Mata besar Maeera terbelalak. "Bukankah dia pria berjas putih yang makan malam bersamaku dan orang tua Gin tempo hari. Kalo begitu dia masih bagian dari keluarga Liong, jangan-jangan dia adik tiri Gin." Maeera panik. "Ya Tuhan, apa dia mengenaliku. Apakah aku aman?" Maeera mulai gusar. Tak ingin pria itu sadar siapa dirinya, Maeera cepat-cepat balik badan dan pergi. Tapi sebelum itu .... "Boleh aku meminta itu?" tanya Maeera sembari menunjuk masker di tangan kanan Kai. "Tapi, ini sudah kupak—" perkataan Kai terputus karena Maeera sudah lebih dulu mengambil masker di tangannya secara paksa. "Tak apa. Berikan padaku!" Maeera mengambil masker itu kemudian mengenakannya. "Terimakasih," ucap gadis manis itu lalu berjalan cepat meninggalkan Kai Yuta yang masih ternganga melihat kelakuan ganjil Maeera. **** Di dalam gedung, Gin Yuta gelisah mengetahui Maeera menghilang. "Aku dengar ada keributan di sana, apa dia ada di sana?" tanya Gin pada asisten Eri. "Tidak ada, disana ha
Awalnya ia hanya pura-pura pingsan, tapi tenyata malah keterusan hingga ketiduran. Bangun-bangun, Maeera terkejut dia sudah ada di atas ranjang dengan gaun pesta masih melekat di tubuhnya. "Ya ampun, aku ketiduran," Maeera terbangun dengan wajah panik. Segera ia turun dari ranjang dan berlari ke ruang baca untuk memeriksa jam berapa sekarang. Terlihat jam dinding telah menunjukkan pukul 08:00. Panik, Maeera segera mencari di mana suaminya berada. "Tuan muda sudah berangkat ke kantor, anda diminta segera menyusulnya sebelum pukul 09:00. Asisten Eri sudah ada di bawah menunggu anda," ucap seorang pelayan yang sedang merapikan ruang baca pada Maeera, begitu sadar Maeera telah bangun.Maeera mengangguk. "Oh, terimakasih, bibi," ucapnya. Asisten rumah tangga itu terlihat tersenyum tipis pada Maeera. Tak ingin membuang-buang waktu, Maeera segera berlari menuju kamar mandi dan bersiap pergi ke kantor. Hari ini ada rapat penting di perusahaan yang akan di hadiri ayah mertuanya dan ayahny
Maeera bergegas kembali ke ruangan kantornya.Dengan wajah kusut dan kuyu karena perutnya terasa sakit dan kram, gadis manis itu menggerutu kesal karena lagi-lagi ia bertemu dengan Kai Yuta, adik iparnya. Sama seperti kakaknya, bagi Maeera, Kai Yuta juga sama menyebalkannya. Setiap kali bertemu dengan pria berbibir tipis itu, ia selalu saja dalam keadaan terburuknya.Berjalan gontai menuju ruangannya, dari kejauhan Maeera melihat satu lagi masalah datang menghampirinya. Ayla, gadis berambut pirang itu terlihat berjalan tergesa-gesa menuju arahnya sembari membawa setumpuk kertas dalam pelukannya. Dengan ekspresi panik dan sibuk, ia berkata, "Maeera, suamimu memintamu untuk merapikan dan menyiapkan berkas-berkas ini untuk rapat nanti. Selain itu, kau harus mengambil berkas-berkas lainnya di ruangannya dan menaruh berkas ini di sana juga." Ayla menyerahkan tumpukan kertas itu pada Maeera."Suamimu dan aku akan keluar sebentar karena ada urusan mendadak di luar kantor," ucap Ayla semba
Maeera hanya bisa diam sembari menggigit ujung bibirnya mendengar pertanyaan menohok dari Kai Yuta. Ia sedang tak ingin menjelaskan apa-apa, pikirannya sedang tersita sepenuhnya pada rasa sakit di perutnya, yang semakin menggila.Tapi begitu ingat berkas-berkas kotor yang terkena noda kopi di atas meja, rasanya sakit menjadi tak seberapa. Setidaknya, Kai mungkin bisa membantunya."Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya, tapi apa aku boleh minta tolong padamu, dan janji jangan pernah bilang pada siapa pun. Jaga rahasia ini. Tolong bantu selamatkan hidupku," ucap Maeera dengan suara lirih. Mendengar permintaan kakak iparnya, Kai mengangguk pelan."Katakan apa yang bisa aku bantu," tanya Kai sembari duduk di sofa dekat Maeera"Bisakah kau membantuku memperbaiki kertas-kertas itu. Maksudku, aku melihat beberapa orang mengetik disitu—" Maeera menunjuk laptop "—Lalu mengeluarkannya dari sana (printer)."Dengan wajah terkejut dan tak percaya, Kai bertanya, "Apa kau tak bisa menggunaka
Tuan Josrg Yuta nampak terkejut melihat putra bungsunya Kai Yuta, yang baru saja kabur dari ruangannya, tiba-tiba berjalan tergesa-gesa kembali ke ruangnya.Itu sungguh pemandangan yang langka, tak terlihat seperti kebiasaan putranya. Biasanya setelah kabur, pria 25 tahun itu akan langsung menghilang dan tak akan kembali ke kantor hingga keesokan harinya. Melihat putranya mendorong pintu memasuki ruangannya, tuan Josrg Yuta pura-pura tak melihatnya. Ia pura-pura sibuk memoles bidak caturnya yang terlihat masih bersih mengkilap."Ayah, apakah hari ini kau ada rapat dengan kakak," tanya Kai sembari berjalan mendekati ayahnya. Tuan Josrg Yuta tersentak, kemudian menolehkan kepalanya. "Kenapa?" Ia bertanya dengan wajah penasaran. Tak biasanya putra tunggalnya dengan nyonya Isihiika itu tertarik dengan masalah kantor. "Sudah batalkan saja, sebagai kompensasinya aku akan menemani ayah bermain catur seharian atau pergi memancing," ajak Kai. Ia tahu ayahnya saat suka memancing, bahkan di
Mobil sedan hitam yang biasa dikendarai Gin, terlihat berhenti di depan mansion. Tak berapa lama, Maeera dan Gin keluar dari mobil itu bersamaan. Keduanya terlihat lelah sepulang dari kantor."Suamiku sini aku bantu," ucap Maeera. Ia ambil tas kerja suaminya kemudian ia gandeng tangan pria buta itu untuk masuk ke dalam mansion. Baru saja melangkahkan kaki memasuki pintu mansion, seorang asisten rumah tangga tiba-tiba datang menghampiri Maeera, sembari membawa sebuah paper bag kecil berwarna putih. "Tuan muda Kai Yuta tadi datang kemari, dia menitipkan ini untuk diberikan kepada anda nyonya," kata asisten rumah tangga itu sembari menyerahkan paper bag putih kecil di tangannya pada Maeera. Maeera menerima paper bag itu, lalu mengintip isi di dalamnya. Ternyata sebuah ponsel berwarna putih seperti ponsel pemberian Ayla. Maeera cukup terkejut, ia tak mengira pria tengil itu akan benar-benar membelikannya sebuah ponsel. "Terimakasih," ucap Maeera begitu tau apa isi tas tersebut. Asist
Di ruangan baca Sango Side Manor yang mirip perpustakaan tua. Duduk di meja kerja sembari menatap laptop, Rin Leung terlihat berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya. Setumpuk buku tebal, terlihat berada di sampingnya dengan jari-jemarinya tiada henti mengetikan sesuatu. Dengan dahi berkerut dan mata fokus melihat ke layar laptop, ia terlihat beberapa kali membetulkan kacamata baca yang ia pakai. Konsentrasinya terlihat mulai terganggu saat seorang pria berjalan tergesa-gesa masuk ke ruangannya. Pria itu terlihat datang sembari membawa sesuatu di tangannya. "Bos, ada kabar terbaru dari luar pulau," ucap pria itu. Mendengar kata luar pulau, Rin langsung menghentikan aktifitasnya kemudian mendongakkan kepalanya, menatap tajam pria setengah baya yang berdiri tegap di seberang meja, di depannya. "Katakan!!!" ucap Rin dengan tatapan datar dan dingin. Tanpa basa-basi, pria berkemeja kasual berwarna abu-abu itu segera menyerahkan lembaran koran yang ia bawa pada bosnya. Selintas t
Maeera bangun dan terkejut, saat melihat selang infus terpasang di tangannya, tapi ia lebih terkejut lagi saat melihat suami palsunya, Gin Yuta, tertidur lelap di sampingnya dalam posisi duduk sembari memegang tangan kirinya yang terpasang infus. Ia tatap pria itu dalam-dalam. "Ternyata benar-benar tampan," gumamnya dengan senyum kecil terkembang di wajahnya, menertawakan kata-kata naif itu di pikirannya.Dia hampir lupa siapa dirinya, dan bagaimana posisinya. Dia hanyalah sementara, sekedar pengganti saja. Saat Avani kembali, maka ia harus menyerahkan posisinya saat ini kepada sang pemilik asli. Tak lama, tiba-tiba salah satu ponsel yang ada di atas meja nakas, berdering, terlihat satu panggilan masuk. Mendengar suara ponsel berdering, Gin segera terbangun dari tidurnya lalu mulai meraba nakas dan mengambil ponsel yang menyala. "Wei?" sapa Gin begitu panggilan tersambung. "Oh tuan Van. Putrimu masih tertidur," ucapnya. Mendengar kata-kata putrimu, Maeera tersentak lalu bangun da
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s