolisian dan juga memantau Tiara. “Bagus, pastikan semua rekeningnya terblokir. Dan kirim melalui email, rekening koran beberapa hari terakhir baik debit maupun kredit rekening-rekening itu. Jika ada nama yang mencurigakan kamu beri tanda!” lanjut lelaki yang terlihat kacau itu memberi instruksi pada Ria sekretaris di kantornya. Albe harus bergerak cepat, supaya bisa menghalau gerak Jaka. Ia tak menyangka sahabatnya itu bisa melakukan hal keji dengan membawa Naima. Bahkan mereka sempat bertemu, dan lelaki sunda itu sudah berjanji akan mencicil uang yang sudah ia pakai. Memohon untuk tetap bekerja agar ia mendapatkan penghasilan.
“Vir, di mana tepatnya!?” tanya Albe dengan gugup. Lelaki itu menggigit buku jarinya terkepal. kakinya tak berhenti bergerak gelisah. Ia mengelus sesuatu di samping pinggangnya, benda yang pernah Naima tanyakan. Saat Albe memasukkan beberapa dokumen penting ke dalami brangkas. Teringat candaan istrinya saat itu, yang sedang merebahkan diri di ranjang. Sementara dirinya menyusun beberapa barang yang akan ia masukkan ke dalam lemari besi itu. “Baby, kamu gak tertarik bantuin?” kata Albe melirik Naima yang hanya memperhatikan dengan posisi tidur tengkurap menghadap Albe. “Gak ah, aku udah cukup sekali melihat isinya,” tolak wanita yang terlihat sudah mengantuk. “Bahkan, kau sudah melihat punyaku berkali-kali, tapi kau tetap penasaran,” goda lelaki yang sedang duduk bersila di lantai, mengulurkan tangannya dan mencubit hidung bangir Naima. “Kalau itu kan selalu menggoda, Yang,” timpal Naima dengan mengerling. “Dan menjanjikan kepuasan,” sambung wanita itu memberikan cium jauh untuk s
“Nai, kau baik-baik saja, Baby?”Albe meraih tubuh Naima yang luruh kedalam gendongannya. Tubuh itu gemetar, ia berlari keluar. Sudah ada beberapa anak buah Bagas dari satuannya di daerah itu yang ikut membantu. “Aku akan membawa Naima, ia terluka. Bantu Viran di dalam!” teriak Albe pada Bagas. mereka bergegas masuk. Albe membawa Naima ke dalam mobil yang sudah siap di depan rumah tua yang kosong itu. “Luxton hotel Pak, cepat!!” perintah Albe. Ia memeluk tubuh yang ia rindukan, menciumi pipi dan kepala wanita yang sedang mengandung anaknya itu. “Haus, Al! Panas … ugh,” rancau Naima. Albe meraih botol air mineral di sela supir. Membukakan untuk Naima minum, menyodorkan pada bibir Naima yang bergetar dan mendesis juga menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Kelopak mata Naima terbuka, menampilkan kilatan hasrat yang sudah Albe hapal. Lelaki itu mengernyit, apa yang sudah Jaka lakukan pada isterinya? “Minum, Baby. Kita akan meredakan panasmu nanti, kamu bisa menahan bukan, sweetheart,
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang