Kutuntun masuk putriku yang masih terisak. Mas Yudis mengiringi di belakang. Kududukkan tubuh kami di sofa ruang keluarga."Kalau Delia sudah siap buat cerita, cerita aja, Sayang! Jangan dipendam sendiri!" pintaku."Ayah, Nda," ucapnya sesenggukan."Iya, Ayah kenapa?" tanyaku bingung."Ayah ngenalin aku sama calon istrinya." Tangis Delia langsung pecah. Aku menatap Mas Yudis meminta pendapatnya sembari memeluk Delia. Hatiku sesak dengan masalah seperti ini. Jika tak ada drama perselingkuhan Mas Ilham, tak akan anakku menderita begini.Saat begini ingin rasanya untuk marah. Tapi sama siapa? Siapa yang harus kupersalahkan untuk jalan hidup yang membuat putriku bersedih seperti ini. Memang tak akan mudah bagi seorang anak yang harus menerima perceraian orang tua. Meskipun ia diam, aku yakin dalam hati teramat banyak ganjalan dan pertanyaan.Mungkin orang tuanya bisa memulai lembaran baru dengan pasangan barunya. Tapi, anak? Tak semudah itu bisa menerima kehadiran orang asing dalam hidupn
Mas Yudis terlihat sedang sibuk dengan ponselnya saat aku membuka mata. Di sampingnya berdiri tiang penyangga infus. Kupijit pelipis yang masih berdenyut. Ternyata tanganku terpasang jarum infus."Dek, kamu sudah siuman? Syukurlah," ucap lelakiku. Terlihat kelegaan terpancar dari wajah teduhnya."Aku kenapa, Mas?" tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan. Seperti yang kuduga, ini di rumah sakit."Enggak kenapa-napa, Sayang. Kamu kecapean aja, terus pinsan tadi karena ternyata di dalam sini ada dedenya," ucap Mas Yudis sambil mengelus perut rataku.Lelakiku tersenyum lebar kemudian mengecup keningku. Aku masih tak percaya mendengarnya."Beneran, Mas?" tanyaku tak percaya."Bener, Sayang. Makanya kamu enggak boleh cape-cape ya!"Aku langsung memeluk Mas Yudis. Aku sangat bersyukur untuk semua anugrah yang Tuhan beri padaku. Aku baru menyadari memang bulan kemarin aku tidak datang bulan tapi tak begitu kuperhatikan. Aku pikir karena tidak teratur saja."Alhamdulillah, akhirnya," ucapku
Pagi ini tak seperti biasa Delia masih belum keluar kamar. Aku yang sudah duduk di meja makan berniat menemuinya. "Mas, aku ke kamar Delia dulu ya!" pamitku."Iya, silahkan. Pelan-pelan ya kalau tanya-tanya sama dia! Kalau belum mau cerita jangan dipaksa!" pesan Mas Yudis."Iya, Mas."Aku bergegas menuju kamar Delia. Kuketuk pintu kamar yang masih tertutup rapat itu."Del, Bunda masuk ya!" pintaku.Tak ada sahutan dari dalam. Membuatku semakin tak tenang. Pelan kubuka pintu kamar. Tampak putriku masih meringkuk di kasur."Del, kamu sehat, kan?" tanyaku khawatir sambil meraba keningnya. Tak panas. Fisik anakku tak sakit tapi perasaannya pasti sedang sakit."Ada apa, Sayang?" tanyaku sembari mengusap-usap pundaknya.Delia berbalik menghadapku. Mata bengkaknya menatapku."Delia benci sama Ayah, Nda!" ucapnya penuh emosi."Kenapa?" tanyaku bingung."Ayah jahat sama Delia!" serunya.Kuusap-usap punggungnya. Berusaha meredakan emosi Delia."Coba cerita sama Bunda, ada apa?" bujukku.Mas Y
Mas Ilham masih tak sadarkan diri ketika kami membesuk di rumah sakit. Tubuhnya mengalami luka bakar cukup parah. Sedang kepalanya terluka akibat terkena reruntuhan kayu ketika berusaha menyelamatkan Aina anak Wulan. Aina juga mengalami luka bakar meski tak separah Mas Ilham. Sedang ibunya Wulan dan saudaranya yang lain saat kejadian sedang tidak di rumah.Sintya sesenggukan di sisi tubuh Mas Ilham. Wajah tangan dan kaki serta beberapa bagian tubuh mantan suamiku itu dibalut kasa. Matanya masih terpejam. Kening dan pipinya pun terluka akibat api yang menyerang rumah mereka. Sedang wulan duduk sambil mengipasi Aina yang mungkin masih merasa panas pada luka-lukanya.Pemandanga pilu terlihat di ruangan ini. Putriku tak menangis melihat kondisi mengenaskan ayahnya. Dia hanya mematung menatap lelaki yang berulang kali menyakiti perasaannya."Terima kasih, Mas, Mba, sudah menyempatkan datang kesini," ucap Sintya ketika Mas Yudis menyampaikan rasa prihatinnya."Iya, Sin. Semoga Masmu dan pu
