Dalam benaknya definisi bahagia itu adalah mempunyai keluarga yang utuh, bisa saling melengkapi dan saling memahami. Bisa menjadi sandaran di kala susah, dan berbagi tawa saat rasa senang memayungi jiwa. Sesederhana itu pikiran Naima. Seperti yang sering Bapaknya katakan dulu, “makan ga makan asal kumpul”. Hidupnya sudah sederhana sedari kecil, jadi sekarang pun, wanita hamil itu tetap menginginkan yang sama. Hidup dalam kesederhanaan, bersama mengais rezeki tanpa diributkan dengan hal-hal memusingkan seperti yang sedang suaminya alami. Memang, dalam hidup ada untung rugi, ada naik dan turun, tapi membayangkan kasus yang sedang dihadapi Albe, Naima juga merasakan sakit hati. Ditusuk oleh sahabat sendiri, dan ia tak mengerti. Pria sesantun Jaka, bisa melakukan hal itu. Ia sempat mengagumi mantan atasannya itu. Pria sunda itu terlihat sederhana, tidak neko-neko. Bahkan cara berpakaian maupun kendaraan yang dimiliki tidak seperti yang lain. Viran bahkan mempunyai Lexus, dan lihat sua
Tiara memarkirkan motor di samping mobil kekar Alberico. Menendang ban besar itu, sejenak meluapkan kekesalan karena telat dalam wawancara akibat tersesat. GPS memberikan arah yang salah, akibatnya ia terlalu jauh memutar. “Assalamu’alaikum, Nai! Sini dong!” seru Tiara dari teras. Gadis itu duduk menyender dengan tak berdaya. Rasa kesal dan lelah berkumpul menjadi satu. “Nai! Lo ngapain sih?” seru Tiara lagi. “Ish, bumil ini, kalo lagi dibutuhin aja ngilang,” sungut Tiara sambil bangkit dan menghentak gagang pintu dengan kasar. Tiara merasa aneh karena rumah terasa sepi, biasanya jika ada sahabatnya Naima akan ada bunyi musik atau murottal untuk menemani wanita hamil itu. Tiara masuk ke dapur, sunyi. Lalu berbalik ke ruang tengah, menuju kamar sahabatnya. “Nai? Lo tidur?” tanyanya mengetuk pintu beberapa kali tapi hanya senyap yang menyapa. Tiara membuka pintu dengan pelan, ranjang dengan alas berwarna abu itu kelihatan rapi dan tak tersentuh. Ia menuju kamar mandi di ujung ruang
“Kamu sudah menghubungi pihak Bank?” Albe mengetuk-ngetukkan jemarinya pada dashboard. Mereka masih di toll menuju Bandung, didampingi supir yang ia sewa dari rental tempat Jaka menyewa. Viran sibuk menghubungi beberapa orang dari kepolisian dan juga memantau Tiara. “Bagus, pastikan semua rekeningnya terblokir. Dan kirim melalui email, rekening koran beberapa hari terakhir baik debit maupun kredit rekening-rekening itu. Jika ada nama yang mencurigakan kamu beri tanda!” lanjut lelaki yang terlihat kacau itu memberi instruksi pada Ria sekretaris di kantornya. Albe harus bergerak cepat, supaya bisa menghalau gerak Jaka. Ia tak menyangka sahabatnya itu bisa melakukan hal keji dengan membawa Naima. Bahkan mereka sempat bertemu, dan lelaki sunda itu sudah berjanji akan mencicil uang yang sudah ia pakai. Memohon untuk tetap bekerja agar ia mendapatkan penghasilan.
“Vir, di mana tepatnya!?” tanya Albe dengan gugup. Lelaki itu menggigit buku jarinya terkepal. kakinya tak berhenti bergerak gelisah. Ia mengelus sesuatu di samping pinggangnya, benda yang pernah Naima tanyakan. Saat Albe memasukkan beberapa dokumen penting ke dalami brangkas. Teringat candaan istrinya saat itu, yang sedang merebahkan diri di ranjang. Sementara dirinya menyusun beberapa barang yang akan ia masukkan ke dalam lemari besi itu. “Baby, kamu gak tertarik bantuin?” kata Albe melirik Naima yang hanya memperhatikan dengan posisi tidur tengkurap menghadap Albe. “Gak ah, aku udah cukup sekali melihat isinya,” tolak wanita yang terlihat sudah mengantuk. “Bahkan, kau sudah melihat punyaku berkali-kali, tapi kau tetap penasaran,” goda lelaki yang sedang duduk bersila di lantai, mengulurkan tangannya dan mencubit hidung bangir Naima. “Kalau itu kan selalu menggoda, Yang,” timpal Naima dengan mengerling. “Dan menjanjikan kepuasan,” sambung wanita itu memberikan cium jauh untuk s
“Nai, kau baik-baik saja, Baby?”Albe meraih tubuh Naima yang luruh kedalam gendongannya. Tubuh itu gemetar, ia berlari keluar. Sudah ada beberapa anak buah Bagas dari satuannya di daerah itu yang ikut membantu. “Aku akan membawa Naima, ia terluka. Bantu Viran di dalam!” teriak Albe pada Bagas. mereka bergegas masuk. Albe membawa Naima ke dalam mobil yang sudah siap di depan rumah tua yang kosong itu. “Luxton hotel Pak, cepat!!” perintah Albe. Ia memeluk tubuh yang ia rindukan, menciumi pipi dan kepala wanita yang sedang mengandung anaknya itu. “Haus, Al! Panas … ugh,” rancau Naima. Albe meraih botol air mineral di sela supir. Membukakan untuk Naima minum, menyodorkan pada bibir Naima yang bergetar dan mendesis juga menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Kelopak mata Naima terbuka, menampilkan kilatan hasrat yang sudah Albe hapal. Lelaki itu mengernyit, apa yang sudah Jaka lakukan pada isterinya? “Minum, Baby. Kita akan meredakan panasmu nanti, kamu bisa menahan bukan, sweetheart,
Surga katanya adalah tempat terindah para bidadari, sejuk juga penuh kenyamanan dan kedamaian. Dan neraka adalah tempat bara untuk menghanguskan setan dan iblis yang meraja lela. Lalu di manakah ia? Naima masih merasakan panas pada tubuhnya. Ia membuka mata, selimut tebal yang membungkus tubuh telanjangnya membuat ia kepanasan. Itu asumsinya. Maka, ia putuskan untuk menyibak selimut itu mengabaikan tubuhnya yang polos. Menurunkan suhu pendingin, ia ingat sudah beberapa kali meminta Albe memberinya kepuasan. Sang suamipun menuruti keinginannya dengan suka cita. Ia pikir setelah lelah dan terpuaskan, itu akan cukup. Faktanya bagian sensitif tubuhnya masih berkedut tak nyaman. Ia merasa seperti jalang yang haus belaian. Tak dapat membayangkan jika Albe datang terlambat, matanya memanas. Mengelus perutnya yang menegang, turun dari ranjang besar itu. Ia menuju kamar mandi. Melihat tampilan tubuhnya, banyak tanda cinta yang suaminya sematkan. Padahal Albe jarang melakukan itu. Seberapa
Impian Naima adalah mempunyai keluarga yang utuh, yang terdiri imam dan dia sebagai makmumnya. Juga kelak, anak-anak sebagai pelengkap juga penyemangat. Memang bukan impiannya menjadi ibu dalam usia muda, tapi ia anggap itu adalah berkah yang Tuhan berikan sebagai pengganti keluarganya yang telah tiada. Jadi saat berkah yang menjadi impian selanjutnya untuk meraih bahagia menunjukkan eksistensi, dan meminta perhatian dari orang yang berperan dalam kehadirannya yaitu sang suami. Naima hanya bisa memohon dan meminta untuk menyelamatkan calon buah hati mereka. Mereka berada di ruang poli kandungan rumah sakit swasta yang konon katanya terbaik. Albe harus menggunakan uangnya untuk meminta dokter kandungan yang seharusnya sudah tidur nyenyak di ranjang empuknya untuk segera datang. Jangan lupakan ancaman pada petugas yang tidak bersedia memberikan kontak pribadi sang dokter. Dokter perempuan dengan kerudung merah marun yang sedang memeriksa kondisi bayi mereka. Hanya beberapa kali menghe
Malam memang kelam, ia laksana jelaga yang membutakan warna. Namun malam juga mempunyai makna, dengan hadirnya kerlip bintang dan juga rembulan sebagai penerang gulita. Malam mungkin mencekam, tapi kerlip bintang menghadirkan sinar cemerlang menumbuhkan harapan. Ia kecil tapi tetap dinantikan dan dirindukan. Naima mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit lucu, trauma yang sempat ia derita, walau sempat akan datang. Ia bisa menghalau, meyakini bahwa sang suami akan membuatnya bahagia. Tak akan pernah meninggalkan ia dan calon buah hati mereka. Penghiatannya memang tak termaafkan, tapi ia yakin ada alasan di balik itu semua. Hanya ingin berfokus, pada bintangnya calon buah hati, pelitanya dalam setiap kegelapan dan kemuraman dunia. Ia hanya perlu bertanya. Yah, ia akan menanyakan nanti, semua keresahan dan kesalahpahaman yang terjadi harus dituntaskan. Setelah bertemu dengan Jaka. Mereka sedang menuju sebuah rumah, yang di gunakan Bagas untuk mengamankan lelaki itu. Albe meman
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang