"Jangan bodoh, Ayu. Kamu gak boleh bersikap seperti itu. Kamu itu kayak anak kecil tahu nggak sih?!" Dian semakin geram.Pasalnya Ayu tidak mau menerima masukan, dia selalu saja merengek kalau sudah menyangkut urusan Gio. Tidak mengapa jika hal itu dia lakukan sebelum menikah, sekarang prioritasnya sudah harus berbeda.Dian memukul jidat sendiri berulang kali. Gadis itu sangat kesal dan kalau saja Ayu adalah adiknya, maka pasti dijitak tanpa ampun. Siapa pun akan melihat wajah Ayu sekarang pasti merasa marah."Lagian kamu kenapa sih masih mikirin Gio? Ingat, Ayu, ingat! Kamu itu sudah menikah, gak pantes mikirin laki-laki lain. Sudah berkali-kali loh aku ngomong kek gini dan kamu gak mau dengerin. Kamu kenapa, sih? Atau kenapa gak sekalian jujur sama Akbar kalo kamu gak suka sama dia?" lanjut gadis itu lagi sambil memperbaiki posisi jilbabnya."Kamu yang kenapa? Kamu itu gak ada rasa peduli sama aku–""Ayu, cukup! Kamu harus sadar, kamu itu bukan anak kecil lagi. Kalo kamu gak mau men
"Jadi, kamu cemburu Akbar kuatir sama Naima?"Ayu refleks mengangguk, sementara Dian tersenyum kecut. "Kuatir aja, kan? Itu juga wajar dan boleh kalau misal Akbar nikah sama Naima karena cinta. Lah, kamu sama Gio? Apa boleh seorang istri nikah lagi alias poliandri?""Ya gak boleh lah!" Wanita itu menatap kesal pada sahabatnya sebelum beranjak masuk kamar.Sepertinya keadaan Naima benar-benar gawat. Ayu memutuskan untuk berganti pakaian saja karena ribet kalau harus mandi dulu. Kebetulan ada Dian, jadi dia bisa minta tolong ditemani ke rumah mertua.***Jam sudah menunjuk pukul sepuluh pagi, Ayu dan sahabatnya sudah tiba di depan rumah mertua. Mobil Akbar sudah ada di depan, itu artinya lelaki itu tiba lebih dulu."Naima!" teriak seseorang dari dalam."Yu, gawat itu!" pekik Dian.Mereka berdua lekas masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Kedua mertuanya sudah menangis menatap Naima yang memejamkan mata dalam keadaan telentang. Ternyata perutnya sudah kempis, itu berarti Naima baru saja melah
"By, tadi katamu Naima kepeleset di kamar mandi, gak pendarahan, tetapi sekarat. Gimana sih?" bisikku pada Akbar ketika acara pemakaman sedang berlangsung."Aku juga gak tahu, kata ibu tadi ya gitu. Tau-taunya kemarin Naima sudah melahirkan dan entah, mungkin dia ke kamar mandi dan jatuh.""Kayak ada yang aneh," gumam Ayu tanpa sengaja.Sekalipun Akbar mendengarnya, dia tidak menanggapi gumaman sang istri. Lelaki itu yakin, ibunya hanya salah bicara sebagaimana orang panik pada umumnya.Ketika panik, terutama orang yang sudah berumur, tentu sering salah dalam menyampaikan berita. Entah dilebih-lebihkan atau malah berbanding jauh dari fakta.Sementara Ayu, dia terus menghela napas panjang. Pikiran wanita itu melayang-layang. Entah kenapa dia menaruh curiga pada Bu Laila kalau wanita paruh baya itu sudah sengaja mencelakai Naima.Dia ingin selamat dari hukum dan polisi, makanya penyebab kematian Naima mereka sembunyikan. Sangat tidak masuk akal kalau orang sehat tiba-tiba dipaksa melahi
"Kamu tuh gak bisa ngehargain perasaan aku, Akbar. Kamu egois dan semua laki-laki sama, cuma mikirin perasaannya sendiri!" cetus Ayu berusaha memelankan suara karena teringat di luar kamar masih banyak orang yang berlalu lalang.Kalau dia berteriak dan tidak bisa menahan emosi, maka rumah tangganya yang baru seumur jagung akan langsung menjadi perbincangan publik. Dia tidak mau hal itu terjadi, atau mukanya akan tebal menahan malu."Aku gak nyangka ya kamu bisa seegois itu!" Ayu melanjutkan, air matanya benar-benar mengalir deras. Dia sesegukan, lalu meraih bantal dan memeluknya erat.Wanita itu merasa sangat terluka. Akbar yang dia anggap baik ternyata masih menyimpan kenangan masa lalunya. Lelaki itu terlalu pandai menutupi kebusukannya sehingga yang terlihat hanya kebaikan.Ayu lalu merasa menyesal menerima pinangan Akbar kemarin. Kalau saja dia tahu, maka alasan itu bisa menjadi sebab dia tidak jadi menikah dan memiliki peluang yang besar untuk bisa bersama Gio. Kehadiran Akbar da
"Akhirnya kamu paham gimana perasaan yang selalu aku pendam selama ini, Yu. Aku benci prasangkaku yang mengatakan kamu tidak setia dan terlalu mau dijebak sama masa lalu padahal sudah ada aku di sisimu.""Andai kamu juga memahami bagaimana kerasnya aku berusaha memaafkan kamu, gimana aku berusaha untuk tetap tersenyum dan berprasangka kalau perasaanmu itu hanya sesaat dan pulih seiring berjalannya waktu. Dan apa kamu tahu?"Akbar menjeda kalimatnya dengan tarikan napas panjang. Dia tetap mematung, tetapi tatapannya pada sang istri begitu lekat."Kadang aku membatin sendiri, andai ada sosok masa lalu juga, maka mungkin kamu bisa merasakan lukaku. Namun, kemudian aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah membuatmu merasakan luka ini. Aku gak sanggup hidup dengan wanita yang hatinya masih tertinggal di masa lalu, Ay!"Wanita itu menunduk, dia membiarkan tubuhnya luruh ke lantai karena kaki sudah tidak lagi mampu menopang berat badan. Perasaan Ayu campur aduk sekarang. Dia menyesa
Semalaman Ayu tidak bisa tidur. Dia kepikiran sama Akbar yang belum juga kembali. Wanita itu ingin keluar kamar, sayangnya dia lebih memilih menghindari pertanyaan dari mertua.Tentu saja Ayu akan langsung ditodong banyak pertanyaan ketika dirinya keluar kamar dan menanyakan keberadaan Akbar. Dia memilih menunggu dengan gelisah dan resah sambil beberapa kali melirik pada jam dinding.Bukannya bodoh karena tidak mengirim pesan WhatsApp, Ayu hanya takut semakin salah dalam berucap. Kasihan sekali, dia bahkan tidak bisa memejamkan mata padahal azan subuh telah berkumandang."Yu, bangun, Yu!" panggil Bu Laila dari luar.Ayu bergegas meninggalkan tempat duduk. Kini wanita itu berpikir bisa menemukan jejak di mana suaminya berada. Namun, ketika sampai ke dapur, dia tidak menemukan sosok Akbar."Ke mana dia?" gumamnya tanpa sadar."Yu, buruan wudu, kita sholat berjamaan. Ayah sama Akbar biar ke masjid.""Iya, Bu," jawab Ayu pelan sambil menduga-duga keberadaan suaminya.Dia mengambil wudu de
“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.”—Ibnu Athaillah Al-Iskandary***Bahkan setelah mandi sekalipun, Ayu tetap tidak bisa tenang. Padahal kata orang, dengan keramas bisa menyegarkan pikiran. Tidak dengan wanita itu, dia sangat sibuk memikirkan di mana keberadaan Akbar.Entah, dia tidak memberi kabar yang jelas. Ayu semakin merasa bersalah. Kepergian Gio harusnya membuat dia sadar kalau mereka memang tidak ditakdirkan bersama dan rasa rindu yang Gio ucapkan adalah ujian bagi pernikahan Ayu.Setan telah mengalahkan keduanya. Baik Gio ataupun Ayu, mereka sama-sama tidak bisa menahan diri. "Aku salah, aku harus meminta maaf begitu Akbar kembali!" gumamnya memukul jidat pelan berulang kali.Baru saja Ayu ingin menelepon Akbar ketika pintu kamarnya diketuk berulang kali. Sudah pukul sebelas siang, pasti itu Akbar. Ayu menduga-duga.Akan tetapi, ketika daun pintu terbuka lebar,
Setelah salat zuhur tadi, Ayu diminta Akbar pulang ke rumahnya diantar Dian. Wanita itu merana sendiri karena semakin penasaran apa yang akan terjadi nanti.Tidak ada petunjuk membuat Ayu sulit menerka sebuah jawaban. Hatinya resah, dia tidak berhenti mondar-mandir di ruang tamu sekalipun kepalanya sudah berdenyut nyeri."Mungkin ini hukuman buat aku, Dian, karena sudah ngeremehin suami sendiri.""Enggak kok, tenang aja. Kamu harus berprasangka baik dan minta pertolongan sama Allah."Jawaban Dian memang bisa menyejukkan hati, tetapi tidak berlaku bagi Ayu yang merasa sudah keterlaluan. Dia menyadari semua kesalahan itu dan semoga saja Akbar mau menerima permintaan maafnya.Ini bukan kali pertama, Ayu memang sudah sering meminta maaf hanya karena masalah Gio. Bagaimana Akbar bisa yakin kalau pernikahan mereka bisa lanjut ke depannya?Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Jantung Ayu berpacu cepat, kakinya terlalu lemah untuk menopang berat badan apalagi berl
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj