Kegirangan itu tak berlangsung lama. Adit pulang dan kegirangan Rina langsung surut bagaikan tersedot oleh lubang hitam. Bagaimana tidak… begitu pria itu membuka pintu, manusia yang dicarinya adalah Rina. Pengasuhnya itu sampai bersembunyi di kamar mandi untuk menghindarinya. Sialnya, pria itu malah menunggu di luar dan terus saja mengetuki pintu yang beberapa hari lalu pernah di dobraknya hingga hancur. Makan malam pun tiba dan Rina tak bisa menghindari Adit lagi. Dengan kaus biru lautnya, ketampanan pria itu tampak begitu menonjol dan tak luput dari perhatian Rina. Adit memang selalu tampak mempesona di matanya. Tapi kali ini dia tampak begitu menggemaskan. Ditambah lagi senyum yang kelihatan malu-malu kucing itu… benar-benar membuat Rina meleleh. Rina menampar wajahnya seketika… untuk membangunkan kewarasannya, yang beberapa menit lalu sempat terpengaruh oleh wajah tampan pria hidung belang di hadapannya. “Kenapa Miss?” tanya anak asuhnya melihat tingkah aneh Rina. Adit yang men
Adit membengong sampai hampir setengah jam di bawah sofa dengan bingung. Tak yakin apa yang barusan terjadi padanya. Apakah dia bermimpi? Dia rasa tidak. Sentuhan bibir wanita itu begitu nyata dan kecil kemungkinannya itu hanyalah efek dari sebuah mimpi.Bibir wanita itu terlalu mempengaruhinya dan hampir membuatnya lupa diri. Hanya butuh lima menit saja dan wanita itu sudah bisa menguasainya. Biasanya dia yang mendominasi di permainan semacam ini. Dia tak suka jika pasangannya mendominasinya dan mengontrol gairahnya naik turun seperti yang dilakukan pengasuh anaknya tersebut.Kalau saja dia tahu wanita itu akan meninggalkannya begitu saja dan mempermalukannya, dia pastinya akan menggigit bibir wanita itu sebelumnya. Bagaimana bisa wanita itu membuatnya terbang di awan-awan dan di menit berikutnya melemparkannya ke bumi dengan kejamnya, tanpa peringatan sebelumnya. Oh... betapa inginnya dia meremukkan sesuatu sekarang ini! Seluruh sel-sel tubuhnya benar-benar dibakar oleh amarah. Saa
Mata elang Adit mengawasi gerak-gerik pengasuhnya kemana-mana. Tak menyangka ternyata pengasuhnya santai-santai saja diperhatikan seperti itu. Mata Adit sudah hampir copot saking seriusnya mengekori kemanapun wanita yang seharian sudah membuatnya pusing itu. Hari ini dia akan membuat perhitungan dan akan membuat Rina bertanggung jawab akan semua masalah yang di alaminya seharian ini gara-gara wanita itu. Kalau saja wanita itu menurut tadi malam dan tidak bertindak seenaknya, pasti tidak akan ada masalah setelahnya. Dia akan tidur pulas, bangun dengan badan yang segar bugar, moodnya juga pasti bagus sepanjang hari di kantor dan yang penting karyawannya juga tak harus dikorbankan gara-gara ulah wanita menyebalkan itu. Sudah hampir sejam sejak Adit mengawasi wanita itu, tapi tak sedikitpun dia bergeming. Wanita itu bahkan tak melihat ke arahnya. Entah apa yang membuat pengasuhnya itu tiba-tiba saja berubah sikap seperti ini! Seingatnya tadi malam, dia tak melakukan sesuatu apapun yang
Wanita yang jual mahal memang menantang… tapi yang terlalu jual mahal, justru membuat Adit muak. Dia tak pernah berencana mengencani pengasuhnya itu sebenarnya. Dia cuma penasaran dan hanya ingin bersenang-senang sedikit. Tak disangkanya, pengasuhnya itu malah bertingkah seperti perawan angkuh yang menyangka dirinya terlalu berharga untuk disentuh pria manapun. Bukannya wanita itu yang membuatnya salah paham duluan. Kalau saja waktu itu Rina tak datang ke kamarnya dan mengecup bibirnya, dia takkan berani melangkah terlalu jauh seperti beberapa hari belakangan ini. Lagipula, wanita itu juga sempat membalas saat dia mencumbunya di ruang tamu malam itu. Tidak hanya dia saja yang terlena dan merasakan gairah itu, wanita itu seingatnya juga bereaksi kurang lebih sama. Walaupun memang… dia juga bersalah terlalu mengira Rina juga menikmati apa yang sudah dia rasakan saat memeluk dan mencumbu wanita itu. Sekarang dia harus ingat betul-betul batasannya. Wanita itu tak menyukainya dan jangan
Adit menutup telinganya untuk kesekian kalinya demi melindungi alat pendengarannya itu dari teriakan keras nan melengking anaknya. Total tiga jam sudah anak itu berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Sejak dia memberitakan kepergian pengasuhnya, anaknya itu tiba-tiba saja berubah menjadi brutal dan tak bisa ditenangkan. Kamarnya penuh dengan boneka dan mainan yang dilempar kesana kemari... Baju-baju di lemari pun ditariknya paksa keluar sampai mematahkan gantungan baju yang menahan baju-baju itu. Semua sudah mencoba membujuk dan menenangkan anak itu. Semua termasuk Pak Slamet, Mbak Saroh dan bahkan wali kelasnya, Miss Betty. Wanita itu terlihat terkejut melihat perubahan sikap anak didiknya yang terkenal pendiam dan lemah lembut itu. Mereka semua akhirnya menyerah membujuk Moza, karena melihat amarah anak itu yang makin menjadi-jadi saat mereka mencoba melakukannya. Semua akhirnya pada berpulangan meninggalkan Moza yang masih histeris tak terkendalikan. Hanya Mbak Saroh yang ada di s
Rina mengeraskan wajahnya dan mengangguk tanpa berusaha mendebat perkataan Adit. Dia tau betul apapun yang dia lakukan tidak akan bisa memperbaiki ini semua. Adit terlihat begitu yakin akan keputusannya dan itu membuat Rina tak bisa membantah pria itu lagi. Dengan perasaan seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ratusan kaktus berduri, Rina membawa barang-barang yang sudah dikepaknya sejak kemarin malam itu. Dia sebetulnya sudah merencanakan pulang setelah pesta Moza selesai. Tak disangkanya, kali ini dia akan pulang ke rumahnya seterusnya dan tak akan bisa kembali ke tempat ini lagi. Betapa dia ingin memeluk dan menciumi anak asuhnya untuk terakhir kali. Tapi dia tau itu bukanlah ide yang bagus. Adit benar... anak asuhnya itu lebih baik tidak melihat saat dia pergi supaya tidak merusak momen kebahagiaan anak itu. Adit bahkan tak mau melihat Rina saat wanita itu keluar dari pintu depan menuju pintu gerbang keluar dengan sepeda motornya. Dia telah benar-benar kecewa dengan kelancangan wan
Sejam berlalu tapi ketukan dari luar pintu rumah Rina tak berhenti juga. Semakin lama malah semakin keras bunyinya. Gara-gara itu, ngapa-ngapain pun Rina nggak bisa. Suara ketukan itu terdengar beruntun dan sangat mengganggu. "Mbak Rina... ada tamunya lho di luar. Mbak ada di dalam kan?" Terdengar suara salah satu tetangganya ikut-ikutan menggedor rumahnya.Karena sungkan, Rina akhirnya membuka pintu rumahnya dengan enggan."Ya ampun mbak... sampeyan di dalam to?! Kok nggak dibukain to pintunya dari tadi? Ini tamunya... ngetuk-ngetuk terus dari tadi sampai banyak yang keluar dikira ada apaan?!" Komplain tetangganya itu diikuti tatapan sebal dari tetangga yang lain, yang tampaknya juga terganggu dengan suara gedoran pintu yang dilakukan Adit. Maklumlah Rina tinggal di rumah yang terletak di gang kecil dan berdempetan satu sama lain. Jadi suara keras sedikitpun, pasti langsung terdengar sampai ke tetangga.Melihat banyak yang membelanya, Adit terse
"Bagus! Gara-gara kamu... Miss Betty jadi sakit hati! Kenapa sih nggak bisa satu kali saja kamu nggak menyerang orang sesuka hatimu! Kalau memang sifatmu selalu sinis sama orang lain, mbok ya liat-liat dulu lagi ngomong sama sapa. Miss Betty itu wali kelasnya Moza, jangan gara-gara kamu nanti Moza jadi dapat masalah di sekolah!" semprot Adit begitu masuk. Dia tak menyangka baru satu hari saja pengasuhnya itu masuk kerja lagi, dia sudah membuat masalah. "Tapi pa... Miss Betty memang aneh! Masak tiap hari selalu mampir. Moza sudah selesai ngerjain PR pun, selalu saja maksa tinggal di rumah kita sampai malam," celetuk Moza ikut-ikutan membela Rina."Hush Moz... nggak boleh gitu! Saya memang salah pak. Saya terlalu sensitif mungkin tadi gara-gara melihat anak asuh saya terlalu diperhatikan wanita lain yang tak begitu saya kenal." Itu bohong dan dia tahu itu. Sikapnya tadi lebih condong karena sikap si wali kelas itu pada bosnya."Aduh... nggak tau l
Dengan tenang, Adit mengelap air yang disiramkan Rina ke wajahnya dengan tisu dan masih melanjutkan kata-katanya yang penuh duri. Dia tak tahu kenapa dia bersikap sekejam ini, yang jelas lidahnya tak mau berhenti untuk menyakiti wanita itu. Apalagi saat mengingat ekspresi jijik Rina kemarin saat dia baru saja membela kehormatannya."Melihat dari besarnya kemarahanmu, terlihat sekali kalau perkataanku ada benarnya. Jika tidak, mana mungkin kau terlihat seperti cacing kepanasan kayak gini!" serang Adit lagi.Rina menggigit bibirnya untuk menahan diri menjelaskan bahwa saat itu dia terlalu mabuk untuk membedakan antara Sam dan bosnya, sehingga kejadian yang memalukan itu terjadi.Kalau Adit tau yang sebenarnya, pria itu pasti akan mencercanya lagi dan memaksanya untuk mengakui perasaannya untuk bosnya itu. Kalau itu terjadi, Rina pasti akan habis-habisan dihina. Melihat dari sikap Adit dulu padanya waktu menjodohkannya pada Miss Betty, pria itu takkan memberinya ampun saat tau kalau just
Adit memincingkan matanya saat sinar matahari pagi dengan kejamnya menyerang wajahnya tanpa henti. Dia mengangkat kepalanya dari bantal dan melihat ke sekeliling ruangan. Tapi gerakan itu justru membuat kepalanya pusing dan seperti sedang dihantam berkali-kali."Dimana kita? Kenapa kau tak mengantarkan aku ke rumah?" protesnya saat melihat Susan yang sedang berdiri di depan kaca besar dan memeriksa penampilannya."Kau pikir gampang memindahkanmu kemarin. Kau jatuh begitu saja di ruang pesta. Butuh sampai empat orang sampai bisa menggotongmu ke tempat ini. Lagipula pak Jimmy yang menyuruh, mana mungkin aku membantah!"Adit memijit keningnya yang terasa berdenyut-denyut dan bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponselnya. "Waduh celaka... Moza pasti nyariin aku semalaman! Diam dulu ya jangan sampai anakku tau kau ada di sini! Dia paling tak suka aku bergaul denganmu," seru Adit dan segera menghubungi ponsel Mbak Saroh. Dia bahkan tak menghiraukan wajah c
Rina duduk dengan tegang. Firasatnya nggak enak. Seakan-akan ada berita buruk yang akan diterimanya. Bahkan teh dan beberapa kue yang dihidangkan di depannya, tak bisa menghilangkan perasaan terintimidasi yang dialaminya. Tante Sam memandang Rina seksama dari atas kepala sampai bawah kakinya. Wanita tua itu seakan ingin mengetahui karakter Rina dari apa yang dikenakannya di tubuhnya. Baginya, calon pasangan hidup keponakannya pastilah nanti jadi bagian dari keluarganya juga. Jadi bagaimana pun juga, dia harus memperhatikan apakah calon istri keponakannya itu cocok bersanding dengan keponakannya atau tidak. Dari apa yang dilihatnya, dia suka dengan cara Rina membawa diri. Dia tidak terlihat urakan dan tidak juga terlihat kuno. Wanita itu bahkan bisa menjawab dengan baik pertanyaan apapun yang diajukan Jimmy kepadanya. Kesopanannya pun menjadi nilai tambah yang penting. Calon istri keponakannya itu terlihat terus menjaga sikap serta cara duduknya di depannya dan s
Gedoran di pintu bilik toilet mengejutkan Adit dan membuatnya menengadah. “Lagi ada orang di dalam!” serunya dari dalam untuk memperingatkan. Tampaknya yang menggedor tadi mengerti dan pindah ke bilik sebelah.Celakanya, tanpa disadari Adit, Rina tiba-tiba membuka kunci pintu dan keluar begitu saja, masih dengan langkah yang terhuyung-huyung. Adit sontak langsung mengejarnya keluar. Untung saja tidak ada siapa-siapa di area wastafel waktu dia keluar dari bilik toilet.Rina yang masih terpengaruh oleh kejadian di toilet tadi, merasa kesal karena bibir Adit yang tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dengan bibir yang masih membengkak, Rina berjalan mencari apa yang diingininya. Karena pusing dia berjalan perlahan sambil memejamkan mata. Baru beberapa langkah saja, tiba-tiba langkahnya terhenti karena baru saja menubruk badan seseorang. Dia meraba badan yang sedang ada di depannya. Dengan tak memikirkan tingkahnya yang sudah di luar batas, tangan Rina menang
Sekujur badan Rina terasa bergetar karena terharu melihat banyaknya tepuk tangan para tamu pada saat dia selesai menunjukkan kemampuannya bermain piano. Sepuluh tahun lebih sudah dia kehilangan piano kesayangannya untuk membayar utang ayahnya. Jangankan memainkan tuts-tuts piano, menyentuh saja dia enggan setelah hari itu. Dia takut detik dia menyentuh piano, dia akan tergiur untuk bermain piano terus dan melupakan kalau dia harus menyibukkan diri untuk mencari nafkah daripada menghabiskan waktu untuk menghibur diri terus-menerus.Sam menggenggam tangan sahabatnya itu saat melihat wajah tak percaya diri Rina dan tangannya yang gemetaran. Dia mengaitkan tangan itu pada lengannya dan menuntunnya kembali ke arah meja minuman dan membiarkan wanita itu meminum dua gelas cairan yang berwarna hijau itu lagi.“Wow… anda mainnya bagus sekali! Kalau boleh saya tahu… apakah anda juga bisa mengajar piano ke anak kecil?” tanya seorang tamu wanita paruh baya yang tampaknya menga
Rina sebenarnya enggan diajak menemani Sam ke pesta ulang tahun suami dari tante sahabatnya itu. Dia tau betul pesta paman Sam pastilah besar dan akan didatangi banyak orang penting dan dari kalangan atas rata-rata semuanya.Tapi karena Sam terlihat sedih, Rina jadi tak bisa menolak. Apalagi saat ia mengeluh karna paman dan tantenya akan mengenalkannya dengan deretan wanita-wanita yang tak dikenalnya dan membuatnya kelelahan sepanjang pesta itu. Jika Rina ikut, setidaknya Sam bisa terlepas dari rutinitas dijodohkan sana sini oleh tante dan pamannya.Mendengar pengakuan sahabatnya itu dan juga ekspresi sedihnya yang cukup membuatnya iba, Rina akhirnya menyetujui permintaan Sam.Tanpa basa-basi, Sam langsung membawa Rina ke butik tantenya dan memilihkan gaun merah ketat yang dapat membalut tubuh Rina bagaikan kulit kedua dari bagian dada wanita itu sampai ke bawah lutut. Gaun itu cukup berpotongan rendah dan mencetak bulatan bagian atas tubuh Rina
Adit gelisah luar biasa setelah kepergian Rina. Perasaannya nggak enak kali ini. Dia tak mengira PENGAGUM RAHASIA yang dimaksud Rina bisa setampan itu. Dia terlalu meremehkan pengasuhnya. Wanita itu rupanya cukup pandai menggaet pria yang cukup lumayan. Bisa dibilang pria seperti Sam itu digolongkan sebagai pria idaman wanita jaman sekarang.Adit tau dia juga tidak jelek. Tak sedikit juga wanita yang mengejar-ngejar dia. Tapi kali ini dia sadar, dia menemukan saingan yang seimbang yang dapat membahayakan posisinya di hati Rina.Dilihat dari cara pengasuhnya itu melihat Sam, Adit yakin tempat pria itu di mata Rina cukuplah spesial. Dan itulah yang membuatnya gusar. Dia baru saja merencanakan untuk mendekati Rina lagi dan entah kenapa si pengagum rahasia itu muncul dan mengacaukan semuanya. Gara-gara pria itu, Rina jadi memandangnya sebelah mata dan tampak kehilangan minat.Panik, Adit mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Rina. Dia ingin meluruskan te
Setiap kali melihat bunga pemberian pengagum rahasia 'terkutuk' itu, Adit menjadi kesal. Dia tau betul bunga itu dari seorang pria yang menaruh hati pada pengasuh anaknya. Kalau saja dia bisa mendekati bunga itu, dia pasti langsung membuangnya ke tempat sampah. Hanya saja, wanita keras kepala itu terus saja mengunci kamarnya dan tak sekalipun memperbolehkannya masuk.Berani benar si pengirim bunga itu, pikirnya. Tak hanya si pengirim itu berani menggoda pengasuhnya dengan seikat bunga, dia bahkan berani mengirimkannya ke rumah Adit. Yang jelas... Adit merasa si pengirim itu tak menghormatinya sebagai bos Rina dan pemilik rumah ini.Yang lebih membuat darahnya mendidih adalah puluhan bahkan ratusan kali pengasuhnya membicarakan bunga 'terkutuk' itu dan memamerkannya pada Moza. Dia masih tak mengerti mengapa wanita itu masih menyimpan bunga itu, walaupun sudah dua hari berlalu. Keadaan bunga itu juga tak sesegar dan seindah hari pertama, tapi dengan bahagianya Rina t
Adit memegangi hidungnya yang berdarah gara-gara tinju kuat dari pengasuhnya. Dia tahu Rina tadi sudah memperingatkannya, tapi dia sebenarnya tak menyangka wanita itu akan benar-benar melakukannya. "Tuh kan pakkk... aduh darahnya jadi kemana-mana! Duduk dulu pak... biar saya ambilkan tisu." Rina menyambar tisu yang ada di meja, menggulungnya kecil dan memasukkannya ke lubang hidung Adit. Darah Adit yang jatuh ke lantai juga dibersihkannya menggunakan tisu. "Aku nggak ngerti... kenapa sih aku selalu jadi korban pukulanmu? Tidak bisakah kau bereaksi lebih lembut... lebih feminin gitu!" protes Adit sambil mendongakkan kepalanya ke belakang. "Jangan mendongak pak. Kepalanya tetap lurus aja!" sahut Rina sambil membetulkan kepala Adit. "Lagipula dari awal kan bapak sudah aku peringatkan! Salah bapak sendiri... nggak mendengarkan perkataan saya!" "Akh... sudahlah... susah ngomong sama kamu. Selalu aja nggak mau ngalah! Tolong ambilin teh dulu. Minum