Setelah terdiam beberapa saat, Dian menatap pada Ayu yang duduk di sampingnya. Mata Dian mencari tahu apakah ada luka yang dirasakan sahabatnya atau tidak."Ayu."Ayu tidak menjawab, dia hanya menoleh tanpa ekspresi karena wanita itu sedang berusaha menghilangkan semua kenangannya dengan Gio. Dia bukan marah, hanya berusaha mengganti kesedihan dengan senyum semringah."Maaf, aku tidak bilang sejak awal di telepon kalau yang mau melamar itu Gio. Semua terjadi begitu saja, aku sendiri tidak menyangka dan merasa ini semua mimpi." Dian berusaha menjelaskan, hatinya sudah merasa kuat untuk menerima cacian karena dia memang juga memiliki salah."Waktu Dani memintaku ke sebuah tempat yang ternyata adalah rumah bambu peninggalan kakek Gio. Di sana tiba-tiba aku ditanya tentang lamaran, aku menolak, mereka mendesak.""Ini tentang kamu. Dani sama Gio minta aku telepon kamu buat mencari petunjuk. Ya katamu saat itu ikhlas, makanya aku memberi izin untuk Gio ke rumah. Tapi sebelum menjawab, aku s
Pukul sepuluh pagi, Ayu dan Akbar kembali duduk di depan rumah menanti hujan turun karena langit sudah mendung sejak sepuluh menit yang lalu. Ayu tidak mengerti, dia hanya menduga langit sedang berduka untuknya.Namun, benarkan demikian?Terkadang memang harus mengalah pada keadaan, jangan menangis dan tersenyumlah agar orang lain mengira hatimu sedang baik-baik saja. Ya, kata 'baik' itu yang harus selalu Ayu tekankan pada dirinya sendiri."Gimana perasaanmu selama hamil, Ay? Kok kayak biasa aja ya?"Ayu menatap perutnya. "Biasa gimana? Orang kemarin aku mual kalau kamu puji."Detik itu juga Akbar tertawa sedikit keras, wajahnya memerah sambil memegangi perut. "Apa mau aku kerjain setiap hari?""Mau anak sama istrimu celaka? Bisa-bisa aku balas dendam terus ngerjain kamu minta beli ini itu, ujung-ujungnya nyuruh kamu makan dengan alasan debay yang mau padahal canda doang.""Kerjain suami dosa tau!"Tiba-tiba Ayu merasa mengantuk, dia pamit pada Akbar untuk istirahat sebentar. Lelaki i
Sepuluh menit menunggu di kamar dengan perasaan kacau, akhirnya Ayu nekat menyusul Akbar ke luar. Banyak pertanyaan yang mengusik pikirannya dan sudah tidak tahan untuk dipendam lebih lama.Tangan Ayu terkepal berusaha menyembunyikan kegugupan, tetapi begitu sampai di dekat pintu, dia mengembus napas kasar lantas tersenyum semanis mungkin."Masih di sini?" tegur Ayu pada Akbar yang menatap lurus ke depan, tersentak kaget."Eh, iya. Kamu gak tidur?""Enggak, baring doang tadi gak bisa tidur juga. Karena suntuk di kamar sendirian, mending nyusul kamu lagi."Akbar mengambangkan senyum, dia jadi curiga kalau Ayu mendengar pembicaraan mereka bertiga tadi. Jadi, dia berinisiatif untuk mencari tahu tanpa menjelaskan secara gamblang.Posisi mereka kini saling berhadapan, langit semakin mendung menambah suasana dingin dalam hati. Akbar menggigit bibir kepikiran masalah tadi."Kamu ... kamu tadi cuma baring di kamar? Gak ke mana-mana?""Iya, baring doang. Tapi kok aku kayak denger kamu bicara?
"Kebaikan apa dengan memisahkan aku dari Ayu, Bu?"Bu Layla tidak menjawab, dia menarik tangan Akbar keluar kamar lagi. Tidak peduli jika anaknya harus pergi dari sana karena di rumahnya juga masih ada banyak baju Akbar.Terlalu nekat dan memikirkan omongan orang membuat Akbar berusaha dipisahkan dari istri yang sedang hamil. Dia tidak akan semudah itu diatur, Akbar adalah pemimpin dalam keluarganya sendiri.Dia melepas cekalan tangan Bu Layla. "Tidak. Aku gak bakal mau dipisahin sama Ayu. Kami tidak ada masalah, jadi lebih baik ayah sama ibu pergi dari sini. Lupakan isu itu.""Gak, kamu harus ikut sama ibu. Ayu biar di sini aja. Kamu jangan terlalu bucin, Akbar. Ayu harus diberi pelajaran biar tahu ternyata kehilangan kamu itu menyakitkan. Dia gak bakal bisa mencintai kamu kalau belum pernah kehilangan kamu, Akbar!" Mata Bu Layla berlinang.Akbar jadi tidak tega melihatnya. Memang benar apa yang dikatakan sang ibu bahwa Ayu tidak akan pernah merasa kehilangan dan cinta kalau mereka b
POV Ayu Syafitri..Aku tiba di rumah tepat setengah jam yang lalu setelah azan berkumandang, jadi ibu tidak memiliki kesempatan untuk bertanya banyak hal. Sekarang aku duduk di atas sajadah, bersimpuh memohon kekuatan hati kepada Tuhan.Setiap masalah pasti memiliki jalan keluar, aku percaya itu. Hanya saja kita perlu menunggu waktu apakah solusinya datang di saat cepat atau lambat. Akan tetapi percayalah, itu adalah saat yang tepat."Semoga ibu gak nanya berlebihan," monologku berakhir dengan embusan napas berat.Dada terasa sesak, aku kesulitan mengambil napas. Ketika teringat perkara tadi membuatku kembali ingin menumpahkan tangis. Sampai sekarang aku masih berpikir alasan tepat mertua memisahkan kami.Namun, sekalipun ada prasangka buruk menyelinap dalam hati, aku akan selalu tersenyum. Jika pun harus diintrogasi oleh ibu karena pulang ke rumah sendirian, tetap harus bercerita yang baik saja sekalipun harus berbohong.Bagaimana tidak, aku sangat tahu perangai ibu. Sekalipun beli
Dalam perjalanan, aku terus menjelaskan pada ibu kalau memang hal ini dilakukan demi kebaikan kami. Tetangga saja tahu kalau ibu suka sekali bertindak lebih dan jika bertemu dengan mertua nanti, pasti terjadi perdebatan panjang.Melihat ibu yang menolak penjelasan, aku risau sambil memandang ponsel melihat last seen Akbar. Sejak pesan yang dia kirim tadi, dia tidak lagi online. Rasa khawatir semakin merajalela.Di satu sisi aku bahagia karena akan bertemu Akbar dan memastikan dia baik-baik saja, di sisi lain takut justru menuai rasa kecewa. Lokasi semakin dekat, jantung berdegup cepat."Ibu sudah memikirkan semuanya. Kalau nanti kita sampai di rumah mertuamu dan mereka tetap kekeh untuk misahin kalian atau tetap campur tangan, maka memang lebih baik cerai saja. Ibu nyesal nikahin kamu sama dia.""Cerai?" Aku tertawa kecil.Seharusnya sebagai orang tua, ibu tidak mengatakan demikian. Bagaimana bisa menyesal dan meminta kami cerai setelah Gio menikah? Ataukah pernikahan ini mereka angga
POV Author..Setelah Ayu pergi bersama ibunya, Akbar mengacak rambut karena tidak menyangka masalah ini akan menjadi penghalang untuk dia bahagia bersama Ayu. Padahal sebelumnya sudah sangat senang karena tahu istrinya kini ikhlas menerima takdir."Kamu harus menurut sama ibu, ceraikan Ayu sekarang juga. Telepon dia kalau perlu, jadi gak usah ketemu lagi!" cetus Bu Layla masih emosi.Dia sangat marah pada Bu Nur karena telah meremehkan Akbar. Kalimat-kalimat terakhir mereka sebelum berpisah menjadi pemicu amarah sulit dihilangkan. Dalam keadaan apa pun, wanita paruh baya itu tidak lagi menginginkan kehadiran Ayu sebagai menantunya."Gak. Aku gak bakal ceraiin Ayu, Bu. Dia istriku, kebahagiaanku.""Sudah ibu bilang, kan sejak tadi, mending kamu nikah sama Steva. Katanya dia mau berubah tuh demi kamu, jadi bisa dapat pahala doble, kan? Pertama menikah, kedua merubah penampilan Steva.""Menikahi Steva dan membuang Ayu, itu tidak akan pernah terjadi. Ibu jangan bicara sama Steva kalau g
Dua puluh lima hari berlalu, mereka belum juga disatukan. Bukan hanya Akbar, Ayu pun sangat berusaha. Wanita hamil itu menangis setiap hari merindukan suaminya yang tidak pernah memberi kabar.Rasa sakit yang didera, seharusnya Ayu selalu bahagia. Sejak berpisah dari Akbar, dia tidak pernah tersenyum barang sedetik. Jiwanya terasa hilang, wajah cerianya juga hilang.Dian tahu masalah itu karena tidak pernah melihat mereka di rumahnya. Ketika dia mendatangi rumah Ayu tiga hari yang lalu, tetap saja gagal untuk menghibur. Ayu memang mengizinkan Dian menemuinya, tetapi wanita itu tidak mendengar satu kata pun yang diucapkan sahabatnya.Sudah sepuluh kali pula Ayu kabur dari rumah ketika ibu dan ayahnya sedang tidak ada. Bukan menuju rumah mertua, tetapi rumahnya sendiri berharap di sana ada Akbar yang tersenyum menyambutnya.Ayu hanya memandang dari luar karena melihat pagar rumah yang masih tertutup rapat. Dia tahu Akbar tidak pernah datang ke sana. Banyak dugaan yang mengusik pikiran A
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj