Adalah persahabatan yang menumbuhkan kebahagiaan, dan meredakan kesengsaraan dengan cara menggandakan kegembiraan dan membagi kesedihan kita. Adalah keluarga yang menumbuhkan cinta, dan tempat bernaung juga tempat sebuah hati akan pulang. Adalah hati, tempat yang begitu kecil, tapi mampu menampung segala bentuk rasa, walau kadang lelah, ia tetap kuat berdetak dan memberi kehidupan. Adalah raga, yang pandai berkamuflase, dengan berlari riang. Namun penuh luka, dan berdiri kokoh walau ia lemah dan kepayahan. Nestapa mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan hati Naima saat ini. Walaupun senyum tetap mengembang dengan riang. Namun hatinya hancur. Suaminya mengalami trauma akan seorang bayi, sedang dirinya sedang berbadan dua dan di sinilah ia -rumah sakit- ternama sebelum ke tempat kerja. Albe akan pergi menuntaskan pekerjaannya dan kemungkinan akan menginap. Maka dari itu, Naima bisa leluasa. Ia berniat memeriksakan kandungannya. Juga akan menemui seorang dokter, yang ia t
Jangan bangunkan orang yang sedang dilanda cinta. Biarkan ia larut dalam mimpi manis, agar tak menangis saat menghadapi fakta yang ternyata mengiris. Mari menguras mimpi yang hanya bisa diingkari oleh kenyataan. Mari mengalun doa untuk bahagia yang sebentar akan sirna. Raut dan mimik terkejut Dokter yang masih menjabat tangan Naima dengan kencang, merontokkan asa bahagia, perlahan menggores segaris luka. Karena ternyata Naima tak mempunyai daya. Ia seakan mati dengan jalan yang ia lalui. Naima melepas tautan tangan yang sekarang menjadi dingin dan berair. Kelancangannya sekali lagi membuat Naima tak bisa berpikir, apa yang akan selanjutnya ia lakukan. Kecemburuan, akan setiap sosok yang hadir dari masa lalu Albe membuatnya merasa lebih rendah hati dari sebelumnya. “Benarkan? Albe sudah menikah?” lontar Feriska lirih. Ia menjatuhkan pantatnya pada kursi kerjanya yang terlihat nyaman. “Apakah anda mengenal suami saya?” Naima memainkan dramanya. “Mm … yah, kami saling mengenal. Jika
Naima berkeliling mencari interkom, tapi nihil. Ia mendadak ketakutan. Meringkuk di depan pintu, wanita itu tetap berusaha menggedor hingga ia kehabisan tenaga. Tubuhnya sudah menggigil, kemeja tipis yang ia kenakan tak mampu menghalau suhu minus di ruangan itu. Albe yang baru datang dari bandara segera berlari masuk, saat sampai di ujung tangga pria yang terlihat berantakan itu melihat tas Naima juga jaket yang tergeletak begitu saja di ujung tangga, tapi tidak dengan orangnya. Ia segera masuk ke ruangannya, tapi Naima tak ada. Mencoba mencari ke toilet karyawan, juga taman belakang pun yang ia temukan hanya kesunyian. Semua karyawan sudah pulang menyisakan dua orang satpam di depan. “Pak, Naima sudah pulang?” tanya Albe pada satpam di depan Cafe. “Tidak tahu pak, maaf. Mungkin pas saya ke toilet atau pas saya beli rokok tadi Mbak Naima pulangnya,” jawab salah satu satpam dengan raut tak enak. “Kamu pas ngecek di dalam tahu gak?” tanya yang satu, Albe tak hapal nama mereka. “Tad
Cekalan di lengan itu sangat menyakitkan, tangan besar Albe mencerkeram kuat. Dengan kasar Albe menarik Naima ke ruang tengah. Naima yang masih lemah dan kedinginan tak bisa berbuat apa-apa. “Dari mana saja kau, Nai!” desis Albe dengan rahang mengetat dan kelopak mata mengembang maksimal, terlihat menyeramkan. “Dari rumah sakit, Yang, A–” belum sempat Naima menyelesaikan kalimatnya Albe tertawa terbahak-bahak. “Rumah sakit? Atau rumah singgah? Atau rumah Jaka?” sambar Albe. “Lihat bajumu
Harusnya ia sedang bertutur ceria penuh canda, melagukan aroma nuansa bahagia. Nyatanya ia sedang menanggung lara, berjuang mempertahankan sebuah asa untuk masa depannya. Buah hati, harapan penyambung jiwa yang terluka. Dari ketidak tahuan yang menimbulkan kesalahpahaman, dari keegoisan yang menggoreskan nestapa. Harusnya ia tengah bergelung manja, pada lengan liat sang binaraga jiwa. Namun nyatanya ia bergelung memperjuangkan janinnya tumbuh menjadi kuat atau gugur lalu luruh. Perjuangan pada ia, sang buah cinta. Jiwanya merana, Hatinya lara Tubuhnya penuh luka Pun tak berdaya Rasanya ingin mati saja Menyusul keluarganya Namun ada dia Yang berjuang menguatkan raga dari dalam rahimnya Apakah takdir yang sedang ia jalani nyata? Atau hanya bualan mimpi belaka? Naima mencoba membuka mata, sapuan cahaya putih menyilaukan irisnya. Mengelus perutnya yang sudah sedikit menyembul. Menikmati detakan pelan di dalam sana. Melirik pada meja kecil di samping ranjangnya. Naima meraih pon
Albe bergegas keluar dari ruangan Jaka, Chef Adi hanya terbengong mengikuti gerakan panik bosnya saat berlari turun. Perhatiannya terfokus pada Jaka. "Loh, muka lo kenapa bro?" herannya saat melihat kondisi Jaka "Ada orang gila mabok, ngehajar gue. Sialan emang monyet satu itu," umpat Jaka melemparkan tubuhnya ke sofa. Ia memikirkan Naima, ada apa dengan perempuan yang masih enggan pergi dari hatinya itu. Chef Adi mendekat duduk di sandaran sofa single terdekat dengan pintu. “Ada apa dengan kalian? Kalo gue gak masuk, kayaknya akan ada pertumpahan darah,” kelakar Chef Adi, yang membuat Jaka teringat kejadian yang membuat Naima terperangkap di ruang penyimpanan. “Justru gue yang harusnya introgasi shift kalian, siapa yang seharusnya bertugas untuk mempersiapkan bahan makanan? Sepertinya sudah disepakati, bukan? Akan ada pembagian tugas itu,” selidik Jaka. Setahu jaka Naima hanya bertugas menyiapkan pesanan desert ataupun cemilan dan itu sudah dibagi dengan beberapa pegawai baru.
Albe bersandar nyaman pintu mobilnya, kedua tangan terlipat di depan dada. Sebelah kaki ia tekuk dengan telapak kaki menempel pada bodi mobil. Jangan lupakan kacamata hitam yang bertengger sombong di hidung mancungnya. Orang yang lewat pasti mengira ada model yang tersesat. Tapi, mereka salah. Ia menyembunyikan matanya yang memerah karena marah. Ia bingung marahnya untuk siapa? Dirinyakah, Naima, atau Jaka? Albe segera meluruskan badan dan berdiri tegak, saat sebuah motor bebek mendekatinya. Tiara membuka helm, menaikkan sebelah alis untuk menanyakan tanpa kata. Albe berdecak mendekat, mendorong gerbang dengan terpaksa, Tiara memasukkan motor ke tempat parkir di dalam gerbang. Yah, supaya Albe tidak curiga juga. “Ada apa, Pak?” tanya Tiara, bukan dia yang mendekati Albe. Pria yang berpangkat sebagai bos-nya yang mendekat ke tempat ia memarkirkan kendaraan. “Kapan terakhir kali kamu dan Naima berkomunikasi?” cecar Albe tanpa basa basi, Tiara yang tak bisa melihat ekspre
Albe baru tiba di ruangannya di Cafe Kita sudah menjelang malam. Dan Naima tidak ada menghubunginya, pun juga tak ada tanda-tanda istrinya pulang. Ia mengamati tablet yang menampilkan CCTV di rumahnya. Seperti tercerahkan, Albe menuju ruang CCTV yang berada di antara ruangan Manager dan ruangan Jaka. Tapi ruangan meeting yang ramai membuatnya mengurungkan niat. Ia mengetuk pintu dan masuk. Setiap pasang mata melihat ke arah Albe dengan muka yang tegang, Albe mengernyit. "Apa ada yang urgent, sehingga semua orang dapur di sini?" tanya Albe menyilangkan tangan di dada. Memandang satu persatu wajah-wajah yang penuh ketakutan dan rasa was-was. Seperti hidup mereka bergantung padanya. Memang. Pekerjaan mereka menjadi taruhannya. Bukankah dia pemilik usaha ini? Sewajarnya mereka merasa takut. "Bisa duduk, Al?" pinta Viran memundurkan kursi. Albe mengendik, tapi tetap menerima permintaan Viran. "Tolong, dengarkan dulu. Ini mungkin akan membuatmu tak nyaman. Tapi, kita h
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang