Mereka semua terdiam koma tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Akbar. Terutama sang ibu, dia hanya bisa diam sambil merenungkan apa saja yang akan terjadi jika suaminya menikah dengan Naima."Tolong ibu menjawab.""Itu tidak boleh terjadi. Kenapa kamu mengumpamakan ayahmu menikah sama Naima?!" bentak Bu Laila sedikit emosi."Dan kenapa juga ayah sama ibu memaksaku menikahi Naima?"Hening. Ayu yang ketakutan malah memegang lengan suaminya. "Aku sangat menghormati kalian sebagai orangtua, tetapi tolong jangan membahas tentang Naima lagi. Ini yang terakhir kali." Akbar merangkul pundak sang istri. "Selamanya hanya ada kami berdua.""Akbar, kamu harus mau menerima Naima. Kebetulan dia ada di sini l, sedang memasak di di dapur karena ibu melatihnya untuk menjadi menantu yang baik dan lihat saja, sekalipun dalam keadaan hamil, dia masih tetap bisa mengurus rumah. Aku tidak membandingkan istri kamu sama Naima, tetapi lihatlah dari sisi lain. Kalau kamu memiliki dua istri, maka mereka aka
Ayu menoleh, kemudian menunduk karena pipinya bahasa oleh air mata. Dia tidak menyangka akan bertemu Gio di tepi jalan, dia pikir Akbar lah yang memanggilnya.Namun, entah kenapa lelaki yang menjadi suaminya itu tidak mengejar. Ayu jadi berprasangka buruk bahwa suaminya juga setuju untuk menikah sama Naima."Ayu, kok kamu bisa ada di sini? Terus kenapa nangis? Suami kamu mana?" Gio langsung menodongnya dengan banyak pertanyaan.Sungguh di dalam hati lelaki itu tersimpan luka yang teramat dalam melihat Ayu menitikkan air mata. Dia tahu wanita itu jarang sekali menangis, dia juga tahu kapan saat-saat Ayu menitikkan air mata bahagia.Mereka sudah kenal dekat dengan lebih lama, jadi sekalipun tidak dijelaskan, dia tetap bisa menebak kalau wanita yang ada di depannya itu sedang terluka."Enggak apa-apa, kok, Gio. Aku cuma pengen jalan sendiri aja.""Terus mata kamu, kok, merah? Kenapa nangis?"Ayu menjawab sambil menyeka bulir bening yang terasa hangat menyentuh pipi. "Enggak, ini tadi k
"Kamu ngapain di sini?" tanya Akbar. Sebenarnya Akbar melihat Gio tadi bicara sama Ayu, tetapi dia tidak ingin seolah sedang menangkap basah mereka atau Ayu tidak akan jujur. Lagipula masalahnya dengan Naima belum selesai. Lelaki itu bukan maksud tidak ingin mengejar istrinya tadi, tetapi ketika hendak berdiri, ayahnya melarang. Dia meminta untuk membicarakan perkara itu tanpa hadirnya Ayu. Pak Haris tidak ingin melukai hati si menantu, makanya dia membiarkan Ayu pergi saja tanpa dikejar dulu. Akbar menurut. Akhirnya, mereka membicarakan perkara itu dan sekarang dia ada untuk membawa Ayu kembali ke rumah orang tuanya. "Eggak, tadi cuma cari angin aja kok, lagi nggak enak badan ini." "Kalau nggak enak badan, kenapa keluar cari angin?" Akbar mengulurkan tangan kanannya. "Balik, yuk ke rumah! Naima mau ketemu sama kamu." "Naima mau ketemu sama aku? Kenapa? Biar dekat sama calon kakak madu?" Sengaja Ayu bertanya penuh penekanan terutama di bagian 'kakak madu'. Hatinya sangat terluka
"Kenapa kamu tidak mengizinkan Akbar menikah sama Naima? Apa kamu bisa menjamin Akbar akan bahagia bersama kamu?""Aku memang tidak bisa menjamin Akbar akan bahagia sama aku, Bu, tetapi dia itu suami aku dan aku pantas untuk mempertahankannya. Sekali lagi, pa Ibu tidak akan mempertahankan Ayah kalau misalkan beliau yang menikah sama Naima?""Tentu saja bertahan. Kami saling mencintai, ayahmu tidak akan melakukan itu!" sanggah Bu Laila cepat."Aku menikah sama Akbar itu karena perjodohan, bukan karena memaksa dia menikah sama aku. Kenapa, sih, Ibu sama Ayah kelihatannya nggak suka banget sama aku? Bukannya waktu acara lamaran, kalian itu bilang nggak sabar punya menantu kayak aku? Atau aku punya salah sama kalian?"Kesabaran Ayu sudah habis, dia sengaja menodong kedua mertua dengan banyak pertanyaan. Kedua tangannya ingin terkepal, tetapi khawatir suaminya tersinggung. Sayang sekali karena Bu Nur tidak tahu perkara yang sedang menimpa anaknya sampai saat ini."Ayu, kamu jangan ngomong
"Sebenarnya Naima itu anak ayah sama ibu, anak kandung. Cuman ...." Pak Haris menjeda kalimatnya karena ingin mencari kata yang pas untuk disampaikan pada Akbar, khawatir dia salah paham."Ayah menukar kamu sama Naima dulu di rumah sakit karena kamu sakit-sakitan, orang tuamu kurang mampu dan tidak sanggup untuk membiayaimu. Ayah sama ibu sepakat untuk menukar kamu dengan Naima dan bukan karena kami nggak cinta sama anak sendiri, tetapi orang tua kamu juga tentu ingin menimang seorang bayi setelah menanti selama 20 tahun.""Ayah menyembunyikan ini bukan karena tidak sayang sama kamu, bukan karena ingin kamu hidup tanpa tahu siapa ayah kandung kamu, tetapi ini permintaan orang tua kamu sampai kami yakin kamu bisa menerima keadaan ini. Ayah kamu sendiri sebenarnya yang meminta kami untuk menikahkan kamu sama Naima sebagai bentuk terima kasih.""Dulu, mereka selalu menjenguk kamu sampai kamu sehat. Namun, mereka tidak bisa untuk mengambilmu kala itu karena kamu kalau melihat orang asing
Mereka pulang dalam keadaan pikiran yang kacau. Akbar sebenarnya ingin menanyakan bukti kalau dia itu bukan anaknya Pak Haris, namun sepertinya kenyataan selalu membawa duka. Akbar tidak sanggup memikirkan itu, hatinya masih dalam keadaan rapuh.Apalagi mengingat pengakuan Naima tentang orang tuanya yang meninggal dalam keadaan tenggelam. Dia ingin bertanya, mereka berdua hendak ke mana? Tetapi sekali lagi kenyataan selalu terasa pahit. Ayu yang sejak tadi diam, sibuk memperhatikan sang suami.Dia merasa sangat bersalah karena membiarkan Akbar larut dalam kesedihan. Ingin menghibur juga tidak tahu bagaimana cara karena mereka bisa dibilang baru sedekat itu. "Kita ke toko baju tempat aku kerja dulu, yuk!""Kenapa?" tanya Akbar."Buat ketemu Mbak Rina, siapa tahu dia calon yang pas untuk Naima. Kamu nggak mau kan kalau dia selamanya mengharapkan kamu sebagai suaminya?"Akbar membuang napas berat. "Tentu saja aku enggak mau Naima berharap sejauh itu. Aku tidak pernah menyukainya apalagi
Malam yang dinanti-nanti telah tiba, Ayu tidak pernah berhenti mengecek ponselnya. Dia selalu penasaran dengan jawaban dari Mbak Rina.Dalam rasa penasaran itu, dia tidak bisa makan atau sekadar minum. Akbar sampai khawatir padanya, tetapi Ayu berkata, "aku baik-baik saja. Nanti aku makan setelah dapat jawaban dari Mbak Rina.""Tapi kalau ternyata Mbak Rina nggak ngasih jawaban malam ini, gimana?" tanya Akbar begitu khawatir pada sang istri yang sejak tadi sibuk mondar-mandir."Enggak, pasti ngasih jawaban, kok. Kamu tenang aja ya. Insya Allah jawaban terbaik menurut-Nya." Jawaban itu refleks keluar dari mulut Ayu padahal dia sendiri belum yakin apakah kabar yang akan diberi Mbak Rina itu baik atau cukup melukai hatinya.Kalau bukan dengan masnya Mbak Rina, maka mungkin tidak ada pilihan lain selain memilih Gio untuk Naima. Sekalipun terkesan jahat karena ibarat melempar kotoran pada wajah orang yang tidak bersalah, tetapi tidak mungkin juga kalau membiarkan suaminya menikah lagi.Ayu
Mbak Rina bukan langsung membalas tetapi menelepon Ayu biar lebih mudah bicaranya. Setelah panggilan terhubung, Mbak Rina langsung menyampaikan jawaban itu tanpa niat basa-basi lebih dulu. " Iya mas Rio mau menerima Naima. Dia sudah siap, bulan depan kalau perlu.""Serius, Mbak, mas Rio mau sama Naima?""Iya, Cah Ayu.""Ya udah, Mbak kalau gitu besok aku kabarin Naima. Terima kasih ya, mbak dan kalau bisa mbak juga hadir sama mas Rio-nya biar lebih jelas karena kalau Naima, dia tentu menerima mas Rio sebagai suaminya. Sekalian dibicarakan hari yang baik untuk mereka menikah.""Oke, oke. Besok kita ketemu di rumah mertua kamu aja. amu sharelock aja ya, aku menyusul entar sama mas Rio. Kebetulan besok kan masih hari minggu, jadi dia libur kerja. Mas Rio kan kerjanya di kantor ya cuma staf biasa sih, tapi bisalah menjamin istrinya. Dia juga punya tabungan untuk menikah kok.""Siap-siap, Mbak. Makasih ya Mbak udah nolongin Ayu.""Iya, iya, sama-sama. Ya udah kalau gitu mbak mau lanjut ker
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj