KEYLA POV
Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan tidak sekalipun terlintas di pikiran jika aku akan tinggal bersama Ben dalam satu rumah.
Ini terlalu gila.
Oke, aku pernah berpikir untuk meminta bantuannya, berpikir untuk menerima tawaran yang dia tawarkan kepadaku waktu itu, tapi aku tidak pernah menyangka jika begini akhirnya.
Satu rumah dengan Ben? Aku?
Astaga! Ini benar-benar gila, dan yang membuatku semakin gila, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya. Aku tidak memiliki uang, dan aku sama sekali tidak memiliki tempat tujuan.
Ini sudah hari kedua sejak Ben membawaku ke apartemennya. Dia memberiku tempat tinggal dan juga sebuah kamar. Kemarin, Ben memaksaku untuk beristirahat, memberikan waktu sendirian seharian, dan menggurusi semua kebutuhanku.
Jadi, hari ini aku memutuskan untuk bangun pagi-pagi sekali.
Jam di atas nakas samping ranjangku menunjukan pukul lima lebih delapan menit saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam sekolah. Cepat-cepat aku merapikan ranjangku. Melirik sebentar kearah pintu yang berada di sudut kamarku.
Ben bilang, kamar kami berdampingan, dan pintu itu merupakan pintu penghubung antara kamarku dengan kamarnya. Aku tidak mendengar suara apapun dari sana, membuatku bernapas lega.
Ya, pasti Ben belum bangun. Siapa pula yang akan bangun jam lima pagi. Jika aku jadi Ben, aku juga akan bangun paling tidak jam tujuh pagi, bersiap sebentar, lalu berangkat sekolah.
Setelah selesai membereskan kamarku, segera aku keluar dari kamar. Menyusuri tempat yang masih sangat asing di mataku dengan langkah hati-hati.
Setelah aku amati, apartemen Ben sangat mewah dan indah, yang di dominasi dengan warna gading untuk lantai dan temboknya.
Ya, tentu saja sangat indah. Ini adalah tempat tinggal Benedict Johan Adiguna, Putera semata wayang dari keluarga Adiguna. Dan dari yang pernah aku dengar, apartemen ini termasuk dalam hunian termahal yang berada di pusat kota.
Beralih dari ruang tamu, aku berjalan menghampiri area dapur. Kembali mengamati sekeliling dengan hati-hati.
Aku berniat membalas perbuatan Ben kepadaku kemarin. Dan setelah memikirkan harus melakukan apa, hal yang bisa aku lakukan untuk saat ini adalah menyiapkan sarapan untuk Ben.
Bukan bermaksud mencari muka atau apa, tapi aku merasa harus berterimakasih kepada Ben atas apa yang dia lakukan untukku kemarin.
Dia sudah membantuku, dan juga memberiku tempat tinggal, jadi aku merasa harus melakukan sesuatu untuk membalas semua perbuatannya.
Ya, walaupun aku tahu apa yang aku lakukan ini tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan untukku. Paling tidak, niatku tulus untuknya.
Namun niat baikku langsung luruh saat aku sudah berada di dapur milik Ben, semuanya terlalu asing bagiku.
Tentu saja aku sudah terbiasa berkutat dengah area dapur sejak kecil, terlebih dalam satu tahun terakhir, semenjak mama kecelakaan, aku selalu melakukan semua pekerjaan rumah sendirian.
Namun tentu saja dapur Ben sangat berbeda dengan milikku dirumah.
Aku bahkan tidak tahu dimana dia menyimpan peralatan memasaknya. Atau bahkan tidak punya?
Karena aku yakin dia pasti sangat jarang mengunakan atau bahkan tidak pernah menyentuh area dapur miliknya ini.
Menarik napas, aku membulatkan tekad. Melangkah menuju kulkas, lalu membuka pintunya.
Mataku melebar saat menemukan gambaran isi kulkas milik Ben.
Hampir kosong, hanya ada beberapa kaleng minuman dan juga beberapa bungkus makanan ringan.
Aku sedikit bernapas lega saat menemukan beberpa butir telur dan juga nasi instan disana.
Mengeluarkan telur dari kulkas, aku beralih menuju kitchen set, berencana memulai rencanaku dengan mencari peralatan masak milik Ben. Membuka satu persatu laci kitchen set dengan hati-hati, berharap bisa menemukan sesuatu yang aku butuhkan.
Setelah membuka beberapa laci dan kabinet, akhirnya aku menemukan alat-alat yang aku butuhkan.
"Okee.." aku mengeluarkan barang-barang yang aku gunakan, meletakan di meja. "gue pasti bisa.." gumamku sendirian, menyakinkan diriku sendiri.
Ku raih apron yang kebetulan aku temukan tergantung di samping wastafel, menggunakannya dengan cepat, menggelung rambut panjangku keatas agar aku bisa lebih leluasa untuk memasak.
Dan sebagai langkah awal, aku memasukkan nasi instan yang aku keluarkan dari kulkas ke microwave untuk di panaskan. Selama dua menit sesuai dengan petunjuk yang tertera di bagian bungkusnya.
Sembari menunggu nasi di hangatkan, aku beralih untuk menyiapkan bumbu-bumbu. Aku cukup beruntung, dapur Ben ternyata menyediakan bumbu-bumbu sederhana yang aku butuhkan.
Jarum jam hampir menunjuk ke angka 6 saat aku mulai menyalakan kompor, dengan penuh perhitungan agar tidak menimbulkan suara berisik, aku meletakan frying pan yang aku temukan di kabinet ke atas kompor yang sudah menyala.
Dengan bahan-bahan sederhana yang aku temukan di kulkas, aku memutuskan membuat nasi goreng sebagai menu sarapan untuk Ben.
Tidak butuh waktu lama, dengan keahlianku memasak selama ini, aku berhasil memasak satu porsi nasi goreng untuk sarapan Ben.
Aku tidak berhenti tersenyum saat membawa nasi goreng hasil masakanku ke meja makan.
Ku letakan piring nasi gorengku disana, dan mataku menatap kearah bungkus roti tawar yang tergeletak di meja makan.
Tertarik, ku raih bungkusan itu dan mengamatinya. Masih tersisa dua lembar roti di dalamnya, dan terlihat masih bisa dikonsumsi karena aku tidak menemukan jamur atau tanda-tanda aneh yang menandakan roti rusak.
Aku berpikir sejenak, dengan telur yang masih tersisa, aku bisa menyiapkan satu macam sarapan lagi untuk Ben.
Senyum simpul menghiasi bibirku saat aku meninggalkan meja makan, kembali menuju dapur dengan roti tawar yang aku temukan.
Mungkin Ben terbiasa sarapan dengan roti, jadi aku berinisiatif untuk membuat sandwich sederhana dengan roti dan telur yang masih tersisa.
Kembali menyalakan kompor, aku mulai mengocok telur yang masih tersisa dan menambahkannya sedikit lada, aku berniat untuk membuat dadar telur sebagai isian sandwich.
Beralih dari telur, aku kembali menghampiri kulkas, kalau tidak salah aku tadi semlat melihat mayones disana.
Dan benar, mataku berbinar seolah menemukan harta karun saat berhasil menemukan mayones disana. Dengan mayonaise yang aku temukan, aku mulai mengolesi roti tawar dengan cairan kental berwarna putih kekuningan tersebut.
Mungkin karena aku cukup ahli memasak, dan aku menyukainya. Memasak untuk sarapan Ben, membuatku lupa dengan kesedihan yang aku rasakan. Aku bahkan bersenandung lirih tanpa sadar.
Menggangkat telur dadar yang sudah matang, aku meletakannya diantara roti tawar yang sudah aku olesi dengan mayones. Langkah terakhirnya, aku hanya perlu memanggang kedua sisi roti tawar sebantar, dan sandwich sederhanaku sudah siap di hidangkan.
Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat menatap kearah roti yang kini tengah aku pangang. Ku usap keningku yang berkeringat mengunakan pungung tangan, ini cukup melelahkan, namun aku merasa puas bisa menyiapkan sarapan untuk Ben.
Mengeluarkan satu piring lagi dari laci penyimpanan, aku menggangkat sandwichku dari pangganggan, meletakannya diatas piring, dan memotongnya menjadi dua bagian.
"Selesai juga.." gumamku sendirian, menatap puas kearah sandwich sederhana yang berhasil aku buat dengan baahan sederhana. Ini akan lebih lezat jika aku menambahkan bacon, namun karena tidak ada, aku hanya mengunakan telur sebagai isian.
Tidak terlalu buruk lah.
Namun aku sama sekali tidak tahu selera Ben pada makanan.
Ya, paling tidak aku sudah berusaha.
Menarik napas, aku membawa piring sandwichku ke meja makan saat mendengar suara pintu kamar terbuka, dan terbanting menutup dengan cukup keras. Aku berhenti di tempat, menoleh kearah datangnya suara derap langkah yang terdengar terburu-buru itu.
"Benedict?" Gumamku setengah heran saat menemukan Ben yang terlihat tengah mengejar sesuatu. Aku menoleh kekiri ke kanan, spontan mencari apa yang sembuat Ben tampak begitu panik.
Perlahan dia berhenti, setengah telanjang, dengan napas memburu, wajahnya yang panik masih terlihat begitu berantakan khas bangun tidur.
"Ada apa?" Tanyaku menatap cowok yang keluar kamar hanya mengenakan celana piyama berwarna hitam itu keheranan.
"Elo.." gumam Ben tidak jelas, melangkah mendekat kearahku. Gelagatnya sungguh aneh, dengan sorot mata yang tidak bisa aku tebak.
Ada apa dengannya? Kenapa? Apa yang salah? Apa yang membuatnya panik saat bangun tidur?
Aku tidak bergeming dari tempatku berdiri dengan kepala dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, belum sempat aku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas. Aku kembali dikagetkan dengan apa yang dilakukan Benedict selanjutnya...
"Ben..?" Ulangku sekali lagi, kali ini berusaha melepaskan diri dari pelukan Ben, namun cowok itu malah mendekapku semakin erat."Gue kira elo pergi.." aku tersikap saat mendengar suara Ben. Membuat alisku mengerut didalam pelukannyaApa dia masih setengah tidur? Apa kesadarannya belum pulih sepenuhnya? Atau dia mengira aku orang lain?"Jangan pergi.." pintanya sekali lagi."Heii.." kataku berusaha membuatnya tersadar. "Gue disini, Ben. Nggak kemana-mana.." kataku lagi, menepuk punggungnya yang telanjang dengan hati-hati.Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ini, namun saat jemariku menyentuh pungungnya, aku bisa merasakan kulit yang halus dan hangat dengan otot-otot yang tidak berlebihan."jangan tinggalin gue.." gumamnya lirih menyadarkanku dari pikiran aneh yang sempat berkelebat di kepalaku. Ben tidak berniat melepaskan pelukannya, dan aku bisa merasakann d
BENEDICT POVAku mengemudikan mobilku keluar dari tempat parkir, meninggalkan area apartemenku menuju sekolah bersama dengan Keyla yang kini duduk terdiam di jok sampingku.Dia sama sekali tidak bersuara sejak keluar dari lift, dan bodohnya, aku juga melakukan hal yang sama.Jujur saja, aku merasa bersalah dengan kelakuanku saat di lift tadi. Tapi perkataan Keyla benar-benar membuatku marah.Pergi dari rumahku? Dia merepotkan? Dia tidak akan menggangguku lagi?Bahkan sekarang saat aku memikirkan perkataannya lagi, amarahku kembali naik tanpa undangan.Menghirup napas dalam untuk menenangkann diri, Aku mencengkram kemudi mobilku hingga buku-buku jariku memutih, berusaha menahan emosiku sekuat tenaga. Sebagai gantinya, aku menekan pedal gas mobilku dalam-dalam, memacu mobilku semakin cepat, meliuk-liuk diantara kendaraan yang melaju begitu lambat dimataku.
KEYLA POVAku menarik tangan Sissy menuju pintu kelas, meninggalkan Benedict yang kini menatap kepergian kami berdua dengan pandangan tidak percaya. Membawa sahabatku itu keluar dari kelas, aku bisa merasakan kilatan marah di mata Ben. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya, aku tidak siap untuk bertemu dengan pria itu sekarang, setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Ciuman di lift, dan juga adegan di gedung parkir. Memikirkan itu semua saja sudah membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat. Wajahku juga terasa begitu panas sekarang. "Keyla!" Sentakan dan juga suara Sissy yang meninggi membuatku terdasar, dan menarikku keluar dari lamunan panjang. Aku berhenti melangkah, menoleh untuk menatap sahabatku itu dengan tatapan tidak paham. "Apaan?" Aku bertanya dengan nada sedikit cangung, bayangan yang terlintas di otakku tadi membuatku merasa tidak nyaman."Lo di panggilin berkali-kali nggak nyahut!" Protes gadis cantik itu dengan bibir mengerucut, menandakan dirinya tengah k
Note : chapter ini dan seterusnya akan menggunakan AUTHOR POV/ sudut pandang orang ke 3. ⬇️⬇️⬇️Benedict tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirnya. Memilih untuk mengabaikan mata-mata yang terus menatapnya sepanjang jalan menuju kelas Keyla, tangannya masih mengenggam erat pergelangan cewek yang berjalan di sampingnya itu.Bagaimana bisa hanya dengan bergandengan tangan bisa membuatnya begitu bahagia? Batin Ben bertanya-tanya. Ya, mungkin dirinya benar-benar sudah gila sekarang, atau apapun itu namanya, Ben benar-benar tidak peduli. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di depan kelas Keyla dan dengan berat hati, Benedict melepaskan tangan cewek tersebut. "Gue.. masuk dulu.." pamit Keyla kepada Benedict dengan nada ragu-ragu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menyematkannya ke belakang telinga untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya. "Oke." Jawab Ben mengangguk, merasa gemas dengan tingkah Keyla sekarang. Jika mereka tidak sedang be
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit sendirian di ruang santai, akhirnya Benedict mendengar pergerakan yang berasal dari pintu kamar Keyla. Menoleh ke arah suara, Ben menemukan Keyla tengah berjalan gontai ke arahnya. Gadis itu mengenakan kaos oversize yang di padukan dengan celana pendek sepaha. Sederhana, namun di mata Benedict, penampilan Keyla sekarang tampak begitu sempurna. Kecantikan natural dari gadis yang baru saja selesai membersihkan diri itu membuat Benedict terkesima hingga terpaku di tempatnya duduk sekarang. Tatapan lekat dari mata tajam milik Ben kepadanya membuat Keyla sangat tidak nyaman. Gadis itu salah tingkah, memilih berdiri di dekat sofa yang di duduki oleh Ben, merasa gugup dan bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. "Kok malah bengong di situ," Tegur Benedict memecah keheningan di antara mereka, membuat gadis itu terlihat terperanjat. "Sini duduk." Kata Benedict lagi, menepuk ruang kosong di samping dia duduk sekarang. Dengan ekspresi waja
Dan seiring berjalannya waktu, ciuman lembut Benedict pada bibir Keyla berubah menjadi pagutan liar. Entah sejak kalan mata Keyla terpejam, gadis itu tidak menyadari tangannya kini pun sudah mengalung di leher Ben, semantara tangan cowok milik cowok tersebut yang tadinya merangkup kedua sisi wajah Keyla, sekarang bergetak menuju belakang lehernya, menekan tengkuk gadis itu untuk memperdalam ciuman mereka. Geleyar aneh mulai menguasahi tubuh gadis itu sepenuhnya. Otot perutnya bergolak seolah ada ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya secara bersamaan disana. Kepalanya terasa sangat pusing karena sensasi dari ciuman Benedict yang begitu memabukkan. Keyla mengerang di sela ciuman panas mereka. Mencengkram kuat segumpal rambut dari bagian belakang kepala Ben saat merasakan lidah milik cowok itu melesak masuk kedalam mulutnya. Perasaan asing saat daging kenyal dan panas itu mulai membelai lidahnya berubah menjadi kenikmatan intens yang begitu candu bagi Keyla. Sekali lagi gadis it
Ya, Tuhan.. apa ini benar-benar terjadi? Apa benar dia dan Benedict akan melakukan itu?Adrenalin dalam diri Keyla terasa terpompa dari dalam saat Benedict menundukkan kepalanya dan menciumnya lagi, berbeda dengan ciuman mereka sebelumnya, kali ini Ben memberi keyla ciuman manis dan lembut di bibir gadis tersebut. Jenis ciuman yang membuat Keyla terbuai dan terlena, membuat mata gadis itu terpejam tanpa sadar, merasakan pagutan dan sesapan lembut Benedict pada bibirnya. Gadis itu meleguh pelan, dan Ben menggunakan kesempatan itu untuk melesakkan lidahnya masuk kedalam mulut Keyla. Lidahnya membelai milik Keyla seolah ingin mengajaknya menari bersama. Membelit lembut, lidah mereka saling bertautan. Sebelum akhirnya Benedict menarik mundur kepalanya dan mengakhiri ciuman mereka dan menatap Keyla. "Nggak usah takut," kata Benedict menenangkan Keyla. "Gue bakal lakuin dengan lembut dan pastiin elo ngerasa lebih baik dari ini." Lanjutnya lagi seolah berjanji, dengan suara parau karena
Benedict meletakkan salah satu jarinya pada bagian atas celana dalam Keyla dan menariknya ke bawah, memperlihatkan bagian privat milik gadis itu yang belum pernah lihat sebelumnya. Detak jantung Ben terasa terpompa lebih cepat, dan Sebelum gadis itu bisa menjadi pemalu lagi, dia menggerakkan mulutnya ke klitorisnya, menghisapnya. Keyla menahan napasnya dan mengerang. Benedict mundur sedikit dan mengeluarkan lidahnya dari dalam mulut. Dengan lembut cowok itu mendorong lidahnya masuk ke dalam liang milik Keyla yang masih sangat rapat. Gadis itu meraung karena sensasi dari permainan lidah Ben pada daerah sensitifnya. Jemari Keyla sudah bersarang pada surai hitam milik cowok itu dan mencengkramnya kuat, jemari kakinya melengkung. Benedict menggerakkan tangannya untuk berada di bawah pantat Keyla, mengangkatnya sehingga milik gadis itu semakin terdorong ke dalam mulutnya. Keyla melengkungkan punggungnya dan merintih kesenangan. Dengan cepat Ben mengeluarkan lidahnya dari dalam diriny
Mendengar jeritan Keyla, membuat Benenict yang tengah sibuk dengan sprei bernoda darah itu tersentak kaget saking terkejutnya. Melempar gulungan kain di tangannya itu ke keranjang tempat pakaian kotor, sebelum akhirnya melesat cepat, berlari menuju kamar mandi tempat dimanaya gadis itu tengah berada. Apa yang terjadi? Di lihat dari cara gadis itu berteriak, sepertinya itu adalah sesuatu yang benar-benar buruk, Karena Ben tahu jika Keyla bukan gadis yang suka membesar-besarkan masalah. Memikirkan hal itu membuat jantung Benedict berdegup kencang, meraih handle pintu kamar mandi, cowok itu dengan cepat pintu kaca tersebut dan masuk kedalam. "What happened?" Tanya Benedict saat melangkah masuk ke dalam kamar mandi, mengamati Keyla yang tengah berdiri di dekat bath up. Cowok itu cukup terkejut saat matanya menemukan Keyla sudah telanjang bulat. Suara Benedict hanya membuat Keyla bertambah histeris. Gadis itu spontan berusaha menutupi dada dan pangkal pahanya dengan kedua tangannya. "
Mematuhi perintah Benedict, Keyla hanya menunggu di ranjang sementara cowok itu menghilang entah kemana. Menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, gadis itu memutuskan untuk mengamati ke sekeliling kamar. Ruangan tempat gadis itu berada sekarang memiliki nuansa hitam putih pada dindingnya dan juga furniture yang tertata rapi si setiap sudutnya. Tempat tidur king size putih, lalu ada sofa hitam tertata di dekat dinding kaca dengan gorden besar berwarna putih juga. Keyla menghela napas saat mengagumi Kamar pribadi Ben yang sangat mewah itu. Entah mengapa rasanya mereka benar-benar hidup di dunia yang berbeda. Dan saat matanya sudah lelah berkeliling, Keyla menundukkan kepalanya, jantungnya seolah berhenti berdetak saat indra penglihatannya itu menemukan noda merah darah pada bagian atas ranjang Ben yang di lapisi oleh sprei berwarna putih. Ya, Tuhan.. jerit Keyla dalam hati dan meraih salau satu bantal yang berada di sampingnya untuk menutupi noda merah tersebut dengan cepat. Wajahn
Jam digital yang terletak di atas nakas samping ranjang menunjuk ke angka delapan lewat empat puluh enam menit saat Benedict keluar dari pintu kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya. Berbalut handuk yang menutupi bagain bawah tubuhnya, rambut cowok itu masih terlihat basah. Dengan pungung yang terlihat merah-merah bekas cakaran, Benedict Berjalan dengan hati-hati, tidak ingin langkahnya membuat bangun gadis yang masih terlelap di atas ranjang. Benedict menghampiri lemari kaca besar dan meraih satu calana panjang dari tumpukan pakaian tidurnya, memakainya cepat dan melemparkan handuk basah di tangannya ke keranjang baju kotor yang tersedia. Senyum samar terukir di sudut bibirnya saat matanya menatap lagi ke arah Keyla yang masih terlelap di atas ranjang, gadis itu bergelung di bawah selimut tebal seperti bayi, tampak begitu polos dan menggoda di mata Ben. Dia berjalan mendekat lalu duduk di sisi ranjang dengan hati-hati, menundukkan kepalanya dan memberi kecupan lembut di pipi
Benedict meletakkan salah satu jarinya pada bagian atas celana dalam Keyla dan menariknya ke bawah, memperlihatkan bagian privat milik gadis itu yang belum pernah lihat sebelumnya. Detak jantung Ben terasa terpompa lebih cepat, dan Sebelum gadis itu bisa menjadi pemalu lagi, dia menggerakkan mulutnya ke klitorisnya, menghisapnya. Keyla menahan napasnya dan mengerang. Benedict mundur sedikit dan mengeluarkan lidahnya dari dalam mulut. Dengan lembut cowok itu mendorong lidahnya masuk ke dalam liang milik Keyla yang masih sangat rapat. Gadis itu meraung karena sensasi dari permainan lidah Ben pada daerah sensitifnya. Jemari Keyla sudah bersarang pada surai hitam milik cowok itu dan mencengkramnya kuat, jemari kakinya melengkung. Benedict menggerakkan tangannya untuk berada di bawah pantat Keyla, mengangkatnya sehingga milik gadis itu semakin terdorong ke dalam mulutnya. Keyla melengkungkan punggungnya dan merintih kesenangan. Dengan cepat Ben mengeluarkan lidahnya dari dalam diriny
Ya, Tuhan.. apa ini benar-benar terjadi? Apa benar dia dan Benedict akan melakukan itu?Adrenalin dalam diri Keyla terasa terpompa dari dalam saat Benedict menundukkan kepalanya dan menciumnya lagi, berbeda dengan ciuman mereka sebelumnya, kali ini Ben memberi keyla ciuman manis dan lembut di bibir gadis tersebut. Jenis ciuman yang membuat Keyla terbuai dan terlena, membuat mata gadis itu terpejam tanpa sadar, merasakan pagutan dan sesapan lembut Benedict pada bibirnya. Gadis itu meleguh pelan, dan Ben menggunakan kesempatan itu untuk melesakkan lidahnya masuk kedalam mulut Keyla. Lidahnya membelai milik Keyla seolah ingin mengajaknya menari bersama. Membelit lembut, lidah mereka saling bertautan. Sebelum akhirnya Benedict menarik mundur kepalanya dan mengakhiri ciuman mereka dan menatap Keyla. "Nggak usah takut," kata Benedict menenangkan Keyla. "Gue bakal lakuin dengan lembut dan pastiin elo ngerasa lebih baik dari ini." Lanjutnya lagi seolah berjanji, dengan suara parau karena
Dan seiring berjalannya waktu, ciuman lembut Benedict pada bibir Keyla berubah menjadi pagutan liar. Entah sejak kalan mata Keyla terpejam, gadis itu tidak menyadari tangannya kini pun sudah mengalung di leher Ben, semantara tangan cowok milik cowok tersebut yang tadinya merangkup kedua sisi wajah Keyla, sekarang bergetak menuju belakang lehernya, menekan tengkuk gadis itu untuk memperdalam ciuman mereka. Geleyar aneh mulai menguasahi tubuh gadis itu sepenuhnya. Otot perutnya bergolak seolah ada ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya secara bersamaan disana. Kepalanya terasa sangat pusing karena sensasi dari ciuman Benedict yang begitu memabukkan. Keyla mengerang di sela ciuman panas mereka. Mencengkram kuat segumpal rambut dari bagian belakang kepala Ben saat merasakan lidah milik cowok itu melesak masuk kedalam mulutnya. Perasaan asing saat daging kenyal dan panas itu mulai membelai lidahnya berubah menjadi kenikmatan intens yang begitu candu bagi Keyla. Sekali lagi gadis it
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit sendirian di ruang santai, akhirnya Benedict mendengar pergerakan yang berasal dari pintu kamar Keyla. Menoleh ke arah suara, Ben menemukan Keyla tengah berjalan gontai ke arahnya. Gadis itu mengenakan kaos oversize yang di padukan dengan celana pendek sepaha. Sederhana, namun di mata Benedict, penampilan Keyla sekarang tampak begitu sempurna. Kecantikan natural dari gadis yang baru saja selesai membersihkan diri itu membuat Benedict terkesima hingga terpaku di tempatnya duduk sekarang. Tatapan lekat dari mata tajam milik Ben kepadanya membuat Keyla sangat tidak nyaman. Gadis itu salah tingkah, memilih berdiri di dekat sofa yang di duduki oleh Ben, merasa gugup dan bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. "Kok malah bengong di situ," Tegur Benedict memecah keheningan di antara mereka, membuat gadis itu terlihat terperanjat. "Sini duduk." Kata Benedict lagi, menepuk ruang kosong di samping dia duduk sekarang. Dengan ekspresi waja
Note : chapter ini dan seterusnya akan menggunakan AUTHOR POV/ sudut pandang orang ke 3. ⬇️⬇️⬇️Benedict tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirnya. Memilih untuk mengabaikan mata-mata yang terus menatapnya sepanjang jalan menuju kelas Keyla, tangannya masih mengenggam erat pergelangan cewek yang berjalan di sampingnya itu.Bagaimana bisa hanya dengan bergandengan tangan bisa membuatnya begitu bahagia? Batin Ben bertanya-tanya. Ya, mungkin dirinya benar-benar sudah gila sekarang, atau apapun itu namanya, Ben benar-benar tidak peduli. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di depan kelas Keyla dan dengan berat hati, Benedict melepaskan tangan cewek tersebut. "Gue.. masuk dulu.." pamit Keyla kepada Benedict dengan nada ragu-ragu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menyematkannya ke belakang telinga untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya. "Oke." Jawab Ben mengangguk, merasa gemas dengan tingkah Keyla sekarang. Jika mereka tidak sedang be
KEYLA POVAku menarik tangan Sissy menuju pintu kelas, meninggalkan Benedict yang kini menatap kepergian kami berdua dengan pandangan tidak percaya. Membawa sahabatku itu keluar dari kelas, aku bisa merasakan kilatan marah di mata Ben. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya, aku tidak siap untuk bertemu dengan pria itu sekarang, setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Ciuman di lift, dan juga adegan di gedung parkir. Memikirkan itu semua saja sudah membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat. Wajahku juga terasa begitu panas sekarang. "Keyla!" Sentakan dan juga suara Sissy yang meninggi membuatku terdasar, dan menarikku keluar dari lamunan panjang. Aku berhenti melangkah, menoleh untuk menatap sahabatku itu dengan tatapan tidak paham. "Apaan?" Aku bertanya dengan nada sedikit cangung, bayangan yang terlintas di otakku tadi membuatku merasa tidak nyaman."Lo di panggilin berkali-kali nggak nyahut!" Protes gadis cantik itu dengan bibir mengerucut, menandakan dirinya tengah k