PERNIKAHAN KEDUA 44Aku belum sempat berkata apa-apa, ketika tiba-tiba orang tua Lea muncul dan langsung menarik Celine, mencegahnya untuk ikut masuk. Lalu, Lea menerobos dan berdiri di tengah-tengah kami."Gimana caranya ulet keket itu nempel terus sama Abang?"Lea nyaris meledak. Aku segera menarik tangan Lea dan mengajaknya ke atas, sementara Bang Zaid sudah mengambil alih Kiara dari gendonganku. Aku tak mau ada keributan di depan jenazah Ibu. Kami menaiki tangga perlahan sementara Bang Zaid mengekor di belakang."Kita sholat dulu. Aku akan menjelaskan semuanya."Aku diam saja. Pikiranku rasanya buntu. Tapi aku sungguh tak ingin bertengkar, apalagi di depan jenazah Ibu. Aku masuk ke kamar dan mandi kilat setelah memandikan Ara juga. Sementara Bang Zaid mengambil wudhu di kamar mandi yang ada di bawah. Lea ikut masuk kamarku ketika aku selesai memakai mukena."Kamu kenapa disini?"Lea terkejut. "Kenapa memangnya?""Kita masih ujian Le. Kamu harus berangkat ke sekolah.""Ujian bisa m
PERNIKAHAN KEDUA 45Kami kembali lagi kesini. Rumah mungil dengan pohon jambu kristal yang disukai Ara. Jambu-jambu itu mulai besar dan dahannya tampak keberatan oleh buahnya yang gendut. Tidak seperti di rumah Ibu, kiara langsung tertawa riang begitu mobil yang disopiri Bang Zaid memasuki halaman. Dia melompat dan sibuk menghitung buah jambu yang bergelantungan. Di rumah Ibu, aku nyaris tak pernah melihat Ara tertawa. Rumah itu membawa aura yang suram, menulari seluruh penghuninya.Untung saja, meski kecil-kecil, rumah ini punya tiga kamar sehingga Rani mendapat kamar sendiri. Dia duduk di atas ranjang berukuran sedang dengan kasur empuk yang nyaman dan AC yang berdengung lembut. Kamar ini tentu jauh dari mewah seperti kamarnya di rumah Om Reyhan, tapi seperti Kiara, Rani tampak senang. Hanya saja, sejak kemarin, senyumnya memang telah memudar. Dia selalu ingat Papanya, yang kini berada di bangsal perawatan rumah sakit jiwa."Besok, boleh nggak aku tengok Papa?""Tentu saja. Harus ma
PERNIKAHAN KEDUA 46PoV ZAIDAku memandang lagi foto-foto yang dikirimkan Alex orang kepercayaanku lainnya selain Riri. Jika Riri lebih banyak kutugaskan untuk menjaga Keysha, maka Alex lebih banyak mengerjakan tugas-tugas berat, menyingkirkan duri yang mungkin menghalangi jalanku, memberi sedikit tekanan pada orang-orang yang ngeyel dengan kesalahannya, salah satunya menemukan Om Reyhan dan Tante Sarah tempo hari. Dan hari ini foto-foto itu membuatku tersenyum.Alex memang lelaki keturunan, wajahnya tampan dengan tubuh berotot yang menawan banyak wanita. Di Indonesia, dia bisa saja menjadi pemain film jika ditemukan oleh orang yang tepat, atau setidaknya menjadi bintang iklan. Tapi aku dan dia bertemu di London, saat sama-sama terjebak pertarungan antar genk. Entah bagaimana caranya kami saling melindungi dan akhirnya berhasil melarikan diri. Namun, tiba di rumah, dia terpana. Rumahnya habis dilalap si jago merah. Kedua orang tuanya tewas terpanggang sementara dia tak punya siapa-sia
PERNIKAHAN KEDUA 47Tiga minggu kemudianAku tak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi pengantin semuda ini. Sejak pagi, aku sudah didandani oleh MUA yang dibawa Mbak Riri. Tadinya aku sangat cemas karena mungkin Celine masih akan terus mengganggu. Nyatanya sampai hari ini tiba, semuanya aman dan terkendali. Kelulusanku sudah dipastikan, tinggal acara perpisahan sekolah yang akan resmi diadakan seminggu lagi. Dan pada saat itu, statusku sudah menjadi seorang istri.Oh, ya ampun. Memikirkan kosakata 'istri' membuatku berdebar-debar."Key?"Suara Rani disusul sosoknya masuk ke dalam kamar terdengar. Dia memegang gaun warna Sage ditangannya. Aku melirik, tak bisa menoleh dengan sempurna karena rambutku sedang disisir, dan dibuat gulungan kecil di atas kepala. Riasan wajahku sudah selesai, sesuai pesananku, riasan yang sederhana. Jangan sampai orang-orang tak mengenaliku lagi."Oh, wow, kamu cantik banget!" Rani berseru, melupakan maksudnya memanggilku tadi. Aku tersipu mendengarnya mem
PERNIKAHAN KEDUA 48Kamar Bang Zaid luas sekali. Dengan tempat tidur berukuran king size dan sprei berwarna merah muda yang lembut mendominasi ruangan. Ada samar arema wangi mawar, yang kemudian kuketahui berasal dari mangkuk-mangkuk berisi kelopak mawar segar yang mengambang di atas air. Ada lilin-lilin aroma terapi yang senada dengan aroma mawar itu. Lilin itu belum dihidupkan karena kamar masih terang benderang. Di pojok kamar, ada sofa putih bersih yang tampak nyaman sekali. Lalu lemari berukuran sedang. Meja rias kecil dengan kursi yang empuk. Sepertinya, Bang Zaid telah mempersiapkan kedatanganku dengan seksama."Masuklah, mulai hari ini, kamarmu disini."Aku mengerjakan mata, memandang kamar yang nyaman dengan dengung AC yang menenangkan."Kita akan tinggal disini?"Bang Zaid mengangguk."Jika kau mau, tapi jika kau lebih suka tinggal di rumah itu, aku juga akan ikut denganmu."Lalu aku teringat pesan Ibu.'Kelak jika kau menikah, bertoleransilah dengan apa yang menjadi kesenan
PERNIKAHAN KEDUA 42Nyaris semalaman aku tak bisa tidur. Kalau saja tak ingat aku masih harus ujian besok pagi, rasanya aku ingin menangis saja. Tapi kemungkinan, mataku akan bengkak besok dan Lea pasti bertanya-tanya. Kalau menuruti keinginan, rasanya aku ingin membalas WA dari Celine dan memaki-maki dirinya. Tapi itu malah akan membuatnya senang. Dia akan semakin mengataiku anak bau kencur. Padahal di sekolah saja, aku harus menebalkan telinga dengan gosip yang beredar bahwa aku bertunangan dengan konglomerat karena aku sudah dijual oleh Ibuku. Astaga. Untung saja ada Lea, yang dengan garang, berdiri di depanku dan menepis siapa saja yang coba-coba menyakiti perasaanku.Gadis tujuh belas tahun dan sudah bertunangan, memangnya kenapa?Aku turun ke dapur ketika aroma masakan memenuhi udara. Mbok Imas, seperti masih di rumah Vila, sudah hampir selesai masak. Aku segera membantu dengan membuat minuman hangat."Ini bubur untuk Ibu, Mbak Key. Katanya Ibu harus makan makanan yang lembut."
PERNIKAHAN KEDUA 50PoV ZAIDAku menutup pintu mobil dan bersandar di jok-nya dengan hati perih. Riri, salah satu yang terbaik. Tiga tahun lamanya dia bekerja padaku, sebagai asisten pribadi dan mengurus segala masalah teknis yang tak mungkin ku tangani sendiri. Sosoknya yang lembut membuatku memilihnya menjadi asisten pribadi Keysha, meski aku tak secara gamblang mengatakan hal itu pada istriku, karena aku yakin Keysha akan menganggap itu berlebihan. Sungguh aku tak pernah menduga bahwa tugas biasa saja, yaitu menjaga Keysha ternyata membuatnya harus meregang nyawa. Keysha tak pernah punya musuh. Om Reyhan yang selama ini menjadi ancamannya tak berdaya di rumah sakit jiwa. Lalu, siapa lagi yang dengan sangat beraninya mencari masalah denganku.Apakah Celine?Aku menghela napas. Bayangan wajah Mbak Riri membayang. Kupejamkan mata, merasakan mataku yang panas karena air mata yang mendesak. Sekuat tenaga aku menahannya. Aku tak boleh menangis. Keysha akan semakin khawatir.Ponsel yang k
PERNIKAHAN KEDUA 51PoV KEYSHA"Begitu Ibumu menikah dengan lelaki pembawa sial itu, kau langsung hadir dalam rahimnya. Maka kau sama saja dengan Ayahnya, anak pembawa sial. Pergi! Jangan pernah tampakkan lagi wajahmu di depanku!"Satu tahun yang lalu, aku pernah nekad datang sendirian ke rumah Eyang. Demi melihat Ibu yang kerap bersedih karena kedatangannya selalu ditolak, dan Ayah yang tak mampu berbuat apa-apa. Aku pikir, jika aku datang sendirian, mungkin saja Eyang akan luluh.Nyatanya tidak. Sama seperti kedatangan kami sebelumnya, Eyang mengusir ku, dan masih ditambahi kata-kata yang menyakitkan."Pergi! Kau dan Ayahmu sama-sama pembawa sial. Selamanya aku tak akan memaafkan kalian berdua!"Dan kini, aku duduk di hadapannya dengan berlinang air mata. Bagaimanapun dia menolak, darahnya lah yang mengalir di tubuhku. Mungkin benar kata Eyang, aku anak pembawa sial. Eyang dan Mbak Riri, meninggal karena aku, di hari pernikahanku."Maafkan aku Eyang. Saat itu, aku hanya ingin Eyang
PERNIKAHAN KEDUA 62 (ENDING)Jam sepuluh malam, pesta telah sepenuhnya usai. Rumah lengang meski dekorasi taman belum dibongkar. Para ART, Kiara dan kedua anakku dibawa Tante Arumi ke rumahnya. Mereka semua ingin membiarkan kami hanya berdua malam ini karena aku menolak kamar pengantin di hotel. Aku ingin berada disini. Di tempat aku bertemu mereka berdua. Tempat aku memulai takdirku. Dengan bergandengan tangan, kami naik ke lantai atas. Kamar Diaz telah disulap Lea menjadi kamar pengantin yang indah. Begitu membuka pintunya, aroma wangi mawar langsung menerpa hidung. Membawaku pada kenangan tujuh belas tahun silam. Aku mengerjap, memaksa diriku untuk menyadari bahwa tangan yang kugenggam ini bukan tangannya. "Nggak apa-apa kan kita disini? Dibawah…"Diaz membungkam bibirku dengan jarinya. Kami berdiri berhadapan, dengan tatapan lembut di matanya. Kemarin, aku memang meminta untuk tidak menempati kamarku bersama Bang Zaid, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku merasa nyaman de
PERNIKAHAN KEDUA 61 Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zakia langsung berseru-seru memanggil Kiara. Kebetulan sekali hari ini Kiara pulang kuliah lebih awal. Adikku itu terkejut, berlari keluar dengan wajah tegang. Setelah banyak kejutan sepanjang hidupnya, dia sepertinya telah bersiap akan satu kejutan terakhir."Kia, ada apa?!" Suara Kiara panik.Tapi keponakannya itu malah melompat-lompat kegirangan. Perlahan, wajah Kiara mengendur."Oh, kamu dapat nilai terbaik? Lulusan terbaik?"Zakia mengangguk, masih melompat-lompat."Hemm… Alhamdulillah. Keponakan Tante kan memang pintar.""Ada lagi. Coba tebak!""Apa?"Aku tersenyum melihatnya. "Aku akan punya Papa! Yeaaayyy!"Mata Kiara melebar. Lalu dia menyadari bahwa aku dan Diaz berdiri mengawasi. Tatapan matanya menyorot, meminta penjelasan. Lalu, tangan Diaz yang menggenggamku-lah yang menjadi fokusnya. Kiara tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berlari menghambur dan memelukku erat-erat."Jadi?"Aku mengangguk.Kiara menar
PERNIKAHAN KEDUA 60 "Mama, sembuh dong. Besok kan hari perpisahan sekolah aku."Zakia sibuk mengusap dahiku dengan kompres. Aku tersenyum melihatnya. Sejak semalam, aku terserang demam. Badanku panas dan kepalaku pusing sekali. Aku tahu bahwa aku tak boleh sakit. Besok, akan ada perpisahan sekolah. Zakia akan lulus SD.Ya. Lima tahun lagi telah berlalu sejak kepergian Bang Zaid. Zakia kini berusia dua belas tahun dan akan segera lulus SD, sementara aku masih setia hidup dalam kenangan bersamanya. Setiap malam, aku tidur sendirian, memeluk sepi, dan dia selalu hadir dalam mimpi meski tanpa kuminta."Sayang, jangan siksa dirimu seperti ini. Menikahlah lagi. Aku ikhlas."Itulah mimpi yang sering datang. Dan di dalam mimpi, aku menangis. Tangis yang kemudian terasa hingga aku bangun. Bantalku yang basah oleh air mata menyadarkan bahwa mimpiku merasuk hingga ke dasar jiwa. Dan semalam, Tiba-tiba saja aku demam tinggi. Kiara sudah memanggilkan dokter dan kata dokter aku baik-baik saja dan
PERNIKAHAN KEDUA 59Muhammad Zaidan Adhyaksa. Nama itu akan terukir indah di sanubariku selamanya.Suamiku telah menepati janjinya. Penyakit itu tak mampu mengalahkan semangat hidupnya yang tinggi. Lima tahun setelah operasi, kami kembali hidup normal dan bahagia, tanpa pernah menyangka takdir menghampirinya sore itu. Aku tak akan pernah melupakan sore itu, tiga bulan yang lalu, Lea datang ke rumah dengan wajah sembab. Dia memintaku duduk, mengambilkan segelas air dan meminta Kiara membawa Zakia dan Zen ke dalam. Menatap wajahnya, hatiku berdebar kencang. Lebih dari dua puluh tahun lamanya kami bersahabat. Aku tahu dengan pasti kapan sesuatu yang serius terjadi."Le, ada apa?"Lea memelukku. Mengusap-usap punggungku, persis Bang Zaid."Kamu percaya takdir kan?" Suaranya bergetar.Aku mengangguk. Bagiku tak ada yang perlu diragukan dari ketetapan-Nya. Tapi, mendengar pertanyaannya, selarik perasaan gelisah menyambar hatiku dengan cepat. Lalu aku teringat bahwa Bang Zaid tidak di rumah
PERNIKAHAN KEDUA 58Untukmu, yang tengah bertarung melawan kerasnya hidup, dan kamu, yang sedang meniti takdir. Kamu hanya harus terus berjuang, bersabar, dan berdoa. Karena apa yang menjadi takdir Tuhan, hanya bisa diubah dengan doa. Aku tak pernah bersujud syukur selama ini sebelumnya. Setelah kecemasan selama empat jam terhapus sudah oleh kabar bahagia. Operasi berhasil dan kini tinggal menunggu keduanya sadarkan diri. Dari balik kaca ruang observasi, aku melihat keduanya terbaring berdampingan. Air mataku menetes dengan deras, menciptakan kabut yang mengaburkan pemandangan.Sungguh, kasih sayang seorang saudara kandung seharusnya tak perlu diragukan. Diaz yang bengal, yang selama ini kerap membuat masalah dan selalu menguras emosi Bang Zaid, telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanya tanpa pamrih."Aku tak suka melihatmu menangis Key. Cintamu pada Bang Zaid itu sungguh indah. Rasanya, bagai aku yang menjadi dia. Seperti aku yang merasakan dicintai olehmu. Maka, apa saja akan k