Mas Yudis berlari ke arahku. Tergopoh lelaki itu langsung berlulut di depanku. Sekilas melihat darah yang tercecer. Kemudian kembali beralih menatapku."Sayang, maafin Mas. Maafin Mas!" ucapnya sembari mencium tanganku. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. Lelakiku, tak akan mampu rasanya aku hidup tanpa cintanya."Sakit, Mas!" keluhku sembari meringis menahan mulas yang luar biasa."Iya, Sayang, sabar dulu ya!" ucapnya lembut padaku. "Pak Umar! Bi Sumi! Cepat kesini!" teriak Mas Yudis.Tergopoh Bi Sumi dan Pak Umar mendekati kami."Cepat siapkan mobil!" perintah Mas Yudis. Pak Umar langsung berlari ke garasi. Bi Sumi mondar-mandir terlihat begitu panik."Rasanya kaya udah mau keluar, Mas," keluhku sambil mencengkeram kuat lengannya"Iya, Sayang. Tahan ya!" ucap Mas Yudis sambil mengelus-elus perutku.Perutku sudah luar biasa mulas. Dedek seperti sudah enggak sabar ingin keluar. Rasanya sangat sakit ketika di bawah sini terasa ada yang memaksa ingin keluar. Punggungku, pingganggku se
"Sayang! Bangun!" seruku saat mata Mayang terpejam beberapa saat setelah anak kami lahir. Jantungku berdegub kencang melihat wajah istriku pucat pasi dengan mata terpejam. Pikiran buruk silih berganti menghantui."Sayang!" panggilku berusaha mengusir ketakutan yang semakin menyiksa. Kuremas jemarinya yang lemas terkulai. Kuusap-usap puncak kepalanya berharap dia bisa merasakannya.Dokter, bidan serta perawat yang membantu proses persalinan istriku terlihat begitu sibuk ke sana ke mari mengecek kondisi Mayang. Mengecek tekanan darahnya. Memeriksa matanya. Memeriksa detak jantungnya dan lain sebagainya."Sayang, bangun! Lihat anak kita!" bisikku di telinganya dengan suara bergetar menahan sesak. Namun wanitaku tak juga membuka mata. Hari yang seharusnya sangat membahagiakan bagi kami kini terselimuti mendung pekat."Sayang!" panggilku lagi. Mayang masih tetap terpejam. Ingin kuguncang tubuh istriku tapi itu tak mungkin. Aku sangat takut. Takut mata itu tak akan terbuka lagi. "Sayang!" p
"Ya Allah, Yah, ini kan Cleo." Delia menangis sambil mengangkat kucing oren peliharaan Mas Yudis yang telah dipenggal kepalanya."Siapa yang tega melakukan ini sama Cleo?" tanya Adista terlihat begitu shock menatap Cleo yang sudah kaku di tangan Delia dengan darah yang sudah mengering."Bi, siapa orang yang datang ke sini saat kami tak di rumah?" tanya Mas Yudis pada Bi Sumi."Enggak ada orang asing kok, Tuan. Keluarga semua yang ke sini. Apa mungkin orang lain soalnya kan Cleo suka jalan-jalan keluar pagar sampai depan rumah," ungkap Bi Sumi."Bu, dedek dibawa ke atas aja yuk!" pintaku karena merasa ngeri bayiku berada di sini.Hilda memapahku berjalan ke kamar diikuti ibu. Bekas jahitan dan kuretase masih menyisakan rasa sakit di bagian bawah tubuh. Sehingga kami jalan perlahan-lahan."Kamu enggak usah mikir yang enggak-enggak, May! Fokus aja sama babymu ya!" titah Hilda."Tapi siapa ya, Hil? Niat banget itu orang ngerjain kami.""Kalau prediksimu siapa, May?" tanya Hilda."Entahlah
Dimas dan Mas Gani beserta beberapa orang yang tadi mengecek keluar kembali dengan tangan kosong. Menurut mereka ada orang iseng melempar petasan di dalam kaleng sampai kalengnya hancur. Ketika mereka keluar sudah tak ada siapa-siapa di sana.Farel kini di gendongan Hilda. Para undangan kembali tenang menikmati suguhan yang kami sajikan. Meski demikian dalam hati aku tetap khawatir. Aku yakin ada sesuatu di balik semua ini. Bukan sekedar orang iseng.Saat hendak kubawa Farel ke kamar Nirmala datang bersama seorang teman laki-lakinya lewat pintu garasi. Dia langsung mengambil Farel dari gendongan Hilda."Uluh, uluh, ponakan Onti habis dipotong ya rambutnya? Ih, cakep banget sih!" ucapnya gemas sambil mencium dan mencubit pipi Farel."Maaf ya, Mba, telat," ucapnya padaku kemudian."Iya, enggak apa-apa. Suruh duduk itu temannya!" perintahku."Oh, iya, Mba. Kenalin ini Daniel," ucapnya sambil tersenyum lebar.Kami semua yang berada di ruang keluarga berkenalan dengan laki-laki yang datang
Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t
"Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi
Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan
"Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima
"Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam