Perih hati manyaksikan gambar dua insan yang sangat mesra itu di layar ponselku. Apalagi salah satunya adalah suamiku. Sepertinya mataku mulai panas menahan air mata yang terus mendesak ingin bergulir.Jadi semua kecurigaanku selama ini benar adanya. Bukan hanya sekedar perasaanku yang terlalu peka. Mereka berdua sebenarnya bukan pasangan kakak dan adik angkat seperti yang diakui oleh Geo dan keluarganya. Tapi, mungkinkah mereka adalah pasangan suami istri? Jika bukan, lalu kenapa mereka harus tinggal dalam satu atap?Aku tak bisa lagi menahan diri. Semuanya harus jelas sekarang. Bukan saatnya lagi aku dan keluargaku dibodohi oleh orang-orang yang tidak tahu diri itu.Saat aku tiba tiba bangkit hendak menuju ke ruangan Geo, Adrian yang sedang berada di meja kerjanya nampak kaget."Ada apa?" tanyanya cemas. Mungkin saat ini mukaku kelihatan begitu menyeramkan hi
Semuanya berawal dari sebuah kejadian sekitar tiga bulan yang lalu. Seperti biasa, Geo selalu nampak betah berada di ruang kerjanya. Di ruangannya itu, dia menjadi orang yang selalu pulang paling akhir.Padahal jika dipikir, dia adalah manajer di dalam timnya. Harusnya dia bisa membagi beban kerjanya dengan seluruh timnya sehingga pekerjaannya menjadi lebih ringan. Tapi Geo selaku menginginkan pekerjaannya sempurna dengan ditanganinya sendiri. Entah kenapa lelaki itu bisa sangat menggilai pekerjaannya kali ini.Geo merasa, perusahaan tempatnya bekerja sekarang ini seperti rumah kedua baginya. Dia bisa sangat berlama-lama menghabiskan waktu di kantor hingga larut. Bahkan seluruh satpam hafal betul jika ruangannya masih menyala, itu artinya Geo sedang lembur dan tidak mau diganggu.Dia adalah seorang staf pekerja keras dengan dedikasi yang sangat tinggi. Tidak heran jika kemudian
Geo menunggu dengan gelisah di kamarnya. Baru sejam yang lalu dia tiba dari kantor. Dalam pesannya, Cindy bilang kalau dia pun sudah berada di taksi menuju rumah tunangannya itu. Ini benar-benar situasi yang tidak menyenangkan bagi Geo.Entah sudah berapa kali dia mondar mandir di dalam kamarnya itu. Mencoba menata kalimat yang nanti akan dia katakan pada kekasihnya saat dia datang. Bagaimana agar Cindy tidak marah dan melakukan perbuatan nekat seperti biasanya saat dia memutuskannya.Walaupun mamanya telah berkata padanya bahwa dia punya rencana untuk mengatasi Cindy, tetap saja Geo belum yakin semua itu akan berhasil. Cindy itu cerdas. Licik, lebih tepatnya. Dia bisa membuat orang lain melakukan apa saja yang dia mau, sementara dia sendiri adalah orang yang tidak bisa dikendalikan. Bagi kehidupan Geo, Cindy adalah seorang pengendali."Kak, ngapain sih mondar mandir gitu?"
Adrian mengajakku memasuki ruangan rapat termewah di kantor almarhum papa. Biasanya ruangan ini memang hanya digunakan untuk rapat-rapat penting direksi.Saat kami datang, semuanya sudah berkumpul disana duduk melingkari meja. Semua petinggi perusahaan telah hadir, termasuk juga Geo, suamiku, yang telah duduk di tempatnya biasa. Di samping kursi direktur utama.Tatapan mata Geo sedikit heran saat melihatku datang bersama Adrian. Ada raut tidak suka disana. Apalagi saat Adrian ternyata juga ikut berada di dalam rapat.Sebenarnya bukan cuma Geo, aku pun sungguh keheranan. Harusnya, jika dia hanya seorang asisten yang ditunjuk papa untuk membimbingku, dia tidak akan selancang dan seberani ini mengikuti rapat. Namun bahkan sampai detik ini pun aku tak pernah tahu siapa sebenarnya dia?Dan nampaknya semua orang juga sedikit bertanya-tanya mengenai hal itu. Apalagi s
"Kita satu ruangan, Sayang," kata lelaki itu sambil berlalu meninggalkanku yang terbengong keheranan."Adrian, apa-apaan Kamu?"Aku mengejar lelaki itu sampai ke mejanya."Kamu jangan kurang ajar, Adrian!" Aku meraih tubuh Adrian dan kuputar paksa tubuh tegapnya itu sampai menghadap ke arahku. Kulihat dia justru memutar dua bola matanya, menyunggingkan senyum yang sangat menyebalkan padaku."Ada apa?" tanyanya santai."Sekarang Kamu jelaskan padaku, sebenarnya kamu itu siapa? Dan apa maksudmu melakukan semua ini? Kamu sudah tau tentang semuanya ini kan? Tentang rapat tadi? Semua yang ada dalam surat wasiat papa?" Kucecar dia dengan banyak pertanyaan.Lama Adrian tak menjawab. Matanya hanya menatapku tak berkedip. Hingga akhirnya dia menunjuk ke kursi di depan meja kerjanya.
"Aku nggak bisa meninggalkan Alma sekarang, Cin," kata lelaki tampan dengan kemeja linen mahal berwarna putih itu, menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Kenapa? Apa Kamu mau bilang bahwa Kamu sudah jatuh cinta pada wanita itu sekarang?" tanya wanita cantik dengan rambut ikal panjang dan pakaian kerja seksi di sebelahnya. "Bukan begitu, Cindy ...." Sepertinya lelaki itu berusaha menjelaskan sesuatu, tapi merasa begitu putus asa karena si wanita tidak juga mau memahaminya. "Saat ini Alma sedang berkabung karena kepergian ayahnya. kamu tau itu kan? Aku kasian padanya." "Itu bukan alasan, Geo. Apa Kamu mau bilang bahwa sekarang Kamu tidak peduli dengan hartanya saja, tapi juga orangnya? Lihat dirimu sakarang, Ge. Setelah ayahnya mati, bahkan Kamu masih hanya duduk di posisi sebagai manajer. Mimpimu untuk menjadi direktu
"Kamu jangan macam-macam ya. Jangan mentang-mentang kamu direktur di sini lalu Kamu jadi kurang ajar sama saya. Keluar dari ruangan istri saya!" Geo sedikit emosi dengan tingkah Adrian yang menurutnya keterlaluan itu."Istri Anda? Anda yakin? Bukannya istri Anda ada di ruangan Anda sekarang, Pak Geo?"Adrian tersenyum remeh melihat wajah Geo yang mendadak berubah merah padam dengan pernyataan terakhirnya."Adrian! Tolong tinggalkan kami berdua," kata Alma tiba-tiba. Wanita itu sudah berjalan mendekatinya. Nampak sekali bahwa dia tidak suka Adrian mencampuri urusan kehidupan rumah tangganya.Adrian menoleh ke arahnya. Menatap Alma dengan pandangan bertanya."Tolong tinggalkan kami berdua. Jangan suka mencampuri urusan pribadi orang lain!" Alma menatap tajam ke matanya.Entah apa yang sed
Aku baru ingin meninggalkan rumah menuju kantor setelah berpamitan dengan mama, saat seseorang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah di dikejar oleh Pak Kardi, satpam yang berjaga pagi itu di depan rumah kami."Mama?!" pekikku. Wanita yang masih kukenali sebagai mama mertuaku itu, mama Tia, setengah berlari ke arahku dan mamaku menghindari kejaran Pak Kardi."Maaf Bu, saya sudah berusaha mencegahnya, tapi Bu Tia nekat masuk," kata Pak Kardi memegangi mama mertuaku itu, mencegahnya mendekat ke arahku dan mama."Mama mau apa kemari?" tanyaku."Mama ingin menjelaskan sesuatu pada Kamu, Alma. Tolong dengarkan mama. Mama tidak berniat jahat. Jeng Airin, mohon dengarkan saya, Jeng," kata Mama Tia mulai mengoceh."Memangnya apa yang mau mama jelaskan?" tanyaku acuh tak acuh."Geo ... Geo tidak bersalah, Alma. Tolong maaf
Saat dokter mengatakan bahwa Geo sudah bisa dibawa pulang, aku meminta ijin pada mama mertuaku untuk membawanya ke rumah. Aku ingin merawatnya sebagai rasa terima kasih telah menyelamatkanku dari kejahatan mantan istrinya itu.Seperti sore ini, aku pulang lebih awal dari kantor dan bergegas ke kamar kami membawa senyum di wajahku dan sebuah berkas yang kubawa dari pengadilan agama.Wajah Geo tersenyum senang saat melihatku menyembul dari balik pintu kamar kami."Sudah pulang, Al?""Iya, aku ingin makan malam sama Kamu." Aku menghampirinya yang masih berbaring di ranjang dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi dengan rahang kokoh itu."Aku mandi dulu ya," kataku setelah itu. Bermaksud hendak berlalu dari samping ranjang ketika tiba-tiba dia mencekal pergelangan tanganku."Ada apa?" tanyaku kehe
Kantor sudah lumayan sepi. Dan hari ini Aku memang sengaja menyelesaikan pekerjaannya di kantor agar saat sampai rumah nanti dia bisa langsung istirahat dengan tenang.Beberapa kali aku meregangkan otot-otot tubuh di atas kursiku dan bersyukur karena tepat jam setengah 8 semuanya sudah selesai. Kurapikan meja sebentar sebelum akhirnya bangkit usai kusambar tas kerjaku.Geo meninggalkan kantor sejak sore untuk mewakiliku meeting dengan klien dari Jepang di sebuah hotel ternama di kota kami. Dia memang selalu bisa diandalkan untuk masalah negosiasi dengan klien ataupun calon klien. Untuk itulah aku selalu memerintahkannya untuk mewakiliku dalam kegiatan-kegiatan seperti itu.Dan kali ini aku yakin Geo pasti sudah langsung pulang ke rumah mamanya karena ini juga sudah sangat malam. Kami memang masih memutuskan untuk tinggal di rumah masing-masing walaupun hubungan kami sudah cukup memba
"Apa-apaan Kamu, Al? Kenapa Kamu menyuruh security menghalangiku untuk masuk ke kantor?"Adrian tiba-tiba datang membuka pintu ruanganku dengan kasar, di belakangnya dua orang security sedang berusaha memeganginya.Aku yang memang sudah menunggu kedatangannya sejak pagi hanya memandangnya dari kursi kerjaku dengan tenang. Aku tahu dia pasti akan datang dengan kemarahan saat tahu aku menyuruh patugas keamanan di depan untuk melarangnya masuk ke kantor."Anda sudah tidak bekerja di sini lagi, Pak Adrian. Jadi, silahkan keluar. Bagian HRD akan menyelesaikan urusan Anda yang belum selesai," kataku dengan santai menyambut kedatangannya dengan wajah yang bersungut itu."Kamu sudah gila, Alma. Apa Kamu tau apa yang Kamu lakukan ini? Dengan begini kamu bisa menghancurkan perusahaan Kamu sendiri. Kamu nggak akan bisa menjalankan semua ini tanpa aku, kamu tahu itu?!"
"Tadi mama ketemu Adrian, Al."Mama menyambutku pulang dari kantor malam itu dengan wajah bimbang."Kapan?" kataku sambil mendudukkan diri di sofa ruang tengah, lelah."Tadi siang, dia menelpon mama ngajak makan siang. Kita ketemu di luar.""Lalu, Ma? Dia bilang apa? Masalah Pak Toby ya pasti?" tanyaku penasaran."Itu salah satunya." Mama nampak menghela nafas panjang. Tidak biasanya wanita itu membicarakan Adrian dengan raut muka seperti itu. Pasti ada yang tidak beres."Ada apa sih, Ma?" Aku menatap mama serius."Al, Adrian mendesak mama untuk mengurus perceraian kamu dengan Geo secepatnya."Wajah mama sedikit tegang saat mengatakan itu, tapi aku justru terbahak mendengar kalimatnya."Adrian itu sudah gila, Ma. Memangnya d
Hari ini aku sengaja mengunjungi beberapa staf pentingku di kantor tanpa sepengetahuan Adrian. Walaupun sebenarnya aku belum yakin benar siapa saja yang bisa kupercaya saat ini. Setidaknya aku akan melakukan pencegahan sekecil yang aku bisa untuk menyelamatkan aset yang sudah papa tinggalkan untukku.Aku menginstruksikan pada seluruh jajaran untuk memberikan laporan mereka langsung padaku, bukan pada Adrian lagi. Terutama untuk lini-lini yang sangat penting.Dan terakhir aku mengundang Pak Toby, kuasa hukum sekaligus orang kepercayaan papa, untuk melakukan pertemuan rahasia di sebuah Kafe yang sudah kutunjuk.Saat dia datang, kulihat wajah Pak Toby sedikit cemas, dan aku sepertinya sudah bisa menebak kenapa."Apa ada yang bisa saya bantu, Bu Alma?" tanyanya sedikit canggung dan kurasa juga ada ketegangan di wajahnya."Ap
Wanita itu sangat menyukai Adrian. Bahkan Arumi sudah menyukainya sejak pandangan mereka bertemu saat Adrian menjejakkan kakinya pertama kali di kota kelahirannya, Pontianak.Ayahnya yang seorang pengusaha ternama di pulau Kalimantan, menyuruhnya menjemput Adrian di bandara waktu itu. Lalu memperkenalkan Adrian sebagai anak dari salah seorang sahabatnya yang tinggal di Jakarta. Di situlah Arumi mulai menyukai Adrian. Dia lelaki tampan, cerdas, dan tidak banyak bicara.Papa Arumi membantu Adrian merintis perusahaannya sendiri di pulau itu. Keluarga Arumi sangat memberi support pada Adrian. Terutama sang papa, yang merasa dulunya sepertinya memiliki hutang budi pada ayah Adrian. Dan pada akhirnya sampai memutuskan untuk menikahkan putri satu-satunya dengan putra dari sahabatnya itu.Arumi sendiri tidak pernah tahu masa lalu Adrian. Lelaki itu tidak pernah banyak menceritaka
"Ma!!" Setengah berlari, aku menyeruak masuk ke kamar mama. Wajahku panik."Lihat nih, Ma!" Kuberikan ponselku ke mama, menunjukkan sebuah pesan dari seseorang yang kuterima beberapa menit yang lalu saat aku baru saja ingin membaringkan diri di ranjang empukku.Mama yang tadi sudah hampir memejamkan mata segera bangkit, meraih ponsel ditanganku dengan keheranan."Kamu ngapain sih, Al? Kayak orang kesetanan gitu.""Baca deh, Ma," kataku lagi padanya.Perlahan mama segera terpekur pada layar ponselku yang sudah beralih ke tangannya."Siapa yang ngirim ini?" tanyanya."Ya nggak tau, Ma. Liat aja nggak ada namanya kan?" Aku menunjuk ke arah nomer ponsel di atas pesan yang memang tak ada namanya.Beberapa menit yang lalu, saat ingin m
Rumah bergaya arsitekstur eropa kuno itu nampak sudah sangat sepi saat Adrian memarkirkan mobilnya di halaman. Saat Adrian kecil, dia sangat senang bermain di halaman rumah yang dulunya terlihat sangat asri dengan tanaman-tanaman bunga yang indah disana. Tapi itu dulu, saat ibunya masih ada, saat usia Adrian sekitar 10 tahun.Setelah papanya mengalami kebangkrutan, perusahaannya ambruk akibat persaingan bisnis yang katanya justru dilakukan oleh sahabatnya sendiri, mama Adrian jatuh sakit. Dan sejak itulah, tak ada lagi tawa keceriaan di rumah itu. Yang tersisa hanya tangisan dan kesepian.Adrian masih ingat saat satu per satu pekerja-pekerja di rumahnya harus diberhentikan karena papanya sudah tidak sanggup lagi membayar upah mereka. Dan akhirnya rumah itu menjadi sangat gersang, tidak terawat. Apalagi saat mamanya akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit dan dirawat disana selama berbulan-bulan. Adrian merasa it
Ada seseorang yang bertepuk tangan ketika aku membuka pintu ruanganku. Dan tanpa melihat pun aku sudah tahu siapa orang yang melakukan itu."Bagus, Ibu Direktur. Rapat sepuluh menit lagi dimulai dan Anda baru muncul di kantor," kata suara sinis itu.Tentu saja itu adalah suara Adrian. Siapa lagi orang yang berani mengolok-olok seorang pemilik perusahaan dengan sindiran seperti itu.Saat akhirnya aku berada di dalam ruangan, kulihat dia sedang berdiri menghadap pintu bersandar pada meja kerjaku, sementara tangannya masih juga dalam posisi semula, ditepuk-tepukkan seolah sedang menyambut kedatanganku.Tanpa menghiraukannya, aku segera menuju ke meja kerjaku. Menyiapkan laptop dan berkas-berkas yang kami perlukan untuk rapat kali ini."Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan perkataanku?" Dia membalikkan badannya menghadapku. Da