PERNIKAHAN KEDUA 57"Diaz!"Diaz menghentikan langkah. Dia berbalik dan mendapati Abangnya berusaha duduk dengan tegak. Jika biasanya Bang Zaid selalu menjadi penguatku, hari ini akulah yang menjadi penopangnya. Kurengkuh kedua bahunya, hingga dia bisa duduk dengan tegak."Abang sedang mencari donor. Abang tidak menerima donor darimu."Mata Diaz melebar. Dia kembali menghampiri ranjang dan menatap Abangnya lekat-lekat."Apa maksud Abang?""Kamu masih muda. Belum menikah dan jalan hidupmu masih panjang. Kamu tak boleh mengorbankan dirimu untuk Abang.""Jadi Abang merasa sudah tua? Dan kenapa memangnya kalau aku belum menikah? Mau sampai kapan menunggu donor yang belum tentu langsung cocok? Lalu bagaimana dengan Key dan keponakanku? Tidak, Bang. Aku pulang untuk Abang. Jangan mencegahku atau aku akan pergi dan tak akan kembali lagi."Tanpa menunggu jawaban Sang Abang, Diaz berjalan dengan langkah lebar. Bang Zaid menghela napas, meminta tanganku untuk digenggam. Aku menarik kursi dan du
PERNIKAHAN KEDUA 56Air mata yang meluncur tanpa kendali ini mengaburkan penglihatanku. Rasa perih bagai diremas-remas menguasai hati. Bang Zaid sengaja menyembunyikan penyakitnya dariku karena dia tak mau melihatku sedih. Dia menyimpannya sendiri. Sudah sejak kapan Bang Zaid sakit? Ya Allah, istri macam apa aku ini? Yang tak tahu bahwa suamiku sakit separah itu. Ya, aku tahu bahwa penyakitnya serius. Karena kini, Bang Zaid berjalan memasuki klinik hemodialisa.Adakah yang terlewat di mataku? Selain wajahnya yang sesekali pucat dan lemas, juga kebiasaannya pergi ke luar kota dua minggu sekali, tak ada yang aneh. Ya Allah, bukankah penyakit itu sakit sekali rasanya? Bagaimana dia bisa menahan semua itu dan bersikap biasa saja di depanku?Kuhapus air mata, meski rasanya sulit sekali untuk berhenti. Perlahan, aku mengikuti langkahnya yang tenang dan penuh percaya diri. Dia tak pernah kehilangan wibawanya meski dalam keadaan sakit. Langkahnya tetap setenang biasa. Dia tak tahu, bahwa aku
PERNIKAHAN KEDUA 55Lagu itu meresap ke dalam jiwa, mengobrak-abrik perasaanku hingga ke relung hati terdalam. Betapa banyak kematian memisahkanku dengan orang-orang yang kucintai. Apalagi ketika aku tahu bahwa yang menyanyikan lagu itu bukan Diaz, tapi Bang Zaid. Tentu saja, apa yang kupikirkan? Diaz jauh di London sana. Dia tak mungkin bisa muncul tiba-tiba.Sambil memeluk tanganku sendiri, meredam rasa gelisah, aku meneruskan langkah hingga ke balkon yang menghadap taman belakang. Pantas saja Bang Zaid tak mendengarku pulang. Di kursi malas yang biasa diduduki Diaz, dia duduk sambil memeluk gitar kesayangan adiknya itu. Aku tak menduga kalau dia juga pintar bermusik dan suaranya indah.Dari belakang, siluet dirinya duduk di situ saja sudah membuatku bergetar. Kenapa Bang Zaid harus menyanyikan lagu sepedih ini? Kemana dia pergi selama ini? Benarkah masalah kerjaan? Dan mengapa? Semakin hari, tubuhnya semakin kurus saja?Air mataku menetes bahkan sebelum aku sempat menyentuh bahuny
PERNIKAHAN KEDUA 54Aku memasukkan tiga stel baju Bang Zaid ke dalam travel bag, beberapa pakaian dalam, handuk dan peralatan mandinya. Sambil cemberut, ku masukkan juga charger ponselnya ke dalam kantong kecil di samping tas berwarna hitam itu."Hey, jangan cemberut. Abang hanya pergi dua hari saja."Aku mendongak."Kenapa akhir-akhir ini Abang sering sekali pergi ke luar kota? Aku kesepian, anakmu di dalam sini, selalu saja rewel kalau Abang nggak di rumah."Bang Zaid tertawa kecil, meraih tanganku dan melingkarkan nya di lehernya sendiri sementara dia memeluk pinggangku. Kami saling bertatapan dan aku tak bisa tak terpesona melihat ketampanan wajahnya."Hemm… yang rewel, anakku ataukah Ibunya?"Aku ikut tertawa, malu karena tebakannya yang jitu. Kami memang baru saja mendapat kabar gembira, kehamilan yang telah kami rencanakan sejak aku lulus kuliah tiga bulan lalu langsung dikabulkan oleh Allah. Usia kandunganku kini sepuluh minggu dan aku bersyukur tidak mengalami emesis berlebiha