Albe baru tiba di ruangannya di Cafe Kita sudah menjelang malam. Dan Naima tidak ada menghubunginya, pun juga tak ada tanda-tanda istrinya pulang. Ia mengamati tablet yang menampilkan CCTV di rumahnya. Seperti tercerahkan, Albe menuju ruang CCTV yang berada di antara ruangan Manager dan ruangan Jaka. Tapi ruangan meeting yang ramai membuatnya mengurungkan niat. Ia mengetuk pintu dan masuk. Setiap pasang mata melihat ke arah Albe dengan muka yang tegang, Albe mengernyit. "Apa ada yang urgent, sehingga semua orang dapur di sini?" tanya Albe menyilangkan tangan di dada. Memandang satu persatu wajah-wajah yang penuh ketakutan dan rasa was-was. Seperti hidup mereka bergantung padanya. Memang. Pekerjaan mereka menjadi taruhannya. Bukankah dia pemilik usaha ini? Sewajarnya mereka merasa takut. "Bisa duduk, Al?" pinta Viran memundurkan kursi. Albe mengendik, tapi tetap menerima permintaan Viran. "Tolong, dengarkan dulu. Ini mungkin akan membuatmu tak nyaman. Tapi, kita h
Jika hanya mata yang berderai karena airmata, ia tak mengapa. Tapi hatinya pun kini berderai, berlumuran darah kekecewaan. Benci? Ia tak merasakan benci, bahkan cintanya masih bersemi. Tapi kekecewaan yang menyelimuti hati terurai hingga palung terdalam. Naima tak mau memungkiri, semua yang terjadi. Seminggu lari dari pusat dunianya tidaklah mudah, ada selosong kosong yang minta diisi. Namun ia tak mengerti keengganan hati. Saat kunjungan tadi, dokter sudah memeriksa dan semua sudah seperti semula. Bahkan memar pada genitalnya pun sudah membaik. Tiara sempat melotot pada Naima, saat pemeriksaan di poli kandungan tadi. Naima hanya meringis, tak mampu berkata. Ia menyembunyikan banyak hal, hanya mengatakan Albe belum siap dengan kehamilannya. Maka ia memutuskan untuk dirawat saja. “Lo serius mau balik ke sana?” tanya Tiara, ia menggendong tas carrier yang
Mungkin inilah saatnya setiap tawa menjadi lara, dan setiap kesatuan menjadi porak poranda. Harusnya ia paham maksud dari kata yang terucap sejak awal setelah pernikahan kilat mereka, bahkan tak pernah ada kesepakatan untuk setiap hal intim yang mereka lakukan jika membuahkan hasil. Bahkan dari awal, pil kontrasepsi sudah menjadi hal pertama yang menjadi pembahasan. Jadi, sebutan kekasih akan selalu tersemat, dan harusnya ia tak terlena karena ia bukanlah segalanya. Walaupun sah di mata agama, tapi bagi pasangannya itu hanyalah ikrar semata. Kekasih tak berhak menuntut hak lebih. Apakah ia sebagai seorang istri ada hak untuk menuntut? Siapa yang akan tahu, hasil penyatuan diri akan menjadi bagian dari kisah mereka. Walaupun itu bukan sebuah aib, itu adalah bentuk konsekuensi. Ah, takdir bisa sangat menyulitkan. Tapi bisa juga sangat membahagiakan pada saat bersamaan. Albe meraih boxernya, ia bingung dan marah, melihat Naima yang terpekur di pinggiran ranjang, perutnya membunci
"Bisa antar aku ke stasiun, Ra?" pinta Naima. Tiara menatap Naima dengan prihatin. "Ya udah, ayo!" tanpa banyak bertanya, Tiara menyetujui. Untuk saat ini ia hanya akan mengangguk pada apapun yang Naima mau, tak akan bertanya dan banyak bicara. Selama mengenal Naima. Perempuan itu tak pernah mengungkapkan kesedihannya berlebihan, jarang marah dan selalu menyimpan luka sendiri. "Nai! Seruan Viran membuat dua orang perempuan yang sudah siap di atas motor menengok. Naima terkejut, karena ia tak melihat viran tadi. "Kamu mau kemana?" tanya Viran dengan nada yang Naima baru dengar sekarang, tidak ada -lo gue- ala pemuda Jakarta memanggilnya. "Gak kemana-mana, Bang. Tolong temuin Albe dulu ya, please. Nai mau ketempat saudara dulu. Ada yang harus Nai urus," ucap Naima, berharap Viran tidak cerewet kali ini. Viran mendesah lelah, menatap Tiara yang ada di belakang kemudi, sudah memakai helm. "Ya, udah. Hati-hati, ya? Kalau butuh apa-apa kabarin Aban
Naima memeluk Tiara dengan erat, sungguh terasa berat sahabatnya itu untuk melepaskan“Jangan sampai ponsel lo mati, pokoknya harus sering ngabarin. Lo gak boleh kecapean, kalo bulek kamu jahatin kamu, kamu lawan ya?” titah Tiara, kelopak gadis itu sudah mengembun. Tiara jarang sekali memperlihatkan perasaannya, tapi penerimaan Naima di saat ia terpuruk membuat Tiara sangat menyayangi wanita hamil itu.“Siap Ibuk!” jawab Naima mengelus punggung Tiara yang mulai bergetar menahan tangisan. Naima melepaskan pelukannya, meminta tas carrier yang masih berada di punggung Tiara. Mengingat awal kedatangannya ke kota ini, ia menggunakan tas itu, hanya baju yang berbeda. Rasa sesak akan meninggalkan Jakarta dan semua kenangan juga sang suami, membuat Naima tak bisa membendung air mata yang terus menganak sungai.“Jangan bilang apapun pada suamiku ya, Ra? Aku ingin tenang dulu. Dan dia juga ... kita butuh jeda,” ucap Naima, menghirup napas dalam lalu mengembuskan perlahan.“Kalaupun dia memaks
Dalam kelam yang menyelimuti malam, ada pinta yang tak mampu menyapa. Ia adalah semburat warna merah muda yang tertutupi oleh lara. Jiwanya yang nelangsa ingin menghadirkan asa yang sudah terbang entah kemana. Dalam rindu yang diam-diam merasuki kalbu, tapi tak ada harap menanti temu. Ia sembilu yang menggores di kalbu. Dan tak tahu malu memporak-porandakkan waktu. Kalam cinta yang harusnya mengalun sendu, menjadi jeritan luka yang menghadirkan nelangsa. Ah, betapa setianya kesedihan, ia datang tak saja sendiri bahkan komplotannya pun juga melingkupi. Airmata, lara, nelangsa, dan nestapa mengapa kau juga menyapa. Tak cukupkah satu saja. Supaya akan gampang menghapusnya. Desahan dengan getaran terdengar samar, dari bibir yang tak mampu mengucap kata di temani mata yang memerah pedih. Juga kegalauan yang mena
Semesta sedang membuat cerita, tak seperti kisah Rama dan Shinta yang berakhir bahagia. Kisah Naima masih samar-samar. Telaga yang ada di depan mata adalah nestapa, tanpa ada semburat bahagia. Ia yang sebatang kara, hanya bisa berpasrah pada sang pembuat cerita. Dalangnya adalah Tuhan yang maha kuasa dan lakonnya adalah ia dan suami tercinta. Ah, apakah masih layak disebut suami? Mengasingkan diri di tempat kelahirannya, berharap resah segera enyah. Namun nyatanya gelisah lah yang kembali bertahta dan tak juga sirna. Dalam jarak yang membentang, wajah itu tetap tersemat, senyum itu tetap terbayang di pelupuk mata, dekap itu tetap terasa hangat membelenggu jiwa. Walau hanya lara yang terasa, saat ia membuka mata. Fajar pagi menari-nari bersuka cita menyambut sang mentari yang mulai menyinari hari. Tetesan embun pagi yang suci harus r
“Viran! Aku tak bisa seperti ini, menunggu dan semua tidak pasti!” geram Albe mondar-mandir meremas tangannya bergantian. Jelas pria itu sedang kelimpungan, rasa bersalah dan rasa khawatir menjadi satu. “Terus, mau lo apa? Jadwal sidang isbat sudah hampir deadline,” jawab Viran sekenanya, jarinya memutar-mutar pena di atas meja, sementara dua kakinya juga tersilang bertumpu di meja yang sama. “Kita harus mencari Naima, aku tidak bisa tenang. Bagaimana keadaanya, di mana ia tidur, apa yang dia makan … Aku bisa gila memikirkan itu semua!” rutuk Albe dalam kegelisahan yang menyelimuti jiwanya. Wajah itu tak semulus biasa, cambang menghiasi rahang kokohnya, sorot cemerlang menjadi sayu dan penuh duka. Ditinggalkan belahan jiwa ternyata sangat menyiksa tidak hanya jiwa tapi juga raga. Namun, ia juga harus memenuhi keinginan istri tercinta yang tak pernah terungkap dengan kata. Pernikahan mereka sah negara, dan dia sedang mengupayakannya. “Lo mau cari sendiri apa orang gue aja? Bakalan su
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang