Sebuah Mini Cooper warna merah, terlihat berhenti tak jauh dari gerbang utama Lotus Hall. Dari dalam mobil, terlihat dua orang wanita sedang sibuk berdiskusi sembari mengawasi keadaan di luar.
"Apa kita tak bisa masuk ke sana?" tanya Maeera pada Ayla.
Ayla menggelengkan kepala. Matanya sibuk melihat keadaan di luar.
"Hanya orang yang memiliki kartu akses yang bisa masuk ke sana, dan yang memiliki kartu akses adalah keluarga inti dari grup Liong," terang Ayla sambil terus mengawasi gerbang utama Lotus Hall melalui kaca depan mobilnya.
"Oh ... seperti itu," Maeera menganggukkan kepala.
Sadar keadaan belum sepenuhnya terkendali, Maeera lalu mencoba mengungkapkan isi kepalanya.
"Bagaimana jika kita batalkan saja rencana ini. Lagi pula kita berdua tidak memiliki kartu akses untuk bisa masuk ke sana," ujarnya.
Mendengar perkataan Maeera, Ayla langsung menolehkan kepalanya ke arah gadis berkulit kuning
Maeera dan Ayla berjalan masuk ke sebuah ruangan berukuran super besar di salah sudut Lotus Hall. Begitu masuk, kedua wanita itu dibuat terkagum-kagum dengan betapa luasnya ruangan itu. Para asisten rumah tangga dan juga Ayla, menyebut ruangan itu dengan sebutan walk-in closet. Ruangannya sangat luas, hampir seluas lapangan tenis. Di dalamnya, tersimpan berbagai jenis pakaian karya desainer ternama, sepatu dan tas dari merek-merek terkenal, serta aksesoris-aksesoris mahal bernilai ratusan juta hingga miliaran. Tak hanya luas, ruangan itu juga memiliki desain interior yang sangat mewah dan elegan, dengan dominasi warna putih di setiap sudutnya. Lantainya terbuat dari marmer putih, tampak bersih dan mengkilap, dengan dinding kaca besar menghadap langsung ke laut. Di dalamnya terdapat deretan almari kaca dengan rangka kayu jati solid yang lapisi dengan cat lacquer warna putih, membuatnya terlihat lebih mengkilap dan
Sebuah sedan mewah berwarna hitam, terlihat berhenti tak jauh dari bangunan utama Lotus Hall. Seorang pria duduk di bagian pengemudi, sedangkan pria satunya lagi duduk di kursi belakang sebagai penumpang. Keduanya terlibat dalam sebuah percakapan. "Bagaimana, apa dia keluar dari mansion?" tanya Gin. Asisten Eri menggelengkan kepala. "Dia tidak keluar dari kediaman sejak datang bersama temannya," jawab Eri. Gin mengangguk mendengar penjelasan Eri. "Terus pantau gerak geriknya," perintah Gin. "Baik!" sahut Eri. "Kau sudah mendapatkan datanya?" tanya Gin lagi. "Sudah. Akan langsung saya laporkan kepada anda usai makan malam," balas Eri. "Ok," kata Gin singkat. Ia kemudian melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil, ke deretan pepohonan cemara yang menjual tinggi. Pria berdarah Kanada-Jepang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Hemmm ... ini cukup menarik. Aku sudah memberinya kesempatan untuk kabur, tapi dia memilih kembali. Artinya dari awal dia memang memiliki tuju
Duduk di meja kerja yang terbuat dari kayu ek berwarna cokelat tua, di sebuah ruangan besar mirip perpustakaan dengan rak penuh berisi buku-buku tebal dari berbagai bahasa, sang ketua mafia Rin Leung, terlihat sibuk memoles pistol semi otomatis FN Five-seven kaliber 5,7 mm di tangan kirinya. Ia terlihat fokus membersihkan pistol kesayangannya itu dengan hati-hati. Ruangan itu terlihat sangat nyaman, interiornya di desain dengan gaya neoklasik, yang menonjolkan penggunaan kubah bulat melengkung di langit-langitnya. Rak-rak kayu berwarna gelap dan lukisan-lukisan yang rumit di dinding, terlihat mendominasi. Deretan lampu gantung kristal, terlihat ditata secara horizontal mengikuti alur rak buku. Ditengah ruangan, terdapat sebuah meja kerja lengkap dengan lampu baca dan sebuah jam pasir kuno. Suasana ruangan itu hening dan sepi, yang terdengar hanya suara gesekan lembut antara kain katun dengan permukaan pistol, bercampur dengan bau kayu ek dan buku-buku tua. "Bagaimana pengirima
Rin Leung berjalan pelan menyusuri jalanan beraspal, menikmati semilir angin sore sembari mendorong kursi roda Avani menuju sebuah padang bunga di tepi pantai tak jauh dari Sango Side Manor. Hamparan bunga nemophila atau baby blue eyes yang sedang mekar, terlihat memenuhi seluruh area padang.Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan bunga kecil berwarna biru cerah bermekaran, nampak berayun ke kanan dan ke kiri diterpa hembusan angin. Bunga berwarna biru muda dengan aksen putih di tengah mahkotanya itu, tampak menyatu indah dengan birunya ombak samudra Hindia dan langit senja. "Kau menyukainya," tanya Rin.Avani menganggukkan kepala. Perhatiannya tersita pada segerombolan kupu-kupu yang sedang terbang di antara bunga-bunga nemophila yang sedang mekar.Sejenak, Avani melupakan semua duka di hatinya, melupakan betapa manipulatifnya Rin Leung pada dirinya. Ia sibuk menikmati hamparan bunga nan indah itu.Dengan senyum merekah di bibirnya, gadis berambut panjang itu memejamk
Sebuah ruangan besar berdinding kaca, menampilkan pemandangan malam yang indah dari lantai dua sebuah restoran bergaya Asia-Eropa di pusat kota. Di tengah ruangan, terlihat meja makan besar dengan lima buah kursi mengelilinginya. Terlihat seorang wanita berusia sekitar 45 tahun, memakai cocktail dress warna hitam, dengan kalung mutiara di lehernya, sedang duduk manis di salah satu kursi.Wanita cantik itu duduk di samping seorang pria paruh baya berpenampilan rapi dalam balutan dinner suits warna hitam. Mereka adalah Josrg Yuta dan istrinya Isihiika Reiner. Ayah Gin dan ibu sambungnya.Di samping wanita paruh baya itu, duduk seorang pria muda memakai setelan jas single breasted warna putih dengan gaya rambut acak-acakan, ia terlihat sedang sibuk bermain ponsel.Pria berjas putih itu terlihat beberapa tahun lebih muda dari Gin Yuta, namun keduanya terlihat sama tampannya. Dari kejauhan, terlihat Maeera berjalan masuk ke ruang besar itu sembari menuntun suami palsunya, Gin Yuta. Deng
Suasana di meja makan itu tiba-tiba berubah menjadi tegang. Semua mata kini tertuju pada Maeera. Mereka penasaran, dengan apa yang dikatakan oleh putra bungsu mereka, Kai Yuta. Bahwa ada yang aneh dengan penampilan menantu mereka malam ini. "Menantuku kau tak apa?" tanya nyonya Isihiika. Sadar menjadi pusat perhatian, Maeera cepat-cepat menyembunyikan wajahnya dibalik jari jemarinya yang lentik. Ingin rasanya ia menghilang dari tempat itu, dan pergi jauh entah kemana. Beruntung sebuah ide cemerlang namun gila muncul di benaknya. Jika dalam kondisi normal, mungkin ia tak akan mau melakukannya, tapi karena ini dalam kondisi mendesak, tanpa banyak berpikir, ia langsung merealisasikan ide tersebut. Ia letakkan telapak tangannya di depan mulut, lalu mengeluarkan suara paling menggelikan di dunia. "Hoeeek ... hoeeek ... hoeeek ... " pekik Maeera Ibu tiri Gin langsung panik mengetahui menantunya mual-mual ingin muntah. "Menantuku kau tak apa, apa kau hamil?" tanyanya. "Suamiku, kita
Sebuah sedan mewah berwarna hitam, melaju cepat meninggalkan restoran bergaya Asia-Eropa, tempat keluarga Gin mengadakan jamuan makan malam. Di kursi belakang sedan mewah itu, duduk Maeera yang sedang sibuk melepas sepatu hak tingginya. Ia lepas sepatu mahal itu satu per satu, kemudian memeriksa bagian belakang kakinya yang terasa nyeri. Terlihat, ada luka lecet yang cukup dalam di kedua tumitnya. "Auwh ... " teriak gadis manis itu kesakitan, saat tangannya menyentuh pinggiran luka. "Ini mengerikan sekali," gumamnya. Asisten Eri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Maeera, terlihat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istri tuannya itu. Dengan suara pelan dan sopan, ia mencoba bertanya pada Maeera. "Nyonya, anda ingin saya antar ke rumah sakit mana?" tanya pria berambut belah tengah itu. Mendengar pertanyaan asisten Eri, Maeera gelapan. Ia lupa jika ayah mertuanya tadi mengizinkannya pergi dari jamuan makan malam karena menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter. "Rum
Di tengah dinginnya malam musim kemarau yang panjang. Maeera berjalan pelan menyusuri trotoar di sepanjang kota Bulan yang mulai sepi. Terlihat beberapa pedagang mulai menutup tokonya, karena malam mulai larut. Meski suasana di sekitar trotoar cukup sepi, tapi gadis miskin itu tak merasa takut sedikit pun. Senyum cerah tersungging di wajahnya. Rasa senang di hatinya, mengalahkan rasa takut yang ada. "Menyenangkan sekali, bisa jalan-jalan seperti ini. Ah, andai nenek masih hidup dan aku memiliki banyak uang," kata gadis berkulit kuning langsat itu, sembari terus berjalan menyusuri trotoar.Setelah apa yang terjadi selama jamuan makan malam bersama orang tua Gin, di mana identitasnya sebagai pengantin palsu hampir terbongkar, Maeera lega bisa berada di sini.Di trotoar yang sepi ini, ia yang miskin bisa kembali menjadi dirinya sendiri, tak lagi berpura-pura menjadi nona muda Avani Lie, sosok yang bahkan tak pernah ia temui. Setelah cukup lama berjalan menyusuri trotoar seorang diri,
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s