"Bagaimana bisa, Sin?" tanyaku penasaran."Waktu Mas Ilham keluar dari rumah sakit, Mba Wulan enggak mau menanggung biayanya, Mba. Bahkan Mas Ilham diminta bertanggung jawab atas kebakaran itu. Selain rumah mereka juga dua rumah lain yang terkena imbasnya. Mas Ilham bingung dan akhirnya meminjam uang ke BANK," jelas Sintya sambil terisak."Ya Allah, Sin," ucapku prihatin mendengar penjelasan Sintya."Ini aku sama Bagas sudah berkemas, Mba. Kami mau cari kontrakan," ucap Sintya tersedu-sedu. "Aku merasa bersalah sama Ibu, Mba," tangis Sintya. "Maafin aku enggak bisa jaga amanah ibu," lanjutnya masih menangis tersedu-sedu membuat hatiku pilu.Seandainya aku belum menikah, pasti aku bisa bebas membantu Sintya. Sebisaku. Tapi kini ada hati Mas Yudis yang harus aku jaga. "Emang sudah ada pembeli rumahnya, Sin?" Kali ini Mas Yudis yang bertanya."Enggak tahu, Mas. Yang jelas orang BANK memberi waktu kami tiga hari untuk berkemas dan pergi dari rumah ini," jelasnya."Pinjaman atas nama siap
"Enggak semua laki-laki akan mudah tergoda wanita lain, Sayang. Lihat! Aku tahan tak menikah sampai hampir empat puluh tahun," ucapnya menenangkanku."Tapi masa iya kucing bisa nolak dikasih daging!" rajukku."Kucing siapa?" candanya."Iiih, Mas!"Lelakiku semakin mengencangkan pelukannya. Menciumi puncak kepalaku."Aku bisa, percayalah!""Tapi aku takut," ucapku dengan buliran bening yang terus menganak sungai. Rasa takut kembali dikhianati begitu melekat. Inikah yang disebut trauma?"Lakukan apapun kalau sampai Mas terbukti berkhianat!" ucapnya mantap. "Mas mengerti perasaanmu tapi percayalah, tak semua laki-laki seperti itu."Kutarik tubuh dari pelukannya, menciptakan jarak untuk melihat sorot matanya."Apa harus dia kerja sama Mas?" tanyaku masih berharap suamiku tak menerima permintaan Nirmala."Coba bantu Mas cari alasan untuk menolak permintaan Nirmala tanpa menyinggungnya!" ucapnya lembut sembari memegangi kedua lenganku. "Beberapa karyawan yang bekerja di kantor itu memang ba
Istri mana yang tak berpikir macam-macam ketika ponsel suaminya ada pada wanita lain? Aku saja sangat jarang memegang ponsel Mas Yudis. Ini Pevita, wanita yang baru dikenalnya sudah mengambil alih ponsel suamiku? Tidak bisa dibiarkan."Maaf, Mba. Mas Yudis lagi enggak ada di tempat," lanjutnya."Oh, iya. Ini kenapa hape Mas Yudis ada di kamu?" cecarku.Tut. Tut. Tut.Kurang ajar! Malah ditutup. Awas aja Mas Yudis!"Kenapa, Bu? Mukanya tegang gitu?" tanya Hilda ketika menghampiri mejaku. Mungkin mau ngajak ke kantin makan siang."Nyesel aku nurutin saranmu," ketusku. "Keluar yuk! Enggak enak ngomong di sini."Kami menuju ruang tamu sekolah yang tak berpenghuni. Kuhempaskan diri di sofa. Disusul Hilda.Kuraupkan kedua telapak tangan di wajah. Pikiranku sudah tak karuan. Ingin rasanya ke kantor Mas Yudis sekarang juga. Tapi mana mungkin. Jam istirahat hanya tiga puluh menit. Habis ini aku masih ngajar sampai jam terakhir. Oh, Tuhan!"Ada apa sih, May?" tanya Hilda melihatku hanya diam de
Malam terasa begitu panjang. Berkali kuhubungi nomor Mas Yudis. Hasilnya masih sama. Tidak aktif. Kemana suamiku? Sedang apa dia? Kenapa sampai selarut ini belum pulang dan ponselnya tidak aktif? Pikiranku sudah seperti benang kusut oleh berbagai tanya yang begitu menyiksa.Ingin kuhubungi anak buahnya tapi aku sungkan karena ini sudah sangat larut. Bayangan buruk tentang Mas Yudis dan Pevita terus bermain-main di kepala. Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Baru tadi siang Mas Yudis meyakinkanku. Malam ini kembali membuatku tak karuan.Ingin marah semarah-marahnya. Ingin teriak sekencang-kencangnya. Melampiaskan sesak yang begitu menyiksa. Tapi semua tak mungkin. Aku hanya bisa menangis sendiri. Kesal pada diriku sendiri.Kakiku mondar-mandir tak tentu arah. Gelisah, resah dan marah memporak porandakan pikiran."Ya Allah, dimana Mas Yudis?" Aku berbicara pada diri sendiri. Kuhempaskan tubuh di sofa kamar. Menatapa kaca jendela yang sengaja tak kututup gorden."Ya Allah, jaga sua
Kuulurkan tangan mengambil ponsel Mas Yudis yang masih berdering. Dengan perasaan tidak suka kuangkat telepon dari Pevita."Assalamualaikum," sapaku."Waalaikumsalam. Ini Mba Mayang ya? Mas Yudisnya ada?" tanyanya dengan suara mendayu-dayu."Lagi main sama Farel. Ada apa, Vit? Biar nanti aku sampaikan," tanyaku dengan suara kubuat seramah mungkin."Ini loh, Mba. Aku cuma mau bilang kalau dompet Mas Yudis ketinggalan di rumahku semalam."Suara mendayu Pevita seperti dentuman bom yang meluluhlantakan diriku. Hancur lebur.Kutekan dada yang berdenyut nyeri. Sangat nyeri. Seperti ada belati membara yang perlahan tapi pasti menghunus tepat di ulu hati.Tak mau Pevita menyadari kehancuranku, segera kujawab dengan nada sebiasa mungkin. "Oh, iya. Nanti aku sampaikan sama Mas Yudis ya, Vit. Makasih ya!" ucapku dengan suara kubuat ceria.Tanpa kata Wanita itu memutuskan sambungan ponsel kami. Aku masih terpaku. Mencengkeram ponsel Mas Yudis sekuat tenaga. Mengingat kembali kepulangannya bebera
"Haruskah kamu seperti ini, Nir? Masalahmu apa?" tanya Mas Yudis. Wajah suamiku kini terlihat merah padam. Matanya tajam menatap Nirmala. Entah karena sepupunya telah mengungkap apa yang terjadi atau karena apa.Nirmala meneruskan langkahnya. Kini sepupu Mas Yudis tersebut tepat di depan kami. "Mas Yudis marah ya karena Mba Mayang sampai tahu apa yang sudah terjadi semalam?" tanyanya dengan wajah cemas menatap wajah Mas Yudis. "Aku minta maaf, Mas. Aku kira tadi Mba Mayang enggak ikut," lanjutnya dengan raut wajah menyesal."Memangnya apa yang sudah terjadi semalam, Nir?" tanyaku tak sabar. Perasaanku sudah tak karuan. Terombang-ambing. Tak tahu harus menyematkan kepercayaan ini pada siapa."Mas Yudis pasti membuat alasan lain untuk meyakinkan Mba Mayang ya?" tanya Nirmala dengan wajah sedih kepadaku. "Aku enggak tega sebenarnya, Mba. Perempuan baik kaya Mba dibohongi begitu saja," lanjutnya. Kemudian mendesah pelan. "Aku kasih tahu ya, Mba. Semalam Mas Yudis di sini. Alasan mobilnya
Tebakan pertamaku Pevita yang mengambil dompet Mas Yudis ternyata salah. Tebakan kedua pun salah karena bukan Daniel. Apa mungkin memang yang Nirmala sampaikan itu benar?Memikirkan itu dadaku kembali berdenyut. Nyeri. Bayangan Mas Yudis menghabiskan malam bersama Pevita membuat perutku mual.Mungkin aku lebay. Tapi ketakutan dan bayangan buruk di kepalaku nyata adanya. Mungkin ini yang disebut trauma."Mas, apa Mas benar-benar enggak ke rumah Pevita semalam?" tanyaku mulai kembali ragu pada Mas Yudis. "Apa ada yang tahu Mas benar-benar enggak kesana?" lanjutku. Sungguh aku ingin diyakinkan bahwa Mas Yudis benar-benar tidak bersama Pevita semalam."Demi Allah, Dek. Pulang dari gudang mobil Mas mogok. Itu yang membuat Mas sampai rumah dini hari. Mas jalan kaki entah berapa kilo buat cari bantuan, Dek. Hape Mas mati, Mas enggak bisa hubungi siapa-siapa," jelas Mas Yudis."Tapi sudah kita lihat, kan? Enggak ada yang ambil dompet Mas. Lalu bagaimana bisa dompet itu di rumah Pevita kalau M
Pak Umar mengantar aku dan Hilda ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan. Bayangan buruk tentang kondisi Mas Yudis membuat air mata ini tak bisa berhenti mengalir.Hilda terus merangkul dan menggenggam jemariku. Membuat aku merasa tak sendiri menghadapi musibah ini."Yudis pasti baik-baik saja, May. Kamu harus yakin itu!" ucapnya menyugesti pikiranku."Iya, Hil. Mas Yudis pasti baik-baik saja," ucapku meyakinkan diri sendiri. Meski itu tidaklah mudah.Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama. Padahal jarak dari rumah tidak begitu jauh. Mungkin karena efek cemas yang berlebihan.Setibanya di rumah sakit aku langsung berlari menuju IGD. Mengabsen setiap pasien yang terbaring diatas brankarnya masing-masing untuk mencari keberadaan Mas Yudis. Tak kuhiraukan Hilda yang sedang bertanya di bagian informasi. Karena aku sudah tak sabar ingin melihat kondisi Mas Yudis."Sus, pasien kecelakaan yang baru saja masuk sebelah mana ya?" tanyaku pada perawat yang terlihat se
Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t
"Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi
Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan
"Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima
"Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam