Rendra tersenyum misterius, "Aku tahu kamu menyukai suasana pasar malam, jadi aku pikir ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk melanjutkan hari yang indah ini."
Senyuman tak tertahankan terukir di wajahku mendengar kata-kata Rendra. Aku berterima kasih dalam hati atas usahanya untuk menghiburku.Kami berdua berjalan-jalan di sepanjang pasar malam, menikmati berbagai makanan lezat dan melihat-lihat berbagai barang dagangan yang dipajang di sepanjang lorong-lorong pasar.Suasana ramai dan penuh warna dari lampu-lampu hias yang menghiasi sekitar memberikan nuansa keceriaan."Ingat waktu Kakek selalu membawamu ke pasar malam saat kamu kecil?" tanya Rendra sambil memandangiku dengan penuh kehangatan.Aku menoleh terkejut ke Rendra, "Bagaimana kamu bisa tahu banyak tentangku dan Kakek?" tanyaku pada Rendra.Rendra menghela napas, "Bagaimana aku tidak tahu banyak, jika setiap aku bertemu dengannya, yang dibahas adalah dirimu," jawaEsok paginya, aku terbangun oleh bunyi bel yang berdenting dari luar rumah. Aku dan Rendra hampir bersamaan membuka mata, menyadari bahwa hari baru telah tiba."Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" tanyaku, masih agak terdiam dari kantuk.Rendra mengangguk sambil meregangkan tubuhnya, "Akan aku lihat."Kami berdua beranjak dari sofa dengan perlahan, merasakan kekakuan otot-otot setelah tidur semalaman di tempat yang tidak biasa.Rendra berjalan ke arah pintu depan dengan langkah yang masih sedikit terhuyung-huyung. Suasana pagi begitu tenang, udara segar menyegarkan kami setelah tidur semalaman."Siapa itu, Rendra?" tanyaku, memperhatikan Rendra terdiam di depan pintu."Ini aku, Lusi!!" terdengar suara ceria Lia dari balik pintu, disertai dengan wajahnya yang muncul.Aku berjalan mendekati mereka berdua. "Apa yang membawamu kemari di pagi hari seperti ini?" tanyaku pada Lia."Aku merindukanmu, Lusi!!" ucap Lia sambil tersenyum.Aku mengangguk, "Masuklah ke dalam."Saat kami hendak m
Aku memandang Rendra yang pergi dengan ekspresi sedikit bingung, tapi kemudian mengalihkan perhatian pada Frans yang masih berdiri di sebelahku.Ada rasa penasaran yang mulai menggelitik di dalam hatiku, tapi aku memilih untuk menyimpannya untuk kemudian.Tiba-tiba, terdengar suara riuh dari arah pintu, memecah lamunanku. Lia, dengan energi yang melonjak-lonjak, membangunkanku dari lamunan yang membayangi. "Lusi, cepat bersiap! Aku yang akan membantu Frans," serunya sembari mendekati aku dan mengambil alih tempatku.Aku mengangguk sambil memberikan senyum kecil sebagai ucapan terima kasih pada Lia. "Baiklah, terima kasih, Lia. Aku akan segera bersiap-siap."Masuk ke dalam, air hangat menyentuh tubuhku, menghilangkan kelelahan dan kekakuan. Mandi memberiku kesempatan untuk menenangkan pikiranku.Setelah selesai mandi dan bersiap, aku keluar dari kamar dengan perasaan segar dan semangat yang baru. Di ruang tamu, suasana
"Kamu mau mengikutinya?" tanyaku, mencoba mencari langkah selanjutnya kepada Lia di tengah kerumunan orang di dalam mall yang ramai.Lia memandangku dengan tatapan ragu, seolah sedang mempertimbangkan pilihan-pilihannya. Setelah sejenak terdiam, akhirnya ia menggeleng dengan mantap. "Tidak, biarkan saja. Aku tidak ingin merusak hariku gara-gara Raju," balas Lia, suaranya terdengar reda di tengah riuhnya kerumunan."Tapi bagaimana jika wanita itu juga korban Raju, seperti halnya kita?" tanyaku, mencoba menemukan alasan yang bisa meyakinkan Lia untuk bergerak.Kami berdua saling memandang, wajah-wajah kami tercermin dalam gemerlap cahaya lampu-lampu di mall yang sibuk.Lia akhirnya mengangguk dengan mantap, "Coba kita ikuti mereka," ucapnya, suaranya hampir hilang terbawa arus kerumunan yang semakin meningkat.Aku mengangguk setuju, mencoba memastikan bahwa kami tetap waspada dan tidak terlalu mencolok di tengah-tengah keramaian.K
Aku berbalik dan melihat Raju, wajahnya terlihat tenang tapi penuh dengan rasa ingin tahu. "Oh, hai Raju," sambutku dengan sedikit kebingungan di tengah kerumunan orang yang sibuk berjalan di sekitar kami. "Aku mengenal Lia dari teman-teman yang sama," jawabku cepat, mencoba memutar otak untuk menemukan alasan yang masuk akal di tengah gemerlapnya suasana malam di dalam mall yang ramai.Raju mendekatiku dengan senyum misterius di wajahnya, cahaya lampu mall memperlihatkan kilauan di matanya yang penuh tanda tanya. "Apa benar begitu?" tanyanya dengan nada yang agak ragu, suaranya terdengar di tengah riuhnya kerumunan yang semakin padat.Aku mengangguk mantap, berusaha tetap tenang meskipun hatiku berdebar kencang di tengah keramaian yang semakin meningkat. "Ya, kami sering bertemu di acara-acara sosial dan kegiatan komunitas," jelasku dengan suara yang hampir hilang terbawa arus kerumunan.Raju menatapku sejenak, seolah mempertimbangkan kata-katak
"Di mana kamu sekarang?" tanya Rendra dari seberang telepon, suaranya terdengar cemas."Aku di dalam mall, dekat food court. Tolong segera menjemputku," jawabku cepat, mencoba menahan kecemasan yang mulai merayapi diriku."Baik, aku akan segera ke sana. Tunggu sebentar," ucap Rendra sambil mengakhiri panggilan.Setelah menutup telepon, aku melangkah perlahan menuju tempat duduk yang lebih tenang di dekat sisi mall. Riuhnya pikiran yang berkecamuk membuatku merasa gelisah. Aku berusaha menenangkan diri, tetapi kekhawatiran masih menghantui.Beberapa saat kemudian, Rendra muncul di depan food court, wajahnya penuh kekhawatiran saat mendekat ke arahku. Aku segera berdiri dari tempat duduk, merasa lega melihatnya."Kamu baik-baik saja?" tanya Rendra dengan nada yang penuh perhatian saat dia berada di tempatku.Aku mengangguk cepat. "Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah datang," ucapku dengan suara gemetar, berusaha menenangkan
Aku berusaha mengusir pikiran tentang Anya yang merayap di benakku. "Apa peduliku dengan itu?" gumamku dalam hati.Kemudian, aku memalingkan pandanganku ke arah Rendra yang duduk dengan anggun di sofa. Posisinya yang santai, dengan satu kaki berselonjor di atas yang lain, menambahkan kesan pesona pada penampilannya yang tampan. Rambutnya yang teratur menyempurnakan gambaran akan ketenangannya dan menambah nilai plus ketampanannya.Sosoknya memukau, dengan mata yang memancarkan kehangatan dan senyum yang mampu mencairkan hati siapa pun. Aku hampir terpesona oleh kehadirannya di ruangan ini.Suasana sekitar terasa tenang, dengan cahaya lembut menyinari ruangan dan aroma harum dari lilin aromaterapi mengambang di udara. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyegarkan, menciptakan suasana yang menyenangkan untuk berada di dalamnya. Kami berdua duduk di ruang keluarga yang nyaman, menghabiskan waktu bersama untuk merayakan ulang tahun Rendra.
Dalam keheningan yang semakin merayap di ruang kamar, aku merasa kelopak mataku mulai terasa berat. Pikiranku yang tadinya dipenuhi dengan kebingungan dan kekhawatiran, kini mereda dengan perlahan, digantikan oleh rasa kantuk yang menyelimuti.Dengan gerakan perlahan, aku menyambar selimut yang tergeletak di ranjang, membungkus tubuhku dengan hangatnya. Udara kamar yang sejuk merangkulku dengan lembut, menyelimuti diriku dalam kehangatan yang mengundang untuk terlelap.Lalu, aku bangun dari tidurku yang lelap dengan gerakan yang pelan, merasakan tubuhku masih terasa lelah namun segar. Dengan sedikit menggosok-gosok mataku, aku mencoba mengusir sisa-sisa kabut tidur yang masih menyelimuti pikiranku.Dengan langkah ringan, aku meninggalkan kamar menuju ruang tamu yang diterangi cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk melalui jendela. Udara segar pagi itu mengisi ruangan dengan kehangatan dan kesegaran, menyambutku dengan hangat. Aku merasakan aroma harum
Frans menggeleng pelan sambil mengingat yang terjadi kemarin. "Dia tidak menyebut-""Dia tahu, Frans. Dia yakin bahwa pria itu adalah kamu," potonganku, mencoba meredakan keraguan Frans.Wajah Frans menunjukkan kejutan yang jelas. "Dia tahu?"Aku mengangguk mantap, mencoba memberinya keyakinan. "Ya, Frans. Dia sepenuhnya yakin."Frans mendesah, mengakui kemampuan akting Raju dengan nada yang agak pahit. "Raju memang pandai berpura-pura."Aku mengalihkan perhatian ke hal lain yang sama-sama penting. "Bagaimana kabar Lia sekarang? Aku sangat khawatir tentang kondisinya."Frans menghela napas berat. "Kondisinya tidak baik. Bukan hanya karena putus, tapi juga karena tuduhan yang dialamatkan padanya."Aku mengangguk, memahami betapa beratnya situasi yang dihadapi Lia. "Baiklah, tugasmu adalah menghiburnya," kataku mencoba memberi semangat, sambil sedikit menggoda Frans untuk mengurusi Lia.Frans menatapku dengan hera
Sementara aku masih mencoba mengumpulkan pikiran yang terbungkus kabut tidur, ponselku tiba-tiba berdering di samping tempat tidur. Dengan mengantuk, aku meraihnya dan melihat nama 'Frans' terpampang di layar."Kenapa dia menghubungiku di pagi buta seperti ini sih," aku mengeluh dalam hati.Rendra masih terbaring di kasur, menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari matanya."Siapa?" tanyanya dengan suara pelan.Aku menggeleng, "Bukan siapa-siapa, hanya seorang teman butik yang mencari Mama," balasku, berbohong sambil tersenyum tipis.Rendra mengangguk mengerti, meskipun ekspresinya masih penuh pertanyaan."Aku akan ke Mama sebentar ya," ucapku lagi, berbohong sekali lagi, sambil menepuk lembut bahunya."Iya, aku akan mandi," balas Rendra, lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.Aku keluar dari kamar dengan hati-hati, sedikit merasa bersalah atas kebohongan kecilku. Sementar
Suasana di ruang makan hangat dan akrab, dihiasi tawa dan cerita yang mengalir dengan lancar. Kami menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebersamaan yang memperkaya hubungan keluarga kami. Setelah makan malam selesai, kami secara bersama-sama membersihkan meja dengan riang. Aura keakraban masih terasa di udara, seolah-olah ruang makan itu adalah pusat kebahagiaan bagi kami semua.Ketika kami hendak pulang, Mama dengan hangat meminta kami untuk menginap saja. "Kenapa buru-buru pulang? Kalian bisa tidur di sini, ini juga rumah kalian. Lagipula, besok weekend kan?" ujarnya dengan senyuman lembut.Meskipun awalnya kami hendak pulang, namun permintaan Mama membuat kami tak bisa menolak. Dengan beragam pikiran, kami berdua naik ke kamar, menyadari pentingnya momen yang sedang kami alami.Kami memasuki kamar dengan ekspresi campur aduk, merasakan kecanggungan di udara. Saling pandang antara aku dan Rendra menggambarkan betapa sulitnya s
Setelah memastikan bahwa Rendra sedang mandi, aku masuk ke kamar Mama Papa untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sambil memilih-milih, aku merasa senang bisa melakukan hal kecil ini untuknya."Apa ya, pakaian yang cocok untuk Rendra?" gumamku sambil menggali dalam ingatanku akan gaya fashionnya.Sambil mencari-cari baju di dalam lemari, aku menemukan kaos berwarna putih yang tampak santai dan nyaman. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. "Mungkin kaos ini akan cocok untuknya," bisikku dalam hati.Aku membayangkan bagaimana Rendra akan terlihat sangat tampan saat mengenakan kaos itu. "Aku tidak pernah melihatnya menggunakan celana pendek, aku akan padukan dengan itu," ucapku sambil tersenyum.Kemudian, aku mengambil celana pendek yang senada dengan kaos tersebut untuk melengkapi penampilannya yang santai namun tetap menawan."Dengan ini, Rendra pasti akan terlihat tampan," pikirku sambil tersenyum puas.Kemudian, aku meletak
"Pengkhianatan dan kekerasan. Jangan pernah maklumi dua hal itu. Jika hal itu terjadi, dan kamu merasa bingung tentang bagaimana bertindak, kamu bisa meminta saran kepada Mama, Papa, atau siapapun. Jangan hadapi sendirian," jelas Mama dengan tegas, suaranya penuh dengan kearifan yang memberi kedamaian.Aku mengangguk, meresapi setiap kata yang disampaikan Mama. Percakapan tentang pernikahan yang dijodohkan juga mengalir, memberikan wawasan baru tentang makna hubungan yang sejati."Terima kasih, Ma karena Mama tidak pernah menuntutku untuk bahagia dalam pernikahan ini," ucapku, mengungkapkan rasa lega dan terima kasihku atas dukungan Mama.Mama mengangguk mantap, "Kebahagiaan tidak akan hadir karena tuntutan," ucapnya dengan keyakinan yang membangkitkan semangat.Kami berdua duduk di bangku taman, menikmati momen indah di bawah langit senja yang memukau. Suasana hangat dan penuh cinta menyelimuti kami, menciptakan aura kebersamaan yang tak terlupak
Saat itu, pintu ruangan butik terbuka dengan lembut, dan senyum ramah Mama menyambut kami. "Loh, lagi rame ternyata," ucapnya sambil melangkah masuk.Frans mengangguk sopan, "Iya Tante, ini kami mau pulang," ujarnya sambil tersenyum.Mama mengangkat kantong yang dibawanya dengan penuh semangat, "Boleh, tapi makan ini dulu," ajaknya sambil menempatkan kantong itu di atas meja."Apa itu, Ma?" tanyaku dengan rasa penasaran.Mama membuka kantong itu dengan hati-hati, "Ini kue-kue lezat yang Mama temui di perjalanan ke sini tadi," jelasnya sambil tersenyum.Aroma kue yang harum mulai menyelinap ke dalam ruangan, mengundang selera kami untuk segera menyantapnya. Frans dan Lia pun tersenyum berterima kasih kepada Mama."Ayo, mari kita duduk dan nikmati bersama," ajak Mama sambil mengatur beberapa kursi di sekitar meja, menciptakan suasana yang hangat dan ceria.Kami pun duduk bersama, menikmati setiap gigitan kue yang disajikan
Kami berdua terdiam sejenak, terpaku dalam pikiran masing-masing. Suara kerumunan orang dan bising kendaraan di sekitar butik menciptakan latar belakang yang hidup, menambah ketegangan saat kami berusaha memecahkan teka-teki yang mengelilingi Raju."Aku pikir kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang hubungan antara Raju dan Deharson Group," kata Frans akhirnya, memecah keheningan dengan suara tenangnya.Aku mengangguk, "Ya, benar."Ketika kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba suara langkah ringan mendekati kami."Hai, Lusi," sapa Lia, membawa beberapa kantong, menyela dengan keceriaan yang kontras dengan suasana tegang sekitar. Sinar mentari pagi menyoroti wajahnya, memberikan kesan hangat pada kedatangannya.Lia duduk di sebelah Frans, sementara kelelahan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan napas panjang, ia mencoba meredakan kelelahannya. "Aku lama nggak? Rame banget di sana," ucap Lia kepada Frans dengan senyum leb
Aku menyusuri pandangan ke sekeliling, mencari Rendra yang ternyata sedang sibuk di ruang makan. Wajahnya terlihat tenang, sementara tangannya lincah mengatur meja untuk sarapan pagi.Sambil meraba-raba selimut yang masih terlilit di tubuhku, aku berusaha mengingat ingatan malam sebelumnya. Percakapan dengan Rendra tentang langkah selanjutnya dalam hubungan kami masih segar dalam ingatanku."Sudah bangun?" sapanya ketika melihatku bergerak.Aku mengangguk, "Ya, sudah."Rendra tersenyum ramah, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Mandi dan bersiaplah, aku tunggu di sini.""Terima kasih, Rendra. Aku akan segera bersiap," ucapku sambil tersenyum.Dengan hati yang hangat, aku melangkah menuju kamar. Air hangat pancuran menyentuh tubuhku, memberikan kesegaran di pagi yang masih merona. Setelah mandi, aku mengenakan pakaian berwarna biru muda yang dipadukan dengan blouse hitam. Langkahku ringan ketika aku kembali ke ruang makan den
"Terima kasih Rendra, aku senang hari ini," ucapku pada Rendra dengan senyum yang masih terukir di wajahku saat kami sampai di rumah.Rendra membalas senyumku dengan hangat. Sambil menatapnya, aku mengangguk, merasa lega bahwa hari ini berakhir dengan baik. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan langkahku menuju kamarku, suara panggilan dari Rendra membuatku berhenti."Lusi," panggilnya, suaranya terdengar agak ragu.Aku menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran, "Ada apa, Rendra?" tanyaku, mencoba memahami ekspresinya.Rendra menggaruk kepalanya, tampaknya agak gugup, "Emm, kenapa kita tidak sekamar saja mulai sekarang?" usulnya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan permintaannya.Tatapan kami bertemu, dan aku mencoba memproses apa yang baru saja dia katakan. "Pindah ke kamarmu?" ulangku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.Rendra mengangguk tegas, "Ya. Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk tidur bersama."Aku meras
Aku masih terus memandang Rendra, mencoba membaca ekspresinya yang sedikit tersembunyi. Pikiranku melayang ke kekhawatiran yang tak terucapkan tentang hubungannya dengan Anya. "Entah kenapa aku tidak begitu yakin dengan ucapan Rendra, aku harus memastikan hubungannya dengan Anya memang sudah berakhir," pikirku dalam hati.Setelah beberapa lama kami menikmati hidangan, suasana restoran mulai mereda. Dalam keheningan, kami berdua memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum kami bisa meninggalkan restoran, suara akrab seorang kasir memecah keheningan."Loh, Mbak yang kemarin bukan? Yang tanya hubungan Mas Raju?" tanyanya, menyela langkahku menuju pintu keluar.Untungnya, Rendra sudah berjalan lebih dulu, jadi tidak mendengar pembicaraan kami.Aku mengangguk lemah, "Ya, benar. Tapi kamu tidak memberitahu Raju kan?" tanyaku dengan suara pelan, ingin memastikan kerahasiaan pembicaraan kami.Kasir itu menggeleng, "Tenang saja Mbak, aman. T