“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.”—Ibnu Athaillah Al-Iskandary***Bahkan setelah mandi sekalipun, Ayu tetap tidak bisa tenang. Padahal kata orang, dengan keramas bisa menyegarkan pikiran. Tidak dengan wanita itu, dia sangat sibuk memikirkan di mana keberadaan Akbar.Entah, dia tidak memberi kabar yang jelas. Ayu semakin merasa bersalah. Kepergian Gio harusnya membuat dia sadar kalau mereka memang tidak ditakdirkan bersama dan rasa rindu yang Gio ucapkan adalah ujian bagi pernikahan Ayu.Setan telah mengalahkan keduanya. Baik Gio ataupun Ayu, mereka sama-sama tidak bisa menahan diri. "Aku salah, aku harus meminta maaf begitu Akbar kembali!" gumamnya memukul jidat pelan berulang kali.Baru saja Ayu ingin menelepon Akbar ketika pintu kamarnya diketuk berulang kali. Sudah pukul sebelas siang, pasti itu Akbar. Ayu menduga-duga.Akan tetapi, ketika daun pintu terbuka lebar,
Setelah salat zuhur tadi, Ayu diminta Akbar pulang ke rumahnya diantar Dian. Wanita itu merana sendiri karena semakin penasaran apa yang akan terjadi nanti.Tidak ada petunjuk membuat Ayu sulit menerka sebuah jawaban. Hatinya resah, dia tidak berhenti mondar-mandir di ruang tamu sekalipun kepalanya sudah berdenyut nyeri."Mungkin ini hukuman buat aku, Dian, karena sudah ngeremehin suami sendiri.""Enggak kok, tenang aja. Kamu harus berprasangka baik dan minta pertolongan sama Allah."Jawaban Dian memang bisa menyejukkan hati, tetapi tidak berlaku bagi Ayu yang merasa sudah keterlaluan. Dia menyadari semua kesalahan itu dan semoga saja Akbar mau menerima permintaan maafnya.Ini bukan kali pertama, Ayu memang sudah sering meminta maaf hanya karena masalah Gio. Bagaimana Akbar bisa yakin kalau pernikahan mereka bisa lanjut ke depannya?Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Jantung Ayu berpacu cepat, kakinya terlalu lemah untuk menopang berat badan apalagi berl
Di sebuah rumah bambu milik mendiang kakek Gio, ada dua pemuda yang saling menikmati kopi. Tentu saja dia adalah Dani dan Gio. Mereka sama-sama memiliki masalah hidup dengan kadar yang berbeda.Rumah bambu itu tersembunyi, hanya dilihat oleh beberapa teman Gio saja. Ayu dan juga Dian termasuk dalam pengecualian. Sebuah tempat yang asri tidak boleh diketahui oleh mereka berdua, begitu pikir Gio selama ini."Sebenarnya aku juga bingung gimana cara menghindari Ayu lagi, Dan. Kamu sebagai laki-laki tentu paham gimana perasaan aku, kan?"Dani mengangguk samar. "Perempuan, kalau dia sakit hati karena ditinggal kekasih, paling seratus hari kemudian sudah bisa move on. Kalau pun ada yang menunggu bertahun-tahun, maka hanya lima dari seratus orang saja. Berbeda dengan laki-laki, mereka itu terlihat baik-baik saja. Dia haha hihi sana-sini padahal hatinya hancur.""Iya, bener. Aku kayak gitu tuh. Keliatan dari luar oke aja, tapi hati gak bisa dibohongi, men. Aku gak bisa ngelak kalau masih ada r
Setelah menelepon Dian tadi, Dani memutuskan untuk menjemput sang adik saja. Gio mengizinkan gadis itu mengetahui rumah bambunya. Hati Gio resah, dia terus berusaha meyakinkan diri kalau memang harus membuka hati lagi.Kepergian Dani satu jam yang lalu tidak berhasil membuat hatinya tenang. Gio takut dirinya hanya menjadikan Dian sebagai pelampiasan saja agar tidak lagi teringat pada Ayu. Sudah banyak kasus rumah tangga yang gagal karena menikah tanpa cinta."Aku bisa gak ya menerima Dian? Atau jangan-jangan Dian yang gak bisa nerima–""Assalamualaikum!" sapa Dani tiba-tiba. Gio terkejut dan menjadi salah tingkah saat matanya tidak sengaja beradu pandang dengan gadis itu.Padahal mereka sahabat dan sudah sering kali terlibat obrolan, kenapa bisa mendadak canggung? Wajah Gio bahkan memerah mengingat dirinya akan meminang gadis itu. Akan tetapi, benarkah dia sanggup menjadi pengganti Ayu?"Salam kok gak dijawab!""Eh, iya. Waalaikumussalam. Duduk-duduk!"Dani tertawa kecil melihat perub
"Lupakan tentang Ayu, lupakan kalau mereka pernah ada hubungan. Sekarang aku tanya, kalau kamu dilamar Gio, kamu mau?""Mana mungkin aku bisa lupa kalau Gio ada kisah sama Ayu? Ya aku tahu itu masa lalu, tapi apa dia sudah bisa nerima?""Ini bukan masalah kisah, tetapi ini tentang takdir. Kalau kamu misal mau menerima Gio, maka kalian bertiga diminta Tuhan untuk menjalani takdir yang sudah dijalani. Ayu harus sadar dan ikhlas kalau ternyata lelaki yang pernah dia cintai adalah jodoh sahabatnya. Gio harus bisa menerima takdir yang dijalani dan melupakan Ayu, sementara kamu tidak boleh berpikir bagaimana perasaan Ayu lagi.""Gak mikir gimana perasaan Ayu? Hei, Dan. Ayu itu sahabat aku!""Tapi dia sudah menikah. Kamu tahu kan kalau dia masih dipenjara masa lalu? Dengan menikahnya Gio, dia akan merasa punya alasan untuk benar-benar lupa.""Gimana kalau ternyata aku dianggap pengkhianat?"Dani menarik napas panjang. Ternyata sulit juga meyakinkan Dian perkara takdir. Ah, tidak. Dani yakin
Sore hari baru mereka melanjutkan pembicaraan karena dijeda oleh waktu salat. Seperti posisi sebelumnya, kali ini Dian merasa lebih karena sudah mengadukan perkara itu kepada Tuhan."Baiklah, mari kita coba. Kuizinkan Gio datang meminang ke rumah, aku sambil salat istikharah. Jawaban 'ya' atau 'tidak' nanti kita tahu sama-sama.""Oke, aku setuju." Gio menjawab cepat. Pasalnya lelaki itu tidak mau terkesan memaksa keadaan.Dia harus belajar ikhlas menerima segala ketetapan dari Tuhan. Kalaupun harus menikah dengan Dian, Gio akan terima. Sungguh, lelaki itu menyadari bahwa sekuat apapun dia menolak, kalau jodoh tidak akan ke mana, begitu pula sebaliknya.Tuhan memberi bukan di waktu yang kita inginkan, tetapi yang Dia inginkan. Gio berusaha berpikir positif bahwa segalanya akan menjadi mudah jika menyandarkan harapan kepada Yang Mahaesa."Pada akhirnya, kita akan berjalan di atas takdir sendiri." Dian kembali menambahkan."Jadi kamu setuju dilamar, kan? Urusan orangtua, serahkan sama ak
Lima hari setelah pertemuan mereka di rumah bambu, Gio datang bertamu ke rumah Dian bersama paman kandungnya yang bernama Hartawan.Sekalipun berdua, keluarga Pak Seto tidak mempermasalahkan hal itu. Dia menerima mereka berdua dengan baik karena sudah lama mengenal Gio.Sebelum tiba di hari lamaran itu, sungguh Dani berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan orang tua serta keluarganya kalau Gio tidak pernah setuju dengan pekerjaan ibunya. Meski sulit, akhirnya mereka menaruh kepercayaan untuk Gio.Acara lamaran yang tidak semewah orang lain, hanya dihadiri oleh keluarga inti sesuai permintaan Dian. Gadis itu bahkan tidak ingin mengundang Ayu untuk hadir menyaksikan karena khawatir oleh kesalahpahaman yang bisa berujung renggangnya persahabatan mereka.Dian tampil dengan penampilan sederhana, memakai gamis biru muda yang senada dengan khimarnya. Meski sederhana, tetapi aura kecantikannya begitu memikat hati siapa saja yang memandangnya.Termasuk Gio. Lelaki itu menundukkan pandangan ket
Hari minggu cuaca begitu cerah, Ayu baru saja menyiapkan teh hangat dan sepiring pisang goreng sebelum Akbar ke bengkel mencuci mobil."Kamu lucu ya kalau ngidam gitu, gak mual-mual atau pengin makan ini itu kayak yang lain," tutur Akbar tertawa kecil sebelum meminum sisa tehnya.Ayu menghentikan gerakan tangannya yang baru saja ingin menggigit pisang goreng. "Iya, yah? Kok aku gak mual atau pengin makan sesuatu ya? Apa emang beda dari yang lain?"Bukannya menjawab, Akbar malah bangkit dari kursi. "Anak papa yang baik, jangan nakal-nakal. Kamu harus nurut sama orangtua, oke?""Kalau gitu, papa harus janji bakal sayang sama aku dan mama!" Ayu bersuara bagai anak kecil membuat Akbar gemas dan mencubit pipi istri tercintanya. Dia meminum sisa teh tadi, lalu melanjutkan, "aku berangkat dulu ya. Kamu jaga diri, cuma sebentar kok. Abis nyuci mobil aku pulang.""Iya, By."Ayu mengantar suaminya sampai ke depan karena merasa sangat bahagia. Seolah pergi jauh, Ayu mencuri peluk dari Akbar. Sam
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj