POV INA.
Sore hari saat dirumah sendirian, aku nanar sembari menggenggam sesuatu di tanganku entah sudah berapa lama aku pandangi cincin berlian pemberian Aldo ini, didalam kotak perhiasan yang aku simpan, akhiirnyaa aku putuskan untuk menghubunginya aku harus selesaikan ini semua, beban hatiiku sudah sangat berat, aku harus lepaskan satu persatu yang membeban di hatiku,
Tuuuut tuuuuuut….
Tak butuh waktu lama Aldo mengangkat dan reflek berkata.
“Hallo Ina, aku tau kamu pasti akan menghubungiku lagi,”ujarnya aku menghela nafas dan berkata,
“Kamu dimana aku mau berikan sesuatu”ucapku,
“Ada sayang, aku dirumah. Apa perlu aku jemput?”tanyanya, aku mendegup.
“Aku bisa sendiri.”lirihku
“Baiklah, aku tunggu.’’
Sesampai disana, aku melihat Aldo menungguku di gerbang rumahnya aku turun saat memarkirkan mobilku dia menyambut dan reflek memelukku s
Sesampai dirumah aku lega ternyata mas Feri belum sampai dirumah, bergegas aku merapikan diri dan menyiapkan makanan didapur. Tak butuh waktu lama mas Feri datang, aku sangat lega saat semuanya sudah selesai, bergegas aku sambut mas Feri yang tampak capek sekali pulang kerja,“Mas kok telat pulangnya?”ujarku dia tampak lesu berjalan kerumah hingga aku buntuti. Sesampai didalam dia menghenyak di atas sofa dengan sedikit menghela nafas,“Kamu capek banget ya, mau mandi dulu, atau makan dulu?”tanyaku sedikit mas Feri memijit batang hidungnya dan berkata.“Aku mau mandi, dan pengen langsung istirahat, bantu siapin air hangat,”ujarnya, aku mengangguk dan beranjak kekamar mandi.“Ini mas,udah.”teriakku dari kamar, mas Feri beranjak menaiki anak tangga selesai mandi dia langsung tidur, aku yang sudah cukup lama menunggu dia di meja makan itupun naik keatas untuk menemuinya, melihat suamiku itu merebah diatas ka
POV INA.TRAKT..Bunyi hempasan pintu terdengar sangat keras aku terkejut dan sontak memanggil suamiku,“Mas..”panggilku duduk sembari meraba bantal disebelahku berbaring namun mataku membulat saat melihat mas Feri tak ada disebelahku, aku terkejut dan kembali menoleh kearah pintu kamar, aku takut jikalau yang mendobrak pintu depan itu adalah penjahat, segeraku berdiri dengan gemetar, namun langkahku terhenti saat melihat ternyata mas Feri yang berdiri di pintu kamar menatapku lekat.“Mas kamu dari mana, di tengah hujan badai begini?”tanyaku, mas Feri tampak menelan serek kerongkongannya, dia mendekat dan menatap mataku tajam sembari berdesis gundah,“Aku, belum benar-benar kehilanganmu 'kan Ina?”tanyanya pelan dan datar, aku mendegup mencoba melihat manik matanya. Masih bisa aku ingat ucapanku saat aku mengetahui waktu itu mas Feri menikahi Rara.“Mas, maksud kam-“ucapanku terhenti.
POV INAEntah bagaimana malam berlalu, aku masih bersandar rapuh di sudut ruangan ini, menyaksikan fajar mulai menampakkan cahayanya, aku berdiri dan berjalan melewati kaca belink yang berserakan di mana-mana. Sembari batinku tetap menangis, kemana sekarang akan aku langkahkan jalanku, saat jembatan kebahagiaanku sudah putus seperti ini, aku menghela nafas yang begitu terasa sangat berat.“Mama…”lirihku menangis sesegukan, bergegas aku bersiap merapikan diri dan beranjak ke tempat mama,Ting nong…“Mama…”panggilku memencet-mencet tak butuh waktu lama mama membuka kan mata, sontak saja mata mama membulat melihat aku datang dengan keadaan kacau begitu, mataku sembab karna menangis dan ada sedikit lebam di sudut bibirku karna tamparan semalam.“Ina? Apa yang terjadi?”lirih mama menggapai badanku , aku masuk kedalam pelukan mama sembari menangis sesegukan.“Mama…hiks.&rd
POV FERI“Bagaimana dengan putri saya dok?’’tanya mama rania, saat dokter keluar dari ruangan Ina.“Tidak ada masalah serius, anak ibuk tengah mengandung dan dia hanya sedang kecapeka’an, coba atur lagi jam tidur dengan benar. Darahnya rendah sekali.”ujar dokter, mama Rania tampak terkejut dengana rasa syukur.“Benarkah Dok, syukurlah.”ucapnya dengan air mata merintik sedikit ia menoleh padaku dan bergegas masuk kedalam ruangan, menemui Ina sedangkan aku memilih beranjak ke taman untuk melepaskan sedikit penat hatiku. Aku teranyuh hebat saat mendengar ungkapan dokter tadi aku menghenyak di kursi taman sembari merintikkan air mata, bukannya bahagia mendengar kabar kehamilan ini aku malah dilema, aku tau betul itu adalah darah dagingku, apakah aku harus lanjutkan pernikahan ini walau ada duri seperti ini, aku tidak mau merasa seperti pecundang selamanya, tapi aku juga tidak boleh egois,
POV INA.Hari semakin larut setelah mengobrol banyak sama mama tadi, aku langsung beranjak kekamar tiduur untuk istiraahat, mas Feri tampak sibuk mengotak atik laptopnya, sedangkan kamar, masih berantakan masih sama seperti malam tadi, sigap aku mengambil sapu peralatan lain untuk membersihkannya sesekali, aku melirik mas Feri yang tampak tak peduli dengan keberadaanku, setelah selesai aku melangkah kekamar mandi untuk mengganti pakaiannku, aku terasa sangat lemes sekali karna masih sakit, kepalaku pening dan mencoba berusaha kembali keluar, sedikit aku hela nafas menguaatkann kaki beberapa langkah lagi untuk tempat tidur, aku tau mas Feri takkkan mau membantuku, langkahku oleng berusaha mendarat di atas kasur dengan cepat, dan aku lega juga bisa merebah sebentar menstabilkan kembali kepalaku yang pusing, sedikit aku hela nafas dan menarik selimut, namun karna selimutnya nyangkut di kakinya aku menoleh padanya,“Minta Ina selimutnya mas.”lirihku, dia
…………..“Mungkin aku harus temui Rara”bisikku beranjak, aku belum menemuinya semenjak hari itu, bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidupku, aku harus lihat perkembangannya sekarang.POV INA.Ting nong.Bunyi bel bergema mungkin mbok Lastri sudah sampai, kuusahakan berjalan keluar untuk membukakan pintu, asisten mama yang sudah tidak muda lagi itu tampak tersenyum.“Maaf Non, macet. Jadi makin lama deh datang.”ujarnya aku mengangguk dengan lemes dan mempersilahkan.“Gak apa-apa bik, istirahat bentar, abis itu langsung kedapur ya. Mas Feri belum sarapan.”ujarku.“Baik non”sigapnya, aku menghenyak di sofa denga rasa letih yang teramat sangat. Dalam lelahku merebah itu aku melihat mas Feri menuruni tangga, kucoba berdiri untuk menyambut,“Mas, kamu turun buat sarapan ya? Maaf mbok Lastri baru datang, aku gak kuat nyiu
Keesokan paginya setelah berberes aku turun kebawahh menghampiri mas Feri yang tiidur di atas sofa. Hatiku hangat dan beranjak kedapur menemui mbok Lastri.“Non, itu sarapanya udah, tapi itu the gak mbok bikin karna kemaren bikin gak di minum sama aden, nona Ina yang bikin aja ya”ujarnya, aku mengangguk.“Ya mbok biar Ina yang bikin.’’sahutku. Bergegas aku bikin karna gak tahan lama-lama di dapur. Kembali aku menemui mas Feri yang tengah berada di sofa,“Mas bangun, kamu tidurnya jam berapa sih mas, kesiangan gini.”ujarku mengellus sedikit pipinya dia tampak sedikit beringsut dan mengucek sedikit matanya.‘’Dah pagi…”ucapnya sembari menguap. Aku memaandangnya lekat dan berkata.“Kamu begadang ya semalaman?’’ujarku mas Feri coba turun dari sofa dan beranjak kekamr mandii.“Ini ya mas Tehnya aku tarok disini,”sorakku, dia tak menoleh dan tetap foku
Sore berkunjung kembali aku lihat mas Feri bersiap hendak pergi, kali ini aku diam tak mau mencegatnya lagi aku memilih membuntutinya dia sangat tidak nyaman dirumah sekarang, aku ingin tau selama ini dia kemana sih, kalo pergi-pergi bahkan sampai tidak pulang,Bergegas aku ambil kunci mobil dan mengikuti laju mobilnya mas Feri aku melihat mas Feri singgah di toko untuk membeli bingkisan, benakku berfikir kalo mas Feri akan menjenguk Rara di rumah sakit, aku gemetar dan tetap fokus mengikutinya, namun aku bingung dia terus melaju melewati jalan menuju RSJ itu. Apa jangan-jangan dia masih sibuk dengaan bisnis barunya karna memang, dia sangat ingin bekerja sendiri, aku bingung dan terus saja mengikutinya, hingga akhirnya aku melihat mas Feri berhenti disebuah kontrakan sederhana, dia turun dengan menjinjing bingkisan itu, mataku membulat saat meelihat wanita paruh baya menyambutnya dengan senang hati, aku gemetar dan mataku berkaca-kaca. Selama ini mas Feri membohongiku